Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Salam sejahtera saya ucapkan, semoga kasih dan berkah Allah senantiasa bersama kita semua. Teriring salawat dan salam kepada baginda Nabi Muhammad SAW, Nabi yang tak pernah mencaci dan tak pernah mengajarkan cacian. Nabi yang tak pernah mendendam sekali pun hinaan, hujatan, dan makian terus diucapkan oleh golongan yang belum mengenal indahnya beragama yang salam: Islam.
Empat hari terakhir muncul di beranda media sosial tangkapan layar sebuah akun penebar kebencian. Ketika masuk ke percakapan grup WhatsApp, ada banyak orang yang gelisah dengan twit yang disampaikan akun tersebut. Beberapa bertanya-tanya, apa yang harus kami lakukan? Andaikan kami mengenal si pemilik akun, sudah tentu kami akan mengajaknya untuk bertabayun. Lha, kalau yang anonim seperti ini?
Saya merasa beruntung pernah bertemu langsung dengan Ibu Sinta Nuriyah, seseorang yang masih menjaga tirakat puasa Daud sejak masa gadisnya. Seorang ibu yang terus merapalkan doa dan tak pernah meninggalkan kalimat suci Allah dalam dzikirnya. Seorang ibu yang mengajarkan kasih kepada sesama umat manusia.
Sejujurnya, secara pribadi, saya sangat marah. Sangat marah. Sejak tahun 2013 saya bergabung dengan Jaringan GUSDURian, sebuah jaringan kelompok sipil yang ingin belajar dan meneladani perjuangan Gus Dur, suami Ibu Sinta. Ucapan yang dilontarkan oleh sebuah akun anonim sama sekali tidak bisa dibenarkan dalam sudut pandang apapun, baik budaya apalagi agama. Tetapi setiap saya mau meluapkan kemarahan itu, selalu terbayang senyum Ibu Sinta yang meneduhkan, seolah berkata, “Wes, tho. Namanya orang lagi belajar itu dimaklumi.”
Teringat pada bulan Ramadan lalu, ketika sekelompok orang mencoba mempersulit buka bersama Ibu Sinta di Semarang, Ibu Sinta menanggapinya dengan senyum. Di depan awak media ia berkata bahwa tidak terjadi sesuatu di acara tersebut. Ia justru menyebut ada sekelompok anak muda yang ingin bertemu dengan ibunya. Padahal, semua sudah tahu apa yang diperlakukan oleh kelompok tersebut. Namun sikap Ibu Nyai Sinta membuat orang-orang menjadi teduh.
Apa yang disampaikan Ibu Sinta terkait jilbab bukanlah perdebatan yang baru. Kalau saja orang mau belajar dan membuka pikiran, sejak dulu memang ada ulama yang menyatakan demikian. Meski pun pendapat ini tidak populer. Semua ulama memang bersepakat bahwa yang diwajibkan adalah menutup aurat. Sementara batasan aurat, para ulama berselisih pendapat. Ulasan ini bisa di buku berjudul ‘Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah’ karya Prof. KH. Quraish Syihab. Habib Quraish mengulas berbagai pendapat beserta dalil-dalil yang dikutip oleh para ulama.
Islam sudah masuk di Indonesia sejak abad ketigabelas. Bahkan ada yang menyebut abad kesembilan. Namun tahukah antum bahwa jilbab baru menjadi tren di tahun 2000-an? Sebelumnya, jika antum sudah hidup di zaman Orde Baru, pemerintah melarang jilbab di kawasan umum!
Trend jilbab di Indonesia dipengaruhi oleh Revolusi Islam di Iran yang diinisiasi oleh tokoh Syiah Ayatollah Khomaeni. Sejak saat itu model jilbab mulai beragam dan berkembang hingga seperti saat ini. Sebelumnya orang Indonesia yang berasal dari kalangan religius menggunakan kerudung seperti dikenakan oleh Ibu Nyai Sinta.
Dalam agama Islam, perdebatan semacam itu biasa saja. Apalagi kalau kita belajar muqaranatul madzahibatau perbandingan mazhab. Hanya saja kita terbiasa melihat persoalan agama itu hitam dan putih. Benar dan salah. Jika ada pendapat yang tidak populer, dianggap menghina agama. Dianggap sesat. Padahal para penghina ini saja yang belajarnya belum sampai. Ibarat orang baru belajar penjumlahan ketika ada orang yang sudah belajar pembagian malah disalah-salahkan.
Wahai para penghina, saya mau tanya satu hal. Bagi antum, bagaimana hukum menyentuh anjing? Apakah binatang ini najis? Apakah jika ada orang yang menganggap anjing tidak najis lantas ia sesat? Jika antum auto-menyesatkan, maka sangat wajar jika pendapat yang dikemukakan Ibu Sinta antum tolak bahkan antum hujat. Ibu kau maki-maki sesuka nafsumu. (Maaf, saya tidak sudi menggunakan istilah sesuka hati. Karena jika kita menggunakan hati, maka kita menggunakan cinta. Ujaran kebencian sangat jauh dari persoalan cinta).
Kembali ke persoalan anjing. Dalam Islam, kita mengenal empat mazhab paling populer dan dianggap paling ‘aman’ sejak masa Bani Abbasiyah (1250 M). Sebelumnya ada puluhan bahkan ulama fikih yang juga menjadi rujukan umat dalam berfatwa. Namun saya tidak akan membahas sejauh itu.
Nah, keempat mazhab yang dimaksud adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ibn Hambal. Saya mengambil contoh bagaimana pandangan Imam Maliki dan Imam Syafii mengenai anjing berbeda. Padahal Imam Syafii adalah murid dari Imam Malik. Imam Malik tidak menajiskan anjing, sementara Imam Syafii berpendapat najis. Jika menyentuh harus disiram sebanyak tujuh kali dan salah satunya dicampur debu. Walau berbeda pandangan, Imam Syafii menghormati gurunya.
Jika antum pergi ke Mesir untuk kuliah di Al-Azhar, di sana akan banyak ditemukan seorang pengajar Tafsir yang membawa dan memelihara anjing. Apakah kau sesatkan juga?
Islam memiliki cara untuk menanggapi perbedaan, mulai dari tabayun, hingga debat ilmiah. Yang jelas Islam tidak pernah sekali pun mengajarkan untuk mencaci apalagi menebar benci.
Saya yakin, Ibu Sinta tidak akan membalas cacian itu dengan cacian dan dendam. Justru, di sepertiga malam yang tenang, seusai menunaikan ibadah malam, Ibu akan berdoa untuk kebaikan kita semua para anak-anaknya.
Sebagai anak ideologis Gus Dur dan juga Ibu Sinta, apakah kami tidak marah? Justru yang harus antum tanyakan adalah mengapa kami tidak (terlihat) marah. Kalau pun harus marah, kami akan meluapkan pada orang yang tepat. Orang yang menggunakan akun anonim tentu bukan salah satunya.
Jika tujuan antum adalah membuat kami marah, tentu hal tersebut sia-sia karena pada dasarnya antum sedang berusaha memuaskan nafsu belaka.
Qul a’udzu birobbinnaas. Malikinnaas. Ilahinnaas. Min syaril waswaasil khonnaas. Alladzii yuwaswisu fiishuduurinnaas. Minal jinnatiwannaas.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.