Surat Terbuka untuk Rocky Gerung

Surat Terbuka untuk Rocky Gerung

Rocky Gerung kembali menebar kontroversi, ayat suci bukanlah fiksi tulis surat ini

Surat Terbuka untuk Rocky Gerung
Rocky Gerung kerap berbicara kata Dungu, tapi ada banyak yang tidak tahu makna kalimat ini

Sangat jarang saya bertemu Rocky Gerung. Pertemuan ini pun pada belasan tahun silam di berbagai forum di Jakarta dan Depok — bukan dalam pergaulan sehari-hari. Kami lebih saling kenal antar-nama saya kira. Belakangan hari lebih sering saya mendengar bahwa ia kerap muncul di stasiun sebuah tv yang saya hindari menontonnya.

Saya tergoda omongan-omongan yang berseliweran di media sosial tentang pernyataan Rocky bahwa kitab suci adalah fiksi. Dia bukan orang yang dangkal pada dasarnya. Tapi, tak bisakah orang sesekali terkecoh oleh pikirannya sendiri? Atau dianggap demikian oleh orang lain?

Belum bisa saya simpulkan apa yang sesungguhnya yang Rocky maksudkan dan batas-batas maksudnya dalam pernyataannya bahwa “kitab suci adalah fiksi”.

Saya sebatas menerka. Rocky tak bermaksud mengkaji substansi kitab suci. Penjelasan intelektualistik dan filosofisnya tentang fiksi dan fiktif pun samar.

Bila ingin praktis, bisalah kita bertanya: apa gunanya pernyataannya itu selain hasrat atau kehendak memproblematisasi “status” kitab suci?

Di seberang fiksi adalah fakta. Ini rumusan lurus dan kasar tentunya. Apakah yang bukan fakta adalah selalu fiksi? Apakah “cemara menderai sampai jauh” dalam puisi Chairil adalah fiksi? Cemara yang menderai ada di alam nyata. Lantas apa yang fiksi dalam puisi itu?

Kitab suci adalah wahyu. Apakah wahyu adalah fiksi? Ini pertanyaan yang bagi Dilan pun berat. Tapi barangkali ringan bagi Rocky.

Pernyataan Rocky itu adalah bola panas liar. Antara kebenaran dan kepercayaan bisa menjadi konfrontatif karenanya. Dan pernyataan itu serta reaksinya menautkan saya kepada sesuatu yang lain dan berkaitan.

Para penyair awal abad ke-7 di sekitar kehidupan Nabi Muhammad di jazirah Arab menuduh bahwa wahyu yang ia terima hanyalah syair karangannya sendiri. Bukan wahyu. Lalu sebuah wahyu turun kepada Nabi Muhammad bahwa yang dikatakannya tak lain adalah wahyu. Bukan syair.

Kisah itu serupa cahaya di kejauhan. Ada yang tampak benderang atau remang — tergantung daya penglihatan. Tergantung kepada mata sedang terjaga atau terpejam.

Apakah pernyataan Rocky itu keliru? Ataukah sebaliknya?

Saya tak ingin berpikir secara terbuka soal itu. Tak semua urusan perlu atau harus dibincangkan dengan semua orang atau di hadapan khalayak luas. Bahkan ada urusan yang harus untuk diri sendiri. Bagi saya sikap demikian bisa lebih penting dan bermakna ketimbang menyuarakan segalanya tanpa batasan.