Dulu, sebelum Jokowi memilih calon wakil presidennya saya ditanya seorang kawan, siapa kira-kira calon ideal untuk mendampingi dia? Kawan saya itu bukan seorang politisi. Dia juga tidak ada hubungan dengan politisi manapun. Kami hanya iseng.
Kami hanya mencari kemungkinan terbaik. Kami tidak memperhatikan konstelasi politik. Kami juga tidak menganggap kami hendak memperbaiki negara. Kami omong politik seperti anak-anak millenial sekarang main video game.
Saat itu saya jawab Susi Pudjiastuti. Kawan saya itu tertawa. Mengapa? Apakah kamu serius? Apa pertimbangannya?
Jawaban saya sederhana saja. Dia luwes banget untuk melakukan politik eceran (retail politics). Politik eceran itu hanya istilah saya. Yang saya maksudkan adalah cara menjual sesuatu, entah ide atau kebijakan. Tidak ada politisi Indonesia yang lebih baik dari Susi Pudjiastuti untuk melakukan itu.
Namun kenyataan politik berakhir lain. Kita tahu, Jokowi memilih Ma’ruf Amin untuk menjadi wakilnya. Dia lebih mendengarkan jendral-jendral di lingkaran dekatnya, yang merasa mampu untuk memainkan politik identitas dalam mengelola Indonesia.
Sampai sekarang saya masih ragu apakah itu keputusan yang tepat. Ada banyak faktor yang menurut saya menjadikan keputusan itu sebuh blunder yang mungkin akan dibalas kekalahan dalam Pilpres.
Terutama kalau ekonomi menjadi medan pertarungan kampanye. Dari laporan majalah Tempo terakhir, saya melihat orang-orang yang berusaha memoles Ma’ruf Amin tampaknya harus memutar otak sedikit lebih keras. Kata orang Inggris, “The stuff is just too hard to sell.”
Kembali ke Susi Pudjiastuti. Mengapa dia? Pertama, saya kira tidak ada politisi Indonesia modern yang punya ‘life story’ sebagus Susi. Pendidikan formalnya hanya SMP. Tapi dia fasih beberapa bahasa asing. Dia adalah ‘self-made businesswoman.’ Juga cukup sukses.
Secara politik, life-story Susi juga berkondite bagus. Dia bukan tipe pebisnis seperti Sandiaga Uno, yang mengumpulkan kekayaan sebagai ‘venture capitalist.’ Sandi sangat mudah digambarkan sebagai ‘vulture capitalist’ atau kapitalis pemakan bangkai. Karena kerjaannya mencari perusahaan-perusahan sakit, beli murah, perbaiki sedikit hingga harga baik, dan jual kembali ratusan kali lipat harga beli.
Bisnis Susi adalah bekerja bersama nelayan — sebelum dia mengoperasikan perusahan penerbangan. Ini adalah bisnis yang bekerja dengan rakyat Indonesia kebanyakan. Tidak heran dia sangat menguasai portofolinya sebagai menteri perikanan. Juga tidak heran dia tidak pernah canggung bicara dengan rakyat biasa. Tidak ada tindakan konyol seperti menaruh pete di kepala.
Saya kira, Susi juga sulit untuk ditarik ke dalam isu-isu sektarian. Selama menjadi menteri, dia tidak pernah masuk ke wilayah itu. Dalam kampanye, Susi akan menjadi suara yang bicara soal program. Dia bisa menjelaskan suatu kebijakan dengan sederhana tanpa terjebak ke dalam sektarianism
Kualitas lain adalah selama menjadi menteri, Susi membikin image sebagai orang yang ‘no non-sense.’ Tanpa tedeng aling-aling. Dia bisa menjadi tandingan orang yang ingin berkampanye untuk pemimpn kuat.
“Tenggelamkan!” itu bisa jadi satu kosakata politik yang amat kuat. Dan yang mengatakan itu bukan seorang jendral. Dia seorang perempuan tamatan SMP! Apa yang lebih kuat dari itu?
Sekarang ini makin kelihatan bahwa ekonomi akan menjadi isu kampanye yang paling penting. Ini titik lemah Jokowi. Setelah hampir empat tahun mendengung-dengungkan pembangunan infrastruktur, kini Jokowi menghadapi kenyataan pahit.
Ekonomi meleleh. Pertumbuhan ekonomi melemah. BPJS merugi. Proyek infrastruktur mangkrak karena pembiayaan menjadi mahal akibat dollar menguat. Yang lebih gawat lagi, kalau nanti impor bahan pangan (beras, gandum, kedele) makin mahal. Pemerintah tidak akan mampu mensubsidinya.
Bagaimana jika USD$1 naik menjadi Rp 20 ribu? Itu bukan mimpi. Kemungkinan untuk itu ada. Dan, semakin hari semakin membesar.
Saya menduga, itulah sebabnya akhir-akhir ini Menteri Susi muncul kembali dalam berita setelah lama absen (disimpan atau ditenggelamkan? Hehe ).
Kemarin saya melihat bagaimana dia menelikung dan membuat Sandiaga Uno seperti anak kecil yang tidak tahu apa-apa karena berusaha usil soal nelayan. Sandi mempersoalkan ijin melaut untuk nelayan.
Susi langsung menanggapinya dengan menguraikan kebijakan departemennya. Dengan cara elegan. Ketika melihat tayangan videonya, reaksi pertama saya, “This lady knows how to fight …” Satu sebutan politik Amerika yang patut disandang Susi adalah bahwa dia seorang ‘maverick.’
Tentu saja, kelemahan Susi adalah bahwa dia tidak punya akar partai politik. Dia memang dibawa oleh PDIP. Namun dia bukan politisi karir yang naik ke kekuasaan lewat jalur partai.
Persoalan partai dan oligarki dalam sistem politik kita mungkin tidak akan membuat Susi Pudjiastuti bertahan dalam pusaran kekuasaan. Sekali pun sebenarnya dia bisa punya masa depan yang baik dalam politik Indonesia. Namun partai dan para oligarkh di Jakarta tidak akan membiarkan orang yang tidak bisa mereka kontrol untuk menjadi pemimpin.
Untuk saya, sekalipun karir politik Susi mungkin akan berakhir setelah Pilpres mendatang ini, dia tetap akan dikenang sebagai tokoh unik dalam sejarah politik Indonesia. Terlebih lagi, dia perempuan, self-made businesswoman, dan otodidak.
Sebagai pengamat, satu-satunya yang saya sesalkan adalah bahwa saya tidak akan pernah melihat debat antara Susi Pudjiastuti dan Sandiaga Uno. Pasti seru. Sandi, betapapun sering konyol, bukan lawan yang enteng.
Saya sudah bisa membayangkan betapa membosankan debat antara Sandi-Ma’ruf Amin. Mereka pernah satu kubu.