Susi Pudjiastuti Si Gadis Pantai, Bukan Gadis Partai

Susi Pudjiastuti Si Gadis Pantai, Bukan Gadis Partai

Susi Pudjiastuti tidak dijadikan menteri lagi, tapi perubahan ia selama ini dahsyat sekali

Susi Pudjiastuti Si Gadis Pantai, Bukan Gadis Partai

Menjelang susunan kabinet baru lalu, tanggal 10 Oktober 2019 lalu, bu Susi menetapkan Teluk Benoa sebagai kawasan Konservasi maritim. Artinya beliau memutuskan menolak reklamasi Bali.

Jrx dan rakyat bali menganggap ini sebagai hadiah. Sayangnya ini hadiah terakhir. Selama bertahun-tahun bu Susi sebagai bagian dari pemerintah menjadi tameng pemerintah dalam mendukung reklamasi. Keputusannya ini menyiratkan satu hal: sinyalemen bahwa ia tidak akan terpilih lagi.

Sedih. Untuk orang seperti saya, saya bersedih. Setidaknya sikap bu Susi memang sudah terlihat sejak perdebatan dan perbedaan pandangannya dengan pak luhut, juragan tanah Indonesia.

Ada beragam prestasi yang dilakukannya. Sebagian prestasi laten seperti peningkatan pendapatan ikan para nelayan. Prestasi kolosalnya adalah menenggelamkan kapal asing.

Namun ia bukan tanpa cela. Dimasa kepemimpinannya, Kiara mencatat banyak sekali problematika dikelautan Indonesia. Terutama nasib nelayan. Masalah utamanya, dunia kelautan kita di urus oleh dua kementrian. Pertama kelautan dan kedua kemaritiman. Artinya, kebijakan kelautan Bu Susi hanya memiliki separuh kekuatan dalam kekuasaan struktural.

Seteleh berseteru dengan LBP, LBP malah terpilih menjdi Menko. Sangat mungkin bahwa pertarungan antara bu Susi dan LBP berada di garis start yang berbeda.

Jelas saya sedih. Kesedihan ini karena saya membaca buku-buku sejarah. Utamanya sejarah kemaritiman, yang diajarkan pada santri kelas X dan kelas XI.

Buat saya pribadi, reklamasi di negeri kepulauan merupakan penistaan terhadap kenyataan geografis dan ingatan sejarah. Bagaimana mungkin negeri dengan 17.000 pulau merasa harus menimbun tanah demi membuat pulau buatan? Dimana semua itu diperuntukan kepentingan bisnis minus sila kelima, bukan untuk seluruh rakyat Indonesia.

Tapi, politik bukan berbicara antara ide dan realisasi. Antara gagasan dan usaha mencapainya. Politik adalah labirin piramida kekuasaan. Impian rakyat jelata yang jumlahnya sangat banyak dibawah tidak akan menyentuh imajinasi segelintir penguasa di atasnya. Sebab diantara yang diatas itu, memiliki perimbangan dua hal.

Pertama mereka memang punya imajinasi, kedua mereka perlu mempertahankan kedudukannya. Namun kesibukan Untuk mempertahankan posisi dapat mempengaruhi imajinasi mereka. Imajinasi kebangsaan, kesetaraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Padahal Notonegoto menetapkan Pancasila adalah Piramida terbalik.

Dalam kondisi yang sudah sedemikian parah, golongan elit yang berada diatas sudah tidak memiliki imajinasi. Mereka bobrok dan hanya bisa memikirkan caranya mempertahankan posisi. Justru karena masing-masing tingkat hanya memikirkan posisinya masing-masing, ironinya, piramida kekuasaan menjadi kokoh.

Apakah itu tujuan peradaban Indonesia 2045?

Saya tidak tahu. Sriwjiaya dan majapahit bertahan ratusan tahun. Piramida mereka begitu kokoh. Campuran antara corak hindu-budha dalam candi peninggalan dua kerajaan tersebut menunjukan satu hal; agama adalah infrastruktur peradaban. Bukan sebaliknya. Apalagi sekedar motor penggerak pilkada. Sehingga kebesaran dua peradaban ini dilautan lebih hebat dibandingkan sisa artefaknya. Kemaritiman, harusnya adalah Koentji.

Kemaritiman, dianggap sebagai imajinasi yang membuat dua peradaban itu bertahan. Namun prasyarat utamanya adalah kekuatan dilautan. Armada laut yang kuat, sistem ekonomi laut terpadu, dan nelayan menjadi aktor utama serta regulator jalannya peradaban maritim.

Reklamasi telah menghancurkan semuanya. Situasi politik membuat siapapun yang memiliki posisi sebagai syahbandar di Lautan Nusantara bersifat sementara, dan mudah digantikan.

Susi, hanya hiburan untuk orang-orang yang membayangkan kejayaan kemaritiman kita. Singkat dan menyenangkan. Sebab yang abadi adalah orang-orang yang siap sepenuh tenaga mempertahankan posisi mereka.

Sebagai perbandingan, dalam Game of Thrones, penguasa final adalah Elit dari Stark, Lannister dan mereka yang bertahan dari pertarungan politik. Mereka bukan petarung seperti John Snow. Semua tampak kering. Tapi nyata.

Namun, sejarah selalu bisa menunjukan cahaya. Menjelang lengser, Bu susi segera menyampaikan hal yang, sepertinya ia pendam. Bahwa ia sebenarnya menolak reklamasi Bali.

Pilihannya hanya dua, apakah sistem politik kita sudah sedemikian keliru, atau justru kehebatan maritim kita yang dijelaskan oleh sejarah adalah kepalsuan?

Saya tidak tahu. Anda mungkin lebih tahu. Tapi saya yakin gadis yang diasuh ombak dan dibesarkan lautan lebih tahu.

Selamat tinggal gadis Pantai!