Hi Babe…
Orang yang terbiasa dihormati cenderung menjadi gila hormat. Pakaian dan semua hal yang menempel di tubuh bisa jadi tak lebih dari sekedar jimat agar orang lain semakin tunduk memberi hormat. Kita bisa beretorika tentang sunnah, tapi itu tak lebih pemanis bibir jika tidak terwujud dalam tindakan. Jika mulut menyatakan sunnah dari Nabi mulia tapi kelakuan menindakkan perilaku nista, itu hanya akan mencoreng mukanya.
Tak perlu susah payah mencarinya, aku selalu ingat nasihat ayah saat belajar ngaji kepadanya bahwa sang Nabi Mulia pernah bersabda: “Jika Fatimah putri terkasihku mencuri, aku akan memotong tangannya.” Oh, betapa indahnya teladan itu. Dari dia aku bisa menemukan kemanunggalan perkataan dan tindakan. Lalu, bagaimana aku bisa memahami ada orang yang mengaku keturunan manusia mulia itu justru menjadi algojo jalanan?
Hi Babe…
Orang yang terbiasa dipuji cenderung lupa diri. Bahkan agar semua mulut menyanjungnya, ia terus mewiridkan silisilah keturunan dari mana dia bermula. Ketika ditemukan bahwa dia keturunan sang Nabi mulia, dia menuntut sembah. Siapapun dianggap sebagai budaknya yang harus berkata “ya” untuk seluruh perintahnya.
Tiba-tiba, ada manusia biasa di jalanan yang memintanya menaati sebuah peraturan, itu sungguh menghancurkan kehormatan. Lalu, diayunkanlah kepalana tangan untuk menampar “manusia biasa” bak mengusir lalat yang mengotori gamis putihnya. Tak bisa diterima, bagaimana mungkin ada sahaya yang mengatur tuannya.
Tak perlu jauh-jauh aku belajar tentang kesadaran ini karena nenek moyangku telah mengajariku: _Ajining raga saka busana, ajining diri saka lathi_. Kake-nenekku mengayun-ayunkan aku di waktu kecil dengan _piwulang luhur_ bahwa sebagus dan seindah apapun pakaian, ia hanya kain yang menempel di tubuh. Fungsinya sekedar memberi kepantasan atau kemewahan pada badan wadag. Pakaian bisa menggambarkan kemuliaan akhlak, tapi bukan terletak pada pakaiannya itu sendiri. Bagaimanapun juga, kemuliaan terletak pada apa yang dikatakan dan dilakukan oleh si pemakai pakaian. Banyak orang yang berpakaian indah tapi berakhlak rendah. Ada yang setiap detik berjubah dengan alasan sunnah tapi perilakunya memalukan karena menantang berkelahi di jalanan hanya karena diingatkan untuk menaati sebuah aturan.
Hi Babe…
Sejarah telah memberi tahu kita bahwa tidak jarang rasisme ditanam dan ditumbuhkan atas nama agama. Manusia rasis mengajarkan bahwa Tuhan menciptakan ras tertentu yang lebih mulia. Manusia jenis ini merasa berhak menginjak golongan lain karena menganggap dia telah dialiri sejenis darah pilihan. Karena itu, tidak heran jika dia selalu menuntut pengistimewaan. Sebagai orang pilihan Tuhan, segala peraturan tak berlaku baginya. Mana ada manusia pilihan Tuhan diatur manusia?
Maka, saat ada yang memutarbalikkan rencana perjalanannya, amarahnya meledak karena tak rela manusia pilihan Tuhan diatur-atur penjaga jalanan.
Aku teringat kisah indah yang hingga sekarang aku masih mengingatnya. Guru ngajiku di kampung yang seumur hidupnya tak pernah mengenakan jubah pernah bercerita, bahwa pada saat melakukan Haji Wada’ (haji perpisahan), sang Nabi mulia memberi pidato kemanusiaan yang sangat megah. Kemegahannya bukan lantaran belia duduk manis di dalam sedan mewah, tapi karena pidato itu dicatat sebagai manifesto awal hak asasi manusia. Beliau bersabda: “Orang Arab tidak lebih mulia dari orang non-Arab, kecuali karena taqwanya.”[]