Syekh Mas’ud Cilacap, Kiai Kampung Bergelar Syaikh (Bag-1)

Syekh Mas’ud Cilacap, Kiai Kampung Bergelar Syaikh (Bag-1)

Syekh Mas’ud Cilacap, Kiai Kampung Bergelar Syaikh (Bag-1)

Tak banyak Kiai di Indonesia yang mendapatkan gelar “Syaikh”. Gus Mus –sebagaimana disampaikan ulang oleh Kiai Husein Muhammad (2015)- pernah menyampaikan kepada publik dalam sebuah seminar bahwa sebutan  Syaikh hanya disandang oleh dua orang kiai; Syaikh Duki (Masduqi) Lasem, kiai ahli ushul fikih dan satunya aku sudah lupa.”

Mungkin, yang dimaksud Gus Mus dalam kutipan di atas memang tengah mengecualikan beberapa ulama Indonesia yang sudah masyhur bergelar Syaikh seperti Syaikh Ihsan Jampes Kediri, Syaikh Mahfudz At-Termasi Pacitan, ataupun ulama Indonesia yang datang belakangan dan berkiprah di Timur Tengah seperti Syaikh Yasin Padang (Allahu Yarhamhum). Pertanyaannya kemudian adalah siapa Syaikh -selain Syaikh Masduqi- yang tidak sempat disebutkan oleh Kiai Husein di atas? Saya menduga  Syaikh yang namanya tidak disebutkan oleh Kiai Husein tersebut adalah Syekh Mas’ud Kawunganten Cilacap.

Dugaan ini didasarkan pada artikel Gus Dur yang pernah diterbitkan di majalah Tempo tanggal 18 September 1982.  Dalam artikel yang diberi judul Syekh Mas’ud Memburu Kitab ini, Gus Dur mengulas sosok Kiai Mas’ud yang memiliki pengetahuan mendalam dalam disiplin ilmu Ushul Fiqh beserta kaidahnya. “Dua perangkat yang harus dikuasai dengan baik oleh seorang ahli hukum Islam yang sehingga ia layak disebut seorang “Syaikh”.” Tandas Gus Dur.

Syaikh Mas’ud -masih menurut Gus Dur- adalah kiai yang berhasil “menyelamatkan” naskah Mahahijul Imdad. Sebuah karya Syaih Ihsan Jampes yang berisi tentang komentar atas kitab Irsyadul Ibad. 

Mengenal Syaikh Mas’ud

Syekh Mas’ud lahir di Kawunganten Cilacap dari pasangan Muhyidin dan Sangadah pada tahun 1923. Ia anak kedua dari sembilan bersaudara.  Ayahnya adalah seorang guru ngaji di masyarakat yang bekerja sebagai buruh tani.

Syekh Mas’ud adalah seorang tipikal kiai yang sederhana. Meskipun dikenal memiliki kecapakan dan keahlian yang luar biasa, penampilannya  sangat sederhana. Dalam hal ini, Gus Dur (1982) mengungkapkan:

Orangnya sederhana. Dalam pergaulan sangat bersikap rendah hati kepada orang lain, bahkan kepada yang lebih muda umurnya sekalipun. Suaranya tidak pernah dikeraskan. Penampilannya adalah penampilan kiai ‘kampung’ yang tidak ada ‘kegagahan’nya sedikit pun.

Pendidikan agamanya dimulai dari ayahnya sendiri. Kemudian saat usianya menginjak umur sepuluh tahun ia dikirim oleh ayahnya untuk belajar kepada Kiai Hanafi di Desa Sarwadadi yang lokasinya tidak jauh dari tempat tinggalnya. Di bawah asuhan Kiai Hanafi ia belajar al-Quran dan menamatkannya di tahun 1936. Kemudian tanpa sepengetahuan ayahnya, ia melanjutkan belajarnya ke Mojosari Kebumen. Di bawah bimbingan Kiai Ahmad, Mas’ud  memperdalam ilmu gramatikalnya hingga menghafal dan memahami kitab Alfiyyah Ibn Malik.

Setelah belajar selama empat tahun di Kebumen, Mas’ud merasa semakin dahaga dalam mempelajari ilmu agama. Pada tahun 1940 ia melanjutkan pengembaraannya ke pesantren Al-Ihsan Jampes dan belajar langsung di bawah asuhan Syekh Ihsan Jampes. Di sini ia belajar selama tujuh tahun dan memfokuskan diri untuk lebih memperdalam pengetahuannya di bidang ilmu fikih.

Dari Pesantren al-Ihsan Jampes, tepatnya pada tahun 1947, ia melanjutkan pendidikannya ke pesantren Darul Hikam Bendo Pare Kediri. Sebuah pesantren “keramat” yang melahirkan sejumlah Kiai-Kiai besar di seantero Jawa. Sebut saja Mbah Sahal Mahfudz (Rais Aam PBNU 1999-2014), Abuya Dimyathi Banten, Syekh Mahmud Bode Cirebon, dan Kiai-Kiai besar lainnya. Di Pesantren Bendo ini, Syekh Mas’ud selama sepuluh tahun mempelajari lebih dalam tentang disiplin ilmu fikih beserta kaidah-kaidahnya.

Selain belajar di pesantren-pesantren yang telah disebutkan di atas, Syekh Mas’ud tercatat belajar ke sejumlah pesantren dan Kiai besar lainnya di tanah Jawa seperti kepada KH. Zubair bin Dahlan (ayahanda Mbah Maimun Zubair) Al-Anwar Sarang Rembang, Syaikh Masduqi Lasem (ayah mertua KH. Taufiq Pekalongan dan KH. Miftakhul Akhyar wakil Rais Aam PBNU 2015-2020), KH. Wahid Hasyim Tebu Ireng Jombang, KH. Ahmad Syu’aib Sarang Rembang, hingga belajar kepada Syaikh Ismail Zain Yaman dan Syaikh Yasin Padang. (Bersambung)