Syaikh Yusuf al-Makassari, Sang Sufi yang Bergerilya (1)

Syaikh Yusuf al-Makassari, Sang Sufi yang Bergerilya (1)

Syaikh Yusuf al-Makassari, Sang Sufi yang Bergerilya (1)
Ilustrasi: Syekh yusuf al makassari sumber: Afandri Adya

Menyusuri jejak perjuangan dan pemikiran Syaikh Yusuf al-Makassari, membuat kita terpesona. Syaikh Yusuf merupakan sufi pejung, seorang mursyid dan penganut tarekat yang bergerak mengangkat senjata, pengatur strategi gerilya yang ulung dan penggerak tanpa lelah. Syaikh Yusuf menginspirasi kaum muslim di lintas kawasan: Makassar, Banten, Ceylon hingga Afrika Selatan. Bahkan, gelombang perjuangan Syaikh Yusuf masih berdenting hingga kini, sebagai energi perjuangan warga Afrika Selatan.

Dalam catatan Abu Hamid, Syaikh Yusuf lahir di Kerajaan Gowa pada 1626. “Pada zamannya, beliau dikenal di empat negeri: Banten, Sulawesi Selatan, Ceylon dan Afrika Selatan. Beliau peletak dasar keharmonisan komunitas muslim di Afrika Selatan dan Ceylon, bahkan di sana dianggap bapak dari komunitas-komunitas di Afrika Selatan yang berjuang mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menentang penindasan dan perbedaan kulit,” tulis Hamid dalam bukunya, Syekh Yusuf Makassar; Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang (1994).

Syaikh Yusuf memiliki nama kecil Muhammad Yusuf. Ada dua versi nama ayah beliau, yakni Abdullah (versi Hamka) dan Gallarang Moncongloe (versi Lontarak RTGS Tallo). Pada 2009 lalu, Syaikh Yusuf al-Makassari dianugrahi gelar penghargaan Oliver Thambo, yakni penghargaan pahlawan Nasional di Afrika Selatan. Penghargaan ini, diserahkan oleh Thabo Mbeki, presiden Afrika Selatan, kepada ahli waris Syaikh Yusuf, yakni Andi Makmun dan Syachib Sulton.

Syaikh Yusuf terlibat dalam perang gerilya, terutama ketika pasukan Sultan Ageng Tirtayasa berperang melawan pasukan Belanda pada 1682. Pada peperangan ini, Syaikh Yusuf bermasa Pangeran Purabaya menggerakkan pasukan untuk melakukan serangan gerilya melawan pasukan tentara Belanda. Kawasan gerilya bahkan hingga ke Karang, dekat Tasikmalaya. Syaikh Yusuf kemudian ditangkap oleh Belanda, yang ditahan di Cirebon kemudian dipindahkan ke Batavia.

Pemerintah Hindia Belanda kemudian memindahkan Syaikh Yusuf ke Ceylon (Sri Lanka). Pada September 1648, Syaikh Yusuf bersama dua orang istri dan beberapa anak, serta 12 muridnya diberangkatkan menuju Ceylon untuk menjalani tahanan pembuangan. Di Ceylon, Syaikh Yusuf tidak tinggal diam, bahkan bergerak untuk mengkonsolidasi perlawanan. Kemudian, oleh Belanda, Syaikh Yusuf bersama keluarga dan murid-muridnya, dibuang ke Cape Town, Afrika Selatan, sampai masa wafatnya beliau.

Syaikh Yusuf al-Makassari dibaiat lebih dari 17 aliran tarekat, di antaranya: Tarekat Qodiriyah, Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Syattariyah, Suhrawardiyah, Dasukiyah, Jistiyyah, Aidrusiyyah, Kabrutiyyah, Khalwatiyyah, Ba’alawiyyah, Rifa’iyyah, Maduriyyah, Mahmudiyyah, Madyaniyyah, Akmaliyyah, dan Kawabiyyah.

Dalam ajarannya, Syaikh Yusuf mengurai tentang tata cara penyucian batin dengan cara-cara moderat. Menurutnya, kehidupan dunia ini bukanlah harus ditinggalkan, serta gejolak hawa nafsu bukanlah harus dimatikan sama sekali. Menurut Syaikh Yusuf, gejolak hawa nafsu harus dikuasai melalui tata tertib hidup, disiplin diri serta penguasaan diri atas dasar orientasi hidup.

Hidup ini, dalam pandangan Syaikh Yusuf, tidak sekedar dalam rangka mencari keseimbangan dunia akhirat. Namun, harus ada cita-cita utama untuk mencapai anugrah Allah Swt. Dalam pengajian yang disampaikan kepada murid-muridnya, Syaikh Yusuf mengajak untuk menemukan kebebasan sebagai manusia sekaligus hamba Allah, serta menempatkan Allah Swt sebagai pusat orientasi dan inti dari segala cita-cita kehidupan (Munawir Aziz).