Rasulullah SAW mengancam orang-orang yang menguasai sumber daya alam hanya untuk mengeruk dan mengumpulkan kekayaan diri sendiri.
Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah merupakan sebuah fakta, dengan kondisi geografis yang sangat luas dan beraneka ragam, baik di daratan maupun lautan. Hal tersebut belum selaras dengan kondisi masyarakat Indonesia yang masih banyak di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan data dari BPS mencatat bahwa pada Maret 2020 jumlah orang miskin di Indonesia mencapai sebesar 26,42 juta jiwa.
Kekayaan yang ada di Indonesia sendiri sebenarnya belum habis juga. Problem yang terjadi saat ini yaitu privatisasi kekayaan alam seperti sumber air, tambang dan mineral yang masih banyak dikuasai oleh swasta milik konglomerat. Padahal Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa terdapat tiga sumber daya alam yang tidak boleh dimiliki secara privat oleh seseorang yaitu air, rumput liar dan api, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah,
الناس شركاء في ثلاثة الماء والكلا والنار
“Manusia itu memiliki hak bersama (bersekutu) dalam tiga hal yaitu air, rumput liar dan api”.
Jika kita tarik makna lebih luas, adanya sumber daya alam yang tersedia di alam raya seperti air, migas dan tambang harus dikelola dengan berpijakan untuk kemaslahatan bersama.
Dalam perundang-undangan di Indonesia, pemanfaatan sumber daya alam yang bertujuan untuk kemaslahatan bersama juga diatur disana, seperti yang tertuang pada Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Oleh karena itu, jika UU terkait minerba masih menguntungkan segelintir orang dan hanya membuat orang-orang yang berkuasa atas SDA sekarang menjadi lebih kaya dan semakin lebih berkuasa, maka kita perlu memikirkan ulang substansi dari UU tersebut.
Ada sebuah kisah menarik dari Rasulullah SAW tentang ancaman bagi orang yang sewenang-wenang dalam menguasai sumber daya air yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhori yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ رَجُلٌ حَلَفَ عَلَى سِلْعَةٍ لَقَدْ أَعْطَى بِهَا أَكْثَرَ مِمَّا أَعْطَى وَهُوَ كَاذِبٌ وَرَجُلٌ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ كَاذِبَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ لِيَقْتَطِعَ بِهَا مَالَ رَجُلٍ مُسْلِمٍ وَرَجُلٌ مَنَعَ فَضْلَ مَاءٍ فَيَقُولُ اللَّهُ الْيَوْمَ أَمْنَعُكَ فَضْلِي كَمَا مَنَعْتَ فَضْلَ مَا لَمْ تَعْمَلْ يَدَاكَ
“Dari Abu Hurairah RA dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ada tiga kelompok orang yang mana Allah Ta’ala tidak akan berbicara dengan mereka dan tidak akan melihat mereka pada hari kiamat, mereka yaitu seorang penjual yang bersumpah terhadap barang dagangannya dan dia mengaku telah memberi lebih kepada seorang pembeli dari pada pembeli lainnya, padahal dia berbohong, dan seorang yang bersumpah dengan sumpah palsu setelah waktu ‘ashar, yang dengan sumpahnya dia ingin mengambil harta orang muslim lain, dan seseorang yang menolak berbagi lebihnya air, sehingga Allah akan berfirman (kepada mereka) pada hari kiamat: “Aku tidak akan memberi karunia-Ku kepada kalian, karena kalian telah menghalangi sesuatu yang bukan merupakan hasil usaha kalian”.
Di dalam Kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar al-Asqalani mengomentari bahwa kalimat terakhir dari hadis di atas difahami bahwa jika ada orang yang merasa berhak untuk menguasai sumber daya air, tentu Allah SWT lebih berhak daripada siapa pun. Karena Dia lah yang awal mula menciptakan sumber air tersebut. Sehingga jika ada orang yang melarang orang lain untuk meminta sumber air yang dikuasai, maka Allah tidak akan memberikan anugerah-Nya di hari kiamat.
Saking begitu detailnya syariat Islam, permasalahan dalam sumber daya alam sangat ditekankan untuk melarang kesewenang-wenangan dalam kepemilikan sumber daya alam. Begitu juga kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam harus berdasarkan kemaslahatan rakyat. Dalam qawaid fiqhiyyah terdapat sebuah kaidah yang sering dikutip oleh Gus Dur yaitu “Tasharruful imam ‘ala al-ra’iyah manutun bi al-maslahah” yang artinya kebijakan para penguasa harus disandarkan pada kemaslahatan rakyatnya. (AN)
Wallahu a’lam.