Lebaran Syawalan tahun ini terkesan berbeda dengan Syawalan di tahun-tahun sebelumnya. Khususnya kalau kita bertamu di malam hari maka di hampir setiap rumah rata-rata kanal tv yang ditonton adalah siaran piala dunia. Sementara pada lebaran sebelumnya tayangan tv favorit adalah film Warkop.
Silaturrahim sambil nonton bareng sepak bola piala dunia tampaknya memberi kesan tersendiri bagi yang merayakan lebaran kali ini. Paling tidak waktu kunjung saudara, handai tolan, teman dan kerabat bertambah lama karena ada bahan obrolan lain. Apalagi kalau bukan seputar sepak bola.
Seperti pengalaman semalam, saya bersilaturrahim ke rumah seorang ustadz yang rupanya hobby nonton sepak bola. Tv sengaja dipasang di ruang tamu agar bisa ditonton sohibul bait bersama para tamu yang datang. “Silahkan duduk. Alhamdulillah saya ada teman nonton bola. Ustaz suka bola, kan?” kata tuan rumah dengan sangat ramah dan sopan.
Saya yang aslinya bukan tergolong bolamania mau tak mau harus beradaptasi dengan ajakan tuan rumah. Terlebih kami berdua sudah cukup lama tak berjumpa. “Saya suka bola berawal saat membaca analisis bola Gus Dur di surat kabar nasional. Menurutmu bagaimana? Halal kan nonton sepak bola, yang katanya didanai juga oleh cukong-cukong judi?” ujar sohib dekat saya itu dengan tatapan muka yang tak pernah lepas mengarah ke layar tv.
Oleh karena diminta komentar, saya pun ikut nimbrung dalam obrolan syawalan bertemakan silaturrahim dan sepak bola. Mungkin karena saya minim referensi data-data sepak bola (pemain, asal usul club dan negara surga sepak bola) saya jadi terkesan sok relegius dibanding konten bolanya.
Begini pendapat saya: Permainan sepak bola mengajarkan sportifitas (fastabiqul khairat). Siapa yang mengejar bola, dialah yang memainkan bola. Bukankankah itu selaras dengan ajakan al-Quran agar kita tidak berpangku tangan (wa la tulkuu bi aydiikum ilat-tahlukah: jangan berpangku tangan sehingga menyebabkan hancur).
Dalam permainan sepak bola juga ada pelajaran tentang kekompakan, kebersamaan dan kerjasama (ta’awun). Satu tim kesebelasan memiliki peran dan tugas tersendiri untuk tujuan yang sama, yaitu menyarangkan bola ke gawang lawan. Sekalipun gol banyak dihasilkan pemain ujung tombak, tapi pemain yang lain tidak hasud, iri dan dengki. Bukankah itu implementasi akhlak islami?
Di samping itu dalam setiap pertandingan pasti ada rasa harap-harap cemas. Berharap untuk bisa menang dan cemas kalau mengalami kekalahan, yang dalam bahasa tasawwuf disebut Khauf wa Roja’. “Dengan demikian sepak bola itu islami banget,” kataku meyakinkan sohibul bait dengan didukung dalih agama karena minim referensi bola.
“Baru kali ini saya dengar analisis bola dengan bawa-bawa bahasa agama. Tapi logis juga, ustadz.” Komentar sohibul bait. “Kalau begitu, berarti kita sekarang ini sedang menonton potret kehidupan calon penghuni surga,” lanjut komentarnya.
“Iya deh! tapi ngomong-ngomoh saya boleh permisi dulu karena sudah malam.” Timpal saya sambil undur diri untuk izin pulang, sekalipun siaran pertandingan sepak bola belum selesai. Semoga ulasan obrolan Syawalan ini bermanfaat. Amiin