Sufisme Amang Rahman dan Telepon Gus Mus

Sufisme Amang Rahman dan Telepon Gus Mus

Sufisme Amang Rahman dan Telepon Gus Mus
Lukisan “Sebagian dari Doa Akasyah”, Cat Minyak di Kanvas, 100X200 cm, 1994

Suatu kali pelukis Amang Rahman Jubair pernah sakit. Sakitnya agak aneh, dan lama. Secara medis pun penyakitnya tak jelas.

Hasil diagnosa dokter cuma menyatakan jantung dan tekanan darah tinggi. Kurang lebih delapan bulanan sakitnya, kata Ilham Jubair—anaknya.

Berawal pulang dari Jakarta, Amang yang biasanya suka membanyol tiba-tiba menarik diri dari pergaulan. Kalau teman-temannya datang cuma disuruh masuk terus ditinggalkan ke kamar.

Sampai suatu waktu seorang tetangganya datang membawakan buku-buku. Sejak itu, ia mulai membuka diri. Terus mulai telepon-teleponan sama sahabatnya yang kiai, A. Mustofa Bisri atau yang lebih dikenal dengan Gus Mus.

Oleh Gus Mus, Amang Rahman dikasih doa dan obat-obatan berupa jintan hitam, madu dan air zam-zam.

Ilham sendiri lupa kapan itu terjadinya, namun seingatnya di pertengahan tahun 1990-an. Amang Rahman lahir Nopember 1931. Itu berarti, saat terjadi, usianya kira-kira, ‘baru’ 60an tahun. Saya menduga, karena ini ada hubungannya dengan sebuah lukisan yang menautkan cerita tentang Amang dan Gus Mus, ini terjadinya sekitar tahun 1994.

Ketika itulah Amang melukis “Sebahagian dari Doa Akasyah”. Cerita tentang lukisan ini saya dapatkan dari Yunus Jubair, kakak Ilham.

Satu waktu Amang menelpon Gus Mus, dan bilang ia tengah melukis Doa Akasyah. Gus Mus terkesima. Gus Mus yang juga seorang penyair, mengaku pada Amang bahwa dirinya tengah menulis puisi tentang Doa Akasyah. Padahal mereka tak merencanakan sebelumnya akan sama-sama me-”rekreasi” doa yang populer di kalangan ahli sufi tersebut.

Beda keduanya, Amang hanya mengutip sebagian doa itu, sementara Gus Mus mempuitisikan sepenuhnya doa yang cukup panjang itu. Amang mengutip bagian, yang ketika dipuitisasikan Gus Mus (lihat kumpulan puisi Pahlawan dan Tikus, Pustaka Firdaus 1995), artinya begini:

Ya Allah, Wahai Tuhanku; bila ujub, takabur, riya, nafsu kemasyhuran/dan kekukarangan merasuki amalku untukMu/tanpa kusadari atau kusadari/aku bertobat darinya dan berserah diri/seraya mengucap Laa ilaaha illaLlah Muhammadur RasuuluLlah/shallaLlahu ‘alaihi wasallam

Ya Allah, Wahai Tuhanku;bila kebohongan, gunjingan, adu-domba, dan kepalsuan/meluncur dari lisanku

tanpa kusadari atau kusadari/aku bertobat darinya dan berserah diri/seraya mengucap Laa ilaaha illaLlah Muhammadur RasuuluLlah/shallaLlahu ‘alaihi wasallam

Lukisan Doa Akasyah ukurannya relatif besar, 100X200 cm. Bentuk komposisi keseluruhannya “balans simetris”, dengan pusat perhatian di tengah tulisan (kaligrafi Arab) “Laa ilaaha illallah Muhammadur rasuulullah, kanan dan kirinya diisi kaligrafi bait pertama dan kedua puisi di atas minus kalimat tauhid yang sudah diletakkan di tengah.

Lukisan itu sendiri secara dominan berwarna hijau. Tidak tepat hijau, bisa dibilang hijau kebiru-biruan, warna yang merefleksikan pandangan kosmologis sufistik Amang Rahman. Warna yang dititipkan melalui cerita kakeknya di benak Amang sejak kecil: warna surga.

Memang, jika mengacu ke beberapa ayat Alquran dan hadis, warna hijau “dekat” dengan (ahli) surga dan Nabi Saw sendiri. Ini bisa dilihat melalui, antara lain, surah al-Kahfi ayat 31, ar-Rahman ayat 76, dan al-Insan ayat 21. Nabi Saw juga dikatakan senang mengenakan pakaian berwarna hijau, selain juga putih.

