Dear, Mbak Puan Maharani.
Perkenankan saya seorang warga biasa yang hidup di kampung Sleman, Yogyakarta. Saya adalah seorang anak dari orang tua yang pernah jadi pekerja rumah tangga. Saudara-saudara saya hingga kini banyak yang masih menjalani profesi tersebut. Jadi, saya punya kepentingan menulis surat ini.
Meski kita tidak saling mengenal, izinkan saya memainggilmu Mbak Puan. Biar terlihat lebih akrab gitu loh. Toh, meski tak pernah bertemu, Mbak Puan adalah Ketua DPR, Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi, boleh dong saya sok akrab sama wakil sendiri hehe.
Begini, Mbak. Saya mau cerita. Kemarin sore, saya ikutan ngobrolin soal Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga alias RUU PPRT. Saya diajak ikut ngomentari sebuah film produksi Konde, Perempuan Mahardika, dan Jala PRT berjudul ‘Mengejar Mbak Puan’. Film ini durasinya pendek. Hanya sekitar 17 menit. Kalau Mbak Puan sempat, tontonlah. Biar Mbak Puan tahu bahwa kami masih menaruh harapan pada cucu sang proklamator.
Mbak Puan, saya punya satu pertanyaan. Kenapa sih RUU PPRT ini belum juga disahkan? Jika menggali profil Mbak Puan, akan sangat sulit bagi saya untuk mencerna kenapa Mbak enggak bisa ketok palu. Ada lima alasan kenapa seharusnya Mbak Puan bisa segera mengesahkan RUU ini.
Pertama, Mbak adalah Ketua DPR di periode yang punya track record hebat bisa bikin atau ubah UU dalam sekejap. Saya masih ingat betapa sat set-nya para dewan mengesahkan Revisi UU KPK yang bikin lembaga itu tak lagi punya gigi alias ompong. Juga Omnibus Law yang begitu tergesa-gesa diketok palu yang efeknya mulai bisa dirasakan: banyak warga dan elemen masyarakat yang kelimpungan dengan berbagai alasan. UU IKN juga dibuat dengan waktu yang sangat cepat. Tak sampai makan waktu berbulan-bulan.
Sementara RUU PPRT ini sudah diperjuangkan sejak dua dekade yang lalu. Usianya sudah 20 tahun. Jika RUU PPRT adalah manusia, ia sudah masuk kuliah di semester pertengahan. Bahkan di usia itu beberapa mahasiswa sudah mulai menggarap skripsi. Sudah sepanjang dan selama itu, lho, Mbak.
Tahun lalu Mbak Puan juga memimpin RUU ini jadi RUU inisiatif. Presiden Joko Widodo juga sudah menjanjikan segera mengesahkannya. Lalu, kenapa belum juga diwujudkan? Apakah karena RUU PPRT ini tidak berdampak pada ekonomi negara?
Padahal PRT ini bisa mengguncang dunia. Saat ini terdapat sekitar 4 hingga 5 juta pekerja rumah tangga. Jika semua bersolidaritas mogok massal, njuk siapa yang memasak di rumah-rumah mewah para dewan? Siapa yang nyiram taman halaman rumah-rumah megah para dewan? Siapa juga yang ngosek WC berlantai marmer para dewan? Jika aksi itu terjadi, para dewan akan sibuk mengurus rumahnya sehingga tak sempat rapat dan membuat kelucuan berbagai hal baik di gedung DPR.
Kedua, Mbak Puan ini kan perempuan. Kata ‘perempuan’ tanpa ‘puan’ akan jadi perem saja. Tak bermakna. Saya sudah coba cari di KBBI arti kata ‘perem’ dan hasilnya ‘entri tidak ditemukan’. Itulah mengapa nama Mbak Puan sangat penting. Tanpa Mbak Puan, perjuangan ini sangat kurang. Nah, dari jutaan pekerja rumah tangga itu, lebih dari 80% berjenis kelamin perempuan. Mengesahkan RUU PPRT sama saja mendukung agenda-agenda kelompok perempuan. Yuk, Mbak. Kamu pasti bisa!
Ketiga, Mbak Puan adalah politisi PDI Perjuangan yang mendeklarasikan sebagai partai yang mewarisi ideologi Marhaenisme. Berpihak pada wong cilik. Para pekerja rumah tangga ini adalah Marhaen yang perlu mendapatkan perhatian lebih dari partai Mbak Puan. Bayangkan. Mereka bekerja siang dan malam. Banyak yang bekerja hingga 16 jam dan diupah 1 juta rupiah sebulan. Uang segini hanya cukup untuk membeli dua setengah potong rotinya Mas Kaesang dan Mbak Erina Gudono. Sementara bagi PRT, uang segitu digunakan untuk membeli kebutuhan dan menyambung hidup dalam sebulan. Please, Mbak.
Keempat, Mbak Puan adalah seorang muslimah yang semoga progresif seperti kakeknya. Saya ingat betul bagaimana kakek Mbak Puan melakukan kritik kepada umat Islam yang terjebak dalam praktik-praktik kejumudan. Bagi Bung Karno, Islam harus mampu menjadi katalisator perubahan sosial. Islam harus membawa kebaikan bagi semua. Sebab Islam memiliki agenda perubahan. Nah, mengubah nasib PRT adalah sejalan dengan prinsip-prinsip keislaman.
Apalagi, Mbak Puan, jika kita merujuk pada af’al al-khamsah alias lima prinsip dasar yang biasa dijadikan patokan untuk merumuskan hukum-hukum Islam, pengesahan RUU PPRT ini masuk dalam dua dari lima kategori, yaitu hifz an-nafs (menjaga jiwa) dan hifz al-maal (menjaga harta benda). Melaksanakan hal ini akan membuat kesalihahan Mbak Puan meningkat. Mbak Puan adalah muslimah salihah yang paham betul pada prinsip-prinsip agama yang dianutnya.
Mbak Puan, kenapa pengesahan ini sangat perlu dilakukan segera? Hingga saat ini, PRT belum dianggap sebagai profesi legal yang membuat mereka sangat rentan jadi objek kekerasan di berbagai bentuk dan level. Ada yang bahkan mengalami banyak jenis kekerasan dalam satu waktu. Di acara kemarin saya banyak belajar dari Lek Jum, seorang PRT yang sudah ikut mengadvokasi isu ini sejak lama. Ia merasa bahwa orang-orang sepertinya tak punya perlindungan hukum. Mereka harus memanggil pemberi kerja dengan kata ‘majikan’, sementara pemberi kerja bisa memperlakukan seenaknya.
Ada banyak teman-teman Lek Jum yang dilecehkan secara verbal. Ada banyak teman-teman Lek Jum yang digebukin. Ada banyak teman-teman Lek Jum yang disiksa, mulai disiram air panas hingga diseterika. Itu semua terjadi salah satunya karena negara belum hadir. Negara belum memberi pelajaran moral bagi orang-orang kaya untuk menjadi manusia seutuhnya yang memanusiakan manusia. Ya memang tidak semua. Yang jelas, negara perlu terlibat dalam menciptakan kehidupan yang layak bagi para pekerja rumah tangga.
Oh, ya, alasan kelima mengapa Mbak Puan perlu menjadi lokomotif dalam pengesahan RUU ini adalah karena Mbak Puan manusia. Manusia dikenal sebagai makhluk paling sempurna karena nuraninya. Saya percaya, Mbak Puan masih punya nurani itu.
Mbak Puan, kami sangat menantikannya. Terima kasih.