Assalamualaikum akhi, ukhti, atawa siapapun Anda. 2019 akhirnya tiba juga.
Ya, sebentar lagi kita akan mengikuti Pemilu untuk memilih pemimpin Indoneisa lima tahun ke depan. Bagi Anda yang melabuhkan pilihan untuk Paslon Jokowi-Ma’ruf tetaplah menjadi manusia sebagaimana mestinya manusia.
Sementara, iya iya, sebentar mbok sabar, bagi antum yang menghendaki Paslon Prabowo-Sandi sebagai pemimpin masa depan, Anda adalah saudara saya. Dan tak kalah krusial, ini penting diingat ya, bahwa besok cuma Pemilu, bukan perang Badar.
Jadi, jangan pernah berpikir kalau apa yang kita pilih nanti di balik bilik suara akan menjadi draft pertanyaan malaikat. Sebab, kalaupun itu penting, yakinlah bahwa tangan kita akan bersaksi dengan sendirinya tanpa perlu diinterogasi lebih dulu.
Cukuplah jurang-jurang persaudaraan kita melebar saat Pilkada 2017 lalu. Mulai dari pelintiran ayat hingga tolak-tolakan mayat, tolong, jangan sampai terulang lagi kali ini. Sebab, tak perlu jauh-jauh mencari justifikasi ayat suci atau Sabda Nabi, upaya-upaya banal semacam itu jelas bertentangan dengan khittah Rukun Warga Rukun Tetangga kita. Wagu wagu.
Memang, banyak ustaz, da’i dan penceramah kita yang senantiasa mengingatkan agar #2019GantiPresiden dengan sederet fadilah-fadilahnya. Sebutlah yang paling beken adalah Ustaz Babe atau Haikal Hassan. Di setiap panggung tausiyahnya, tak lupa dia menganjurkan agar kita tidak memilih Jokowi.
Bahkan saking bersemangatnya, ustaz dus motivator ini sampai-sampai kesandung lidahnya saat mengutip sebuah ayat al-Qur’an. Tapi tak mengapa, toh peluang dia masuk surga jauh lebih besar daripada kita yang ngisi ceramah aja tidak pernah. Ustaz gitu.
Meskipun begitu, sebagai agen-agen nalar sehat kita semestinya juga harus ingat bahwa Pak Prabowo, sebagaimana umumnya manusia, bisa benar bisa salah. Dengan kata lain, meski Paslon Prabowo-Sandi adalah hasil rekomendasi dari “ijtima’ Ulama”, tetap saja mereka bukan Nabi yang maksum. Juga, bukan pula malaikat yang tak pernah salah dan bukan Iblis yang selalu salah.
Maka, dukungan yang kita berikan seharusnya biasa-biasa saja. Lagi pula, sang Habib, Rizieq Syihab demi memenangkan Prabowo senyatanya rela tinggal di tanah suci sampai hari ini. Dan, antum pasti tahu sendirilah betapa keutamaan memanjatkan doa di “tanah haram” itu jelas berbeda kualitasnya dengan doa di Monas.
Lebih jauh, meski sangat berat untuk mengakuinya, sesekali coba simaklah petuah-petuah Paslon yang sama sekali tidak didukung ulama, Nurhadi-Aldo (Dildo) yang bilang agar “jangan fanatik”. Ya, betapun Dildo adalah pesaing berat kita, saya rasa petuahnya itu ada benarnya.
Betapa tidak, fanatik, apapun bentuknya, jika sampai melibas nalar insaniyah hanya akan mengantarkan kita pada penyesalan bahkan kehancuran peradaban. Baiklah, mungkin tamsil Ibn Muljam terlalu mainstream buat umat Islam kekinian. Di luar kepala.
Kalau begitu sesekali lihatlah Magneto dalam sekuel X-Men. Saking fanatiknya dia dengan darah ke-mutan-annya, Eric Lansheer memandang bahwa semua manusia adalah layak dimusuhi. Karena layak dimusuhi maka semua musuh harus dibinasakan. Alih-alih Ras Mutan berdikari, di episode Days of Future Past Magneto justru menyesali bahwa permusuhan yang selama ini dia gelorakan hanyalah kesia-siaan.
Oiya, terakhir, marilah kita turut berbelasungkawa atas berpulangnya Om/Pakdhe/Mas Nukman Lutfie ke haribaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tapikan dia pendukung Jokowi? Bodho amat. Sedungu itukah kita? Bukankah sebagai pengusung wacana akal sehat, tak semestinya kita menanggalkan nalar kemanusiaan hanya untuk perbedaan preferensi politik?
Catat, jangan menambahkan beban kepada Pak Prabowo dengan menghardik mereka yang sudah tiada. Tidakkah cukup Pak Prabowo harus memikul ulah-ulah sebagian pendukungnya yang sering mengatasnamakan umat Islam, mengintimidasi yang lemah, menyebar hoax, dan segudang skandal-skandal sosial lainnya?!