Syekh Abu Hasan As-Syadzili, Pendiri Tarekat As-Syadziliah

Syekh Abu Hasan As-Syadzili, Pendiri Tarekat As-Syadziliah

As-Syadzili adalah pendiri tarekat as-Syadziliyah, yang pengikutnya tersebar di berbagai Negara, seperti Mesir, Tunis, Libya, Sudan, Indonesia dan lain sebagainya.

Syekh Abu Hasan As-Syadzili, Pendiri Tarekat As-Syadziliah

Syekh Abu Hasan As-Syadzili adalah seorang ulama sufi yang lahir di desa yang bernama Ghumarah, dekat daerah Sabtah (sekarang kota Thonjah/Ceuta, Afrika Utara), Maroko. Pada tahun 593 H/ 1197 M.  nama lengkap beliau adalah Ali Bin Abdillah, Bin Abdul Jabbar, Bin Tamim, Bin Hurmuz, yang  kalau diteruskan nasabnya akan sampa kepada Hasan Bin Ali Bin Abi Thalib, cucu Rosulullah SAW.

Perjalanan intelektual dan ruhaniah Syekh Abu Hasan as-Syadzili sangat panjang, beliau pertama kali belajar ilmu syariat dan menghafal al-qur’an waktu masih kecil di desa kelahirannya. Namun betatapapun penguasaan seseorang terhadap ilmu-ilmu lahiriyah semacam fikih, nahwu shorof dan lain sebagainya.

Ternyata itu belum membawa jiwa ke alam kerohanian yang tinggi. Syekh Abu Hasan yang memendam suatu hasrat yang amat kuat untuk medekatkan diri pada Allah, dan akhirnya memutuskan untuk merantau ke Negara Iraq. Dimana Iraq pada waktu itu merupakan pusat peradaban Islam dan kota tujuan setiap penuntut ilmu, disamping tempat para ahli ilmu dunia, juga pusat tokoh-tokoh terkemuka dalam bidang fiqh, hadist, dan tasawuf.

Dalam pengembaraanya di Negara Iraq, yang merupakan  kawasan para sufi dan orang-orang saleh. Bertemulah beliau dengan Syekh Shalih Abi al-Fath al-Wasithi, seorang syekh yang paling berkesan di dalam hatinya sewaktu di Iraq. Kemudian Syekh Abu Fath berkata pada Syekh Abu Hasan, “Hai Abu Hasan, engkau mencari wali qutb di sini, padahal dia berada di negaramu sendiri, kembalilah, maka kamu akan menemukannya’’.

Akhirnya, Syekh Abu Hasan kembali lagi ke Maroko, kemudian bertemu dengan Syekh Shiddiq al-Qutb al-Ghauts Abi Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al-Syarif al-Hasani  al-Qutb al-Akbar Maghrib, kepada beliaulah kemudian Syekh Abu Hasan berguru.

Ketika baru sampai di Maroko dan ingin menemui Syekh Abdus Salam, Syekh Abu Hasan membersihkan badan dan datang laksana orang yang hina dina dengan penuh dosa. Sebelum beliau menemui Syekh Abdus Salam, ternyata Syekh Abdus Salam sudah mengetahui kedatangannya dan terlebih dulu menemui Syekh Abu Hasan di lereng gunung sekitar tempat tinggal Syekh Abdus Salam.

Syekh Abdus Salam kemudian menemuinya sambil berkata, “Selamat datang wahai Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar,” begitu sambutan Syekh Abdus Salam sambil menuturkan nasab Syekh Abu Hasan yang sampai kepada Rasulullah Saw.

Kemudian Syekh Abdus Salam berkata lagi kepada Syekh Abu Hasan, “Kamu datang kepadaku laksana orang yang hina dina dan merasa tidak punya amal baik, maka bersamaku kamu akan memperoleh kekayaan dunia dan akhirat”.

Kemudian Syekh Abu Hasan tinggal bersama Syekh Abdus Salam dalam beberapa hari, untuk membersihkan dirinya. Selama tinggal bersama Syekh Abdus Salam, Syekh Abu Hasan melihat beberapa karomah yang dimiliki oleh gurunya.

Pertemuan kedua ulama tersebut benar-benar merupakan pertemuan antara mursyid dan murid. Banyak sekali futuhat ilahiyyah yang diperoleh Syekh Abu Hasan dari gurunya tersebut. Di antara wasiat dari Syekh Abdus Salam yang diberikan kepada Syekh Abu Hasan adalah: “Pertajamlah penglihatan keimananmu, maka kamu akan menemukan Allah pada setiap sesuatu.”

Adapun asal usul nama Syadzili beliau peroleh dalam perjalanan ruhaniahnya. Dalam perjalanan ruhaniahnya beliau bercerita, “Ketika saya duduk di hadapan Syekh Abdus Salam, di dalam ruangan kecil, di sampingku ada anak kecil, aku ingin bertanya kepada Syekh Abdus Salam tentang nama Allah. Akan tetapi, anak kecil tadi mendatangiku dan tangannya memegang kerah bajuku, lalu berkata “Wahai Abu Hasan, kamu ingin bertanya kepada Syekh tentang nama Allah, padahal sesungguhnya kamu adalah nama yang kamu cari, maksudnya nama Allah telah ada di dalam hatimu. Akhirnya Syekh Abdus Salam tersenyum dan berkata “Dia telah menjawab pertanyaanmu.”

