Syekh Mudo Qadim Belubus: Suka Pelihara Kucing dan Menulis Tentang Cara Membaca Sifat Kucing

Syekh Mudo Qadim Belubus: Suka Pelihara Kucing dan Menulis Tentang Cara Membaca Sifat Kucing

Syekh Mudo Qadim Belubus: Suka Pelihara Kucing dan Menulis Tentang Cara Membaca Sifat Kucing

Kucing termasuk hewan yang banyak dijadikan binatang peliharaan di rumah. Bahkan ulama-ulama terdahulu pun memelihara kucing di rumah dan tempat kajiannya. Di Minangkabau, tempat pengajian ini biasanya di surau. Makanya dalam beberapa kisah disebutkan bahwa ulama Minang zaman dulu memelihara kucing di surau. Salah satunya, berdasar riwayat yang paling shahih, Maula Syekh Mudo Abdul Qadim Belubus (1875-1957 M) sangat banyak memelihara kucing di surau beliau, di Belubus. Dalam buku besar, hasil tulisan tangan beliau (masih berbentuk manuskrip), terdapat satu fasal tentang ilmu membaca sifat kucing.

Beliau menulis, bahwa ilmu ini merupakan warisan Nabi Sulaiman, yang semestinya diketahui agar mendapatkan manfaat dan menolak mudharat dari seekor kucing. Selain itu, beliau juga menyebutkan nama masing-masing kucing, beserta sifat tabi’atnya. (fasal ini beliau tulis pada tanggal 1 Muharram 1333 H, sekitar tanggal 18 Novermber 1914 M) Satu hal yang menarik dalam teks tersebut, bahwa apabila kucing tidur dikain/tengkuluk, itu alamat akan memperoleh keberkahan.

Setelah saya perhatikan, di tengok kiri-kanan, ulama-ulama surau yang kita kenal, hampir semua memelihara kucing di suraunya. Di surau guru saya, terdapat beberapa ekor kucing, yang tidak pernah diusir oleh guru meskipun sedang dalam halaqah tawajuh. Di beberapa surau di Suliki, ulama-ulama sepuh juga memeliharanya. Sejumlah ulama yang kita kenal sebagai “min jumlah auliya’” juga menaruh kucing.

Haji Rasul, ulama modernis yang anti-Thariqat Naqsyabandi itu pun, kemana beliau diasingnya, juga membawa kucing kesayangannya, yang bernama si-Manis. Sampai-sampai, kata Hamka, ketika di Manis mati, tidak diberitakan kepada ayahnya itu. Sebab takut akan membawa kesedihan yang mendalam padanya.

Dan ulama-ulama lainnya. Walaupun mereka memelihara kucing di atas surau, beliau-beliau tentu memahami thaharah dan mengamalkannya dengan jelimet. Tidaklah mereka sampai meyakini bahwa kotoran dan kencing kucing bukan najis.

Tulisan ini efek dari beberapa malam begadang, memeriksa 244 halaman lembar jawaban, ditemani kucing. Awalnya kucing belang tiga itu bernama Kucing Silat (karena anak saya melihat kucing serupa di Surau ketika bersilat tempo hari), akhirnya ia dikukuhkan dengan nama baru, “Phus-Pita”. Menggelikan, dan lebih lucu lagi bila anak saya memanggilnya pagi-pagi, Phus-Pita, dengan suara yang mungil itu.

Setidaknya, kita mencoba “seirama” dengan ulama-ulama di atas, memelihara kucing.