Dear, ulama, kumpulan orang alim yang meneruskan risalah pencerahan. Yang membumikan ilmu untuk kemaslahatan. Yang mewarisi Nabi dalam menumpas kebodohan.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya haturkan selamat dan takdzim bagi yang mulia.
Izinkan saya mewakili masyarakat awam untuk menyampaikan keluh kesah. Saya adalah bagian dari orang yang selalu gelisah dan tak mampu mencari jalan untuk bersimpuh di hadapan panjenengan sembari menceritakan segala gundah gulana yang terus membiak di kepala.
Entah berapa ribu kali kepala ini pusing melihat berbagai pertentangan yang telanjang diperlihatkan. Ada yang disebabkan karena pertentangan faham. Ada juga yang dipicu karena kasus politik. Semua membungkus diri dengan jubah kebesaran ulama untuk membenarkan dalih. Semua rasanya mencuci otak kami para awam dengan kebencian yang harus kami terima sebagai kebenaran. Karena ulama adalah pewaris Nabi, bagaimana mungkin kami berani menyangkal apa yang diucapkan adalah kata-kata suci?
Hari ini kami linglung. Bimbang. Tak mengerti arah. Bukan karena kami berada di masa jahiliyah sehingga harus meraba dinding-dinding kegelapan demi mendapatkan cahaya rahmah. Hari ini kami silau dengan cahaya-cahaya palsu yang justru menuntun kami menuju pada rasa muak, jengkel, ingin membenci sesama. Kami dituntun menjadi manusia yang mati hati nuraninya demi membela sosok yang kerap mengucap kalam suci untuk membenarkan dalihnya. Bahkan untuk membenci pun kami dimanja dengan janji surga ilahi. Karena kebencian bisa menjadi ibadah jika ditempatkan kepada orang yang tepat. Itu yang kami dapatkan.
Teknologi yang dulunya diidam-idamkan untuk mempertemukan malah membuat kami terpenjara di dinding kaca tebal tak tertembus. Kami selalu gagal menyeberang untuk sekedar bertegur sapa dan berpelukan demi persaudaraan. Yang bisa kami lakukan hanya menatap dan selalu mengatakan mereka salah! Setiap membuka mata, selalu timbul rasa curiga dan rasa ingin mempermalukan orang yang berbeda. Kami tak tahu siapa yang menyebar kabar dusta. Baik saya dan mereka, kami sama-sama memiliki legitimasi dari para ulama.
Sebenarnya siapa itu ulama? Mengapa ada banyak orang kini berbondong-bondong mengaku dirinya sebagai ulama?
Saya rindu dengan keteladanan guru-guru di masa lalu yang selalu tawadhu menolak disebut sebagai pihak yang paling tahu. Meskipun hafal Alquran dan ribuan hadis, guru-guru merasa tak layak untuk dijadikan panutan karena masih merasa bergumul dengan kebodohan. Menyebut dirinya sebagai al-faqir alias orang yang memiliki banyak kekurangan. Sementara hari ini banyak orang yang dengan senang hati mencaci tetapi haus akan penghormatan, menjadikan dirinya sebagai teladan. Mengkritiknya dianggap melawan otoritas kebenaran yang bisa dilaknat Tuhan.
Apakah benar laknat Tuhan begitu dekat dengan kami yang bodoh dan banyak tak mengerti? Apakah menjadi pengikut orang-orang yang mengaku ulama bisa menjamin kami terhindar dari jilatan api neraka yang panasnya ribuan kali dari semburan air paling panas di dunia ini? Lalu bagaimana dengan ulama yang menyuruh kami membenci, apakah benar itu bagian ijtihad yang jika benar mendapat dua pahala dan jika salah masih mendapatkan satu?
Entahlah. Saya semakin bingung dan frustrasi. Kata-kata umpatan sudah seperti angin yang berhembus ke mana saja tanpa ada yang bisa mencegahnya. Melihat orang lain rasanya membenarkan apa yang pernah saya dengar dari filsuf Barat, Jean Paul Sartre: orang lain adalah neraka.
Wahai para alim kekasih Allah. Bimbinglah kami agar bisa meneladani Nabi Muhammad SAW yang kasih sayangnya membuat perbedaan itu terlihat indah. Bantu kami meruntuhkan sekat-sekat kecurigaan ini agar kami bisa saling mencintai. Meski berbeda paham, pilihan politik, agama, dan lain sebagainya, bukankah kami bisa mengatasnamakan persaudaraan sesama manusia?
Memang benar, cinta itu membutakan. Namun saya memilih untuk dibutakan cinta daripada diperbudak oleh kebencian yang menghancurkan. Wallahua’lam.