Setelah kejadian tersebut, Syekh Abdus Salam memerintahkan Syekh Abu Hasan untuk pergi ke daerah Afriqiyyah Tepatnya di daerah Syadzilah, karena Allah akan menyebutnya dengan nama Syadzili, padahal waktu itu Syekh Abu Hasan belum dikenal dengan nama tersebut.

Selanjutnya sesuai perintah dari gurunya, Syekh Abu Hasan berangkat ke daerah tersebut untuk mengetahui rahasia-rahasia yang telah dikatakan oleh Syekh Abdus Salam kepadanya. Dalam perjalanan ruhaniahnya, Syekh Abu Hasan banyak menerima ujian sebagaimana ujian yang dialami oleh para wali pilihan Allah.

Sesampainya di Syadzilah, suatu daerah yang tak jauh dari Tunis, Syekh Abu Hasan menuju gua yang berada di Gunung Zaghwan, dan menundukkan dirinya semata-mata kepada Allah lewat beribadah, shalat, puasa, tilawat, dan tasbih.

Setiap hari, selama munajatnya di Gunung Zaghwan Syekh Abu Hasan selalu membaca Surat Al-An’am. Selama bermunajat di Gunung Zaghwan, Syekh Abu Hasan tidak menyembunyikan diri dari orang-orang yang ingin menemuinya, ia selalu menyambut dengan baik setiap pecinta ma’rifah yang benar benar serius dalam menuntutnya. Di dalam sebuah gua yang ada di gunung itulah, Syekh Abu Hasan berkhalwah hingga hatinya benar-benar  kosong dan hanya ada Allah Swt. Jiwanya pun telah suci dari keburukan.

Suatu saat di akhir munajatnya, ada bisikan suara kepada Syekh Abu Hasan “Wahai Abu Hasan, turunlah dan bergaul-lah bersama orang, maka mereka akan dapat mengambil manfaat darimu. Kemudian Syekh Abu Hasan berkata, “Ya Allah, mengapa engkau perintahkan aku untuk untuk bergaul bersama mereka? Aku tidak mampu.” Kemudian pertanyaan tersebut dijawab, “Sudahlah, turun! Niscaya kamu akan selamat dan kamu tidak akan mendapat celaan dari mereka.”

Kemudian Syekh Abu Hasan berkata lagi, “Kalau aku bersama mereka, apakah nanti aku makan dari dirham mereka?” Kemudian muncullah jawaban, “Bekerjalah, Aku Maha Kaya, kamu akan memperoleh rizki dari usahamu juga dari rizki yang Aku berikan secara gaib.” Setelah itu, Syekh Abu Hasan bergaul dengan penduduk setempat, bahkan mempunyai halaqah dzikir dan pengajian.

Adapun perihal penisbatan nama Syadzili kepadanya, Syekh Abu Hasan berkata, “Pernah aku berkata, “Wahai Allah, mengapa engkau menamakanku dengan As-Syadzili, sedangkan aku tidak berasal dari Syadzilah. Maka aku mendengar jawaban, “Wahai Ali, aku tidak menamakanmu dengan As-Syadzili, tetapi engkau adalah Syadzdzuli (dibaca dengan tasydid huruf dzal), yang artinya orang yang mengasingkan untuk berkhidmat dan mencintaiku.

Maka setelah dari daerah Syadzilah, Syekh Abu Hasan bertolak ke Tunisia, tempat beliau akan menerima sebuah cobaan. Sebagaimana yang pernah diucapkan oleh guru beliau Syekh Abdus Salam, “Akan ditimpakan ujian kepadamu di sana (Tunisia) dari pihak penguasa.”

Ketika di Tunis, Syekh Abu Hasan tinggal di Masjid al-Bilath, banyak para ulama dan sufi yang bermukim di lingkungan sekitarnya, di antaranya al-Jalil Sayyidi Abu al-Azaim, Syekh Abu Hasan al-Shaqli dan Abu Abdillah al-Shabuni.

Setelah berdakwah di Tunis, bergaul dengan masyarakat, membimbing dan menyebarkan ajaran-ajaran Islam dan ketenangan hidup. Nama Syekh Abu Hasan terkenal di mana-mana. Sampai suatu saat terdengar oleh kadi al-Jama’ah Abul Qosim bin Barra’.

Ketenaran beliau membuat sang kadi, gerah, iri dan hasud. Karena Syekh Abu Hasan mempunyai murid yang sangat banyak. Kemudian sang kadi pun berusaha untuk merusak popularitasnya. Dengan usaha melaporkan kepada Sultan Abi Zakariya, dengan tuduhan, bahwa Syekh Abu Hasan berasal dari golongan Fathimi, yang saat itu memang dimusuhi Kerajaan Husainiyah.

