“Syekh Burhanuddin pulang kampung pada tahun 1100 H atau 1680 M dengan berjalan kaki, padahal jaraknya ratusan kilometer, di desa Tiku, Kabupaten Agam sekarang, ia mempersunting seorang gadis, dan tak lama kemudian meneruskan perjalanan ke kampung halamannya, Ulakan, untuk berdakwah.”
Begitu Buya Hamka berkisah tentang Syekh Burhanudddin, Ulakan dalam bukunya Ayahku. Syikh Burhanuddin adalah ulama yang sangat dihormati oleh masyarakat Minangkabau. Bahkan tiap tanggal 10 safar diadakan upacara Basafar di Ulakan dengan tradisi ziarah. Menurut sejarawan asal Minang, Prof. Dr. Sidi Ghazalba, ziarah itu dilakukan untuk menghormati Syekh Burhanuddin di kampung Ulakan yang kemudian terkenal dengan sebutan Syekh Burhanuddin Ulakan.
Syiekh Burhanudddin adalah ulama yang mengembangkan Tarekat Syatariyah di Sumatera Barat. Ia lahir di Ulakan, Sintuk, Pariaman, Sumatera Barat pada tahun 1646 H / 1066 M. Menurut Tuan Guru Haji Harun At-Thubuhi al-Faryamani (dari Pariaman) dan KH. Syirajuddin Abbas, seorang tokoh Perti (persatuan Tarbiyah Islamiyah), Syekh Burhanuddin berasal dari suku Guci, salah satu suku di pedalaman sebelum Islam berkembang di Sumatera Barat. Lahir dari keluarga miskin.
Sebelum muslim nama aslinya adalah Pono. Hidupnya berpindah-pindah karena kemiskinan. Kemudian hijrah ke Aceh dan bertemu Syekh Abdurrauf as-Sinkili. Pada mulanya Pono hanya ingin bekerja untuk mencari sesuap nasi. Namun kemudian diangkat menjadi murid. Dengan tekun, ia belajar keislaman pada Syekh Abdurrauf selama tiga belas tahun. Ia sangat taat dan patuh.
Suatu hari ketika Syekh Abdurrauf mengunyah sirih, mendadak tempat sirihnya terlepas dan jatuh ke dalam kakus yang sangat dalam. “Siapa diantara kalian yang sudi membersihkan kakus ini sebersih-bersihnya sambil mengambil tempat sirih yang jatuh?” tanya Syekh Abdurrauf kepada para santrinya.
Banyak santri yang enggan, tapi tidak dengan Pono. Ia menguras dan membersihkan kakus itu selama berjam-jam. Tak lama kemudian ia lalu menemukan tempat sirih gurunya. Kemudian dibersihkan dan diserahkan kepada Syekh Abdurrauf.
“Tanganmu ini nanti akan selalu dicium tak putus-putus oleh para Raja, para penghulu, orang-orang besar dan murid-muridmu sampai akhir zaman, sementara ilmumu akan memberkati dunia, maka mulai sekarang aku namai kamu Saidi Burhanuddin,” ungkap Syeikh Abdurauf.
Setelah merasa cukup menuntut ilmu, Buhanuddin minta izin pulang kampung. Di tanah Minang, Burhanuddin dimasukkan ke dalam golongan Buya (ulama besar) tanpa Madrasah, sebab ia tidak punya sekolah dan hanya mengajarkan agama dari surau ke surau dan majlis taklim.
Namun walaupun tidak memiliki madrasah, pengaruh Burhanuddin sangatlah kuat dan memberikan warna tersendiri bagi perkembangan agama Islam, khususnya di Padang Pariaman.
Murid-muridnya yang terkenal antara lain Syekh Ismail Abdullah, Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Latif, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Syekh Jamil Jaho, Syekh Jalaluddin, Syekh Jambil Jambek, dan sebagainya. Syekh Burhanuddin wafat pada 10 Shafar 1111 H, jenazahnya di makamkan di Ulakan.
Wallahu A’lam.