Almarhum Amang Rahman Jubair, atau Abdul Rahman Awad Jubair, adalah pelukis kelahiran Surabaya yang dikenal sebagai “sufi”. Paling tidak begitulah seorang kawannya menyapanya lewat kiriman sebuah kartu pos, atau melalui sebuah judul pemberitaan Surabaya Post 5 Juli 1992: “Amang ‘Sufi’ Rahman Cari Keparipurnaan Diri”.

Abdul Hadi W.M. yang pertama kali mengaitkan antara gaya surealistiknya dengan sufisme (Berita Buana, 6 Nopember 1984), juga melalui tulisan Hadi yang lain “Amang Rahman: Pelukis Surealisme Sufistik dan Kaligrafi” (Media Indonesia, 25 April 1990).

Ya, Amang juga dikenal sebagai pelukis kaligrafi. Lukisan kaligrafinya sendiri menurut beberapa pengamat sangat khas. Latar belakang Islam pesisiran Madura, menurut Hadi, membuat Amang begitu mencintai kaligrafi, yang kemudian ia kreasikan menjadi sarana pengucapan estetik bermutu tinggi.

Kaligrafinya tidak sekadar hiasan (dekoratif) yang “ditempelkan” ke atas kanvas. Gus Mus menyetujui hal ini. Menurutnya, kaligrafi Amang tidak sekadar mengisi ruang, sekadar “tempelan” dan ornamental, tapi membentuk suasana, menjadi gagasan yang terasa bernuansa mistik.

“Ia telah menyatu dengan lukisannya,” kata Gus Mus kepada Fauzi (1996), yang meneliti kaligrafi Amang Rahman sebagai bentuk media dakwah.

Jika kita mengamati kecenderungan lukisan kaligrafi pada masa itu (bahkan mungkin hingga sekarang), ada “gaya” pelukisan yang umum.

Pertama, melukis kaligrafi dengan kecenderungan dekoratif. Kaligrafi diperlakukan sebagai ‘tulisan indah’, berupa tsutulutsi, diwani, kufi, farisi, riq’i, maupun yang dikreasikan lebih jauh, yang ditempelkan di atas latar warna—yang kadang juga dihias lagi untuk mengharmonisasikannya dengan tulisan. Ini bisa kita lihat pada beberapa karya Amri Yahya, Syaiful Adnan, Yetmon Amir, misalnya.

Kedua, melukis kaligrafi sebagai ekspresi yang bersifat abstrak. Pada lukisan ini kaligrafi masih dibuat berdasarkan kaidah yang umum, hanya saja ekspresinya yang mengeksplorasi berbagai media, seperti campuran pasta dengan serbuk atau kolase perak maupun emas, mengaburkan tulisan dengan latarnya. Ini misalnya, bisa kita lihat pada lukisan-lukisan Ahmad Sadali dan A.D. Pirous. Yang satu dekoratif dan lainnya abstrak-ekspresionistik.

Lukisan “Alif Laam Mim”, Cat Minyak di Kanvas, 55X50 cm, 1995

Kaligrafi Amang sendiri tidak lepas sepenuhnya dari dua kecenderungan ini. Hanya saja, secara keseluruhan nuansanya menjadi terasa mistik. Rangkaian huruf (Arab) seperti ditakikkan ke dalam nuansa warna yang sublim, yang kebanyakan hijau kebiru-biruan itu. Garis batas yang membentuk tepi huruf yang tajam dibuat dari kontras warna terang (putih atau keputih-putihan) atas warna gelap di belakangnya. Huruf-hurufnya seperti mengambang, melayang-layang di alam khayali yang jauh, kata Pirous.

Nuansa lukisan kaligrafi merupakan tafsir atas makna ayat al-Quran yang ditulisnya. Seperti pada karya “Alif Laam Mim” (1995), menurut Suwarno Wisetrotomo, makna ayat direpresentasikannya ke dalam kanvas dalam bentuk misteri—persis seperti tafsir ayat ini umumnya, “hanya Allah yang tahu  maknanya”.

Ayat-ayat yang dikutip Amang seperti berada dalam ruang tanpa batas yang dibalut dengan gelombang putih awan. Ayat-ayat itu “dikembalikan”nya kepada asalnya (lihat juga penjelasan tentang makna ta’wil dalam pandangan Ibnu ‘Arabi).

Dengan kata lain, karya kaligrafi Amang adalah interpretasi yang memiliki kekuatan memprovokasi kesadaran ketuhanan, kesadaran keilahian, kesadaran spiritualitas, agar berserah diri secara penuh kepadanya.

Menurut almarhum Mamannoor, kritikus seni rupa dari Bandung, Amang telah sampai pada satu terminal penemuan yang cukup penting bagi khazanah teknis perupaan kaligrafi modern Islam. Kaligrafinya dipengaruhi lukisan-lukisan non-kaligrafinya yang banyak mengolah cahaya dan bayangan.

Dampak visualnya adalah, timbulnya bagian-bagian yang menceruk, melubang dan meruncing. Keislaman Amang yang mistik (tasawuf) dan kedekatannya dengan ekspresi seni lukis kaligrafi memungkinkannya menguasai dan menemukan ekspresinya yang paling pribadi.

Meskipun kaligrafinya sudah tak lagi berbentuk Naskhi, Tsulutsi, Diwani, ataupun Kufi secara kaku, bukan berarti Amang tak menguasai kaidah-kaidah dasar tersebut. Justru karena penguasaannya pada bentuk-bentuk baku tersebutlah, menurut Maman, Amang mudah mengembangkan gaya pribadinya.

Secara eksplisit pemahamannya yang baik terhadap kaidah kaligrafi itu terekam dalam wawancara Pelita (15 Januari 1989) “Amang Rahman ke Khittah”, dan “Lukisan Kaligrafi, Perlu Pemahaman Kaidah Menulis yang Benar”, (Surabaya Post, 8 Mei 1992.

Lukisan “Laa Ilaaha Illallah”, Cat Minyak di Kanvas, 140X150 cm, 1995

Selanjutnya mari kita lihat lukisan Amang yang berjudul “Laa Ilaaha Illallah” (1995, ukuran 140X150 cm). Lukisan yang seperti dibagi ke dalam dua warna, gelap dan terang, kuning dan biru pekat ini, kemudian seperti ditoreh garis-garis meninggi yang tajam dan terasa perih.

Garis-garis vertikal itu merupakan kalimat tauhid “laa ilaaha illlallah” (tiada tuhan selain Allah). Seperti halnya garis-garis huruf yang tajam, perpindahan (gradasi) warna dari gelap di sisi kiri ke kanan yang terang pun terasa seketika pula. Ada pembiasan gradasi warna memang, tapi itu lazim hasil dari pertemuan dua warna, namun yang demikian tidak dibuat natural. Itu seperti hati yang disobek dzikir kalimat “Laa ilaaha illallah”.

Di atas huruf “Ha” dari kata “ilaaha” ada bentuk piramida berjenjang yang memuncak pada lobang hitam gelap di puncaknya.

Lobang hitam gelap adalah dunia misteri (mistik) Amang. Dalam banyak lukisan Amang, baik yang kaligrafi maupun non-kaligrafi, lobang hitam banyak dilukiskan. Tidak hanya memenuhi jagat besar (alam semesta Amang yang khayali), namun juga dilukis di atas jagat kecilnya. Dirinya sendiri. Tubuhnya. Di tubuhnya lukisan itu dilukis berbaris vertikal, seperti lobang pada seruling sufi (Rumi) yang menandai kerinduan akan Asalnya yang sejati.

“lobang Amang itu tak ada yang tahu seberapa dalamnya,” demikianlah kata Amang suatu kali.

Begitulah saya kira, pada akhirnya, dimensi sufistik dalam lukisan-lukisan Amang merefleksikan suatu kerinduan akan Tuhan. Di akhir-akhir masa hidup, Amang meninggal pada tahun 2001 genap berusia 70 tahun, ia mulai menemukan kesadaran asalinya.

Ia yang lahir dari lingkungan keagamaan di Ampel dari keluarga Arab-Hadrami, dan dididik dengan syariat Islam dan dongeng-dongeng keislaman-Jawa yang kental melalui kakeknya dari pihak ibu, akhirnya menemukan kembali dirinya, setelah bertualang di dunia kesenian yang beragam rupa. Amang mengakui hidupnya sebelumnya penuh bolong-bolong, dan di usia senjanya ia ingin kembali kepada syariat Nabi-nya. Baginya hidup sepenuhnya adalah ibadah, bahkan dalam melukis sekalipun. Malam-malam ketika banyak orang terlena ia bangun. Salat dan berdzikir. Jika hatinya telah lapang, maka ia merasa siap untuk membuat lukisan.

Hajriansyah menulis puisi, cerpen, esai, serta kritik sastra dan seni rupa, tinggal di Banjarmasin. Esai ini merupakan penulisan ulang dari tesis penulis, “Nilai-nilai Spiritualitas dalam Seni Lukis Amang Rahman