Setelah mendapat laporan dari sang kadi, sultan pun langsung mengadakan pertemuan dan menghadirkan Syekh Abu Hasan dan Kadi Abul Qosim, serta para pakar fikih. Pertemuan tersebut dilaksanakan untuk menguji seberapa jauh keilmuan dan kemampuan yang dimiliki oleh Syekh Abu Hasan.

Banyak berbagai pertanyaan yang dilontarkan untuk mempermalukan Syekh Abu Hasan di depan umum. Namun usaha itu sia-sia, karena jawaban Syekh Abu Hasan yang tepat dan bisa menepis semua tuduhan, justru yang didapatkan adalah pengakuan dari Sultan bahwa beliau adalah termasuk pemuka para wali. Hal ini sesuai dengan perkataan Imam Syafi’i, “Dalam ujian, orang akan terhina atau bertambah mulia”.

Setelah kadi Abul Qosim gagal merusak popularitas Syekh Abu Hasan dan malu, justru nama Syekh Abu Hasan semakin harum di kalangan masyarakat. Rasa iri dan dengki sang kadi pada Syekh Abu Hasan semakin bertambah. Ia memberikan ultimatum kepada Sultan Abi Zakariya dengan mengatakan, “Jika tuan membiarkan dia, maka penduduk Tunis akan menurunkanmu dari singgasana.”

Setelah diultimatum oleh sang kadi dan khawatir akan lengser. Sultan pun menahan Syekh Abu Hasan dan memenjarakannya di dalam Istana. Kabar tentang penahanan Syekh Abu Hasan terdengar oleh salah satu sahabatnya.

Sahabatnya itu kemudian menjenguk Syekh Abu Hasan. Dengan penuh prihatin, sahabat Syekh Abu Hasan berkata, “Orang-orang di luar sana membicarakanmu, bahwa kamu telah melakukan ini dan itu.”

Kemudian dia menangis di depan Syekh Abu Hasan. Syekh Abu Hasan pun menanggapinya dengan senyum manis seraya berkata, “Demi Allah, andai kata aku tidak menggunakan adab syara’ maka aku akan keluar dari sini,” seraya mengisyaratkan dengan jarinya. Ketika setiap jarinya mengisyaratkan ke dinding, maka dinding tersebut langsung terbelah.

Perjalanan Syekh Abu Hasan tidak berakhir di Tunis, walaupun cikal bakal tarekatnya pertama kali di Tunis. Setelah dari Tunis beliau pindah ke wilayah timur, tepatnya di Iskandariah, Mesir. Di sinilah beliau bertemu dengan Syekh Abi Abbas Al-Mursyi, murid sekaligus penerus Tarekatnya.

Alasan beliau pindah ke Mesir adalah karena ia mimpi bertenu Rasulullah Saw. Dalam mimpi itu, Rasul berkata, “Hai Ali, pergilah ke Mesir untuk mendidik 40 orang yang benar-benar takut padaku.”

Sehingga ketika tinggal di Mesir, banyak ulama yang berguru kepada beliau, di antaranya adalah Izzudin bin Abdus Salam, Ibnu Daqiq Al-‘Id, al-Hafidz Al-Mundziri, Ibnu al-Hijab, Ibnu Sholah, Ibnu Usfur dan beberapa murid beliau yang lain di madrasah al-Kalamiyyah.

Syekh Abu Hasan As-Syadzili meninggal pada tahun 656 H/ 1258 M dan dimakamkan di Humaitsara, Wilayah Bahr Ahmar. Sebelum meninggal, beliau sering menunaikan haji setiap tahun. Syekh Abu Hasan as-Syadzili, tidak meninggalkan sebuah berbentuk kitab dalam bidang tasawuf, namun beliau meninggalkan hal besar yang berbentuk laku (Tarekat Syadziliyah) dan Hizb (Hizb An-Nashr, Hizb Bahr, Hizb Barr, Hizb Andarun Hizb tawasul dan lainnya). Semua yang dilakukan oleh Syekh Abu Hasan adalah Semata-mata untuk kemaslahatan dunia dan akhirat bagi umat islam.

Adapun kitab inti yang menjadi rujukan pengajaran tasawuf Syekh Abu Hasan As-Syadzili adalah Khatamul Auliya’ karya Al-Hakim Al-Tirmizi, al-Mawaqif wa al-Mukhotobah, karya Muhammad Bin Abdul Jabbar An-Niffari, Qutuul Qulub karya Abi Thalib Al-Makky, Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali, as-Syifa’ karya Qodhi Iyadh, Ar-Risalah Qusyairiyah karya Imam Qusyairi dan Muharrah Al-Wajiz Ibnu Athiah.

Pengikut Tarekat as-Syadziliyah, tersebar di berbagai Negara, seperti Mesir, Tunis, Libya, Sudan, Indonesia dan lain sebagainya. Adapun sanad Tarekat as-Syadziliyah tersambung sampai Rasulullah Saw.

Wallahu A’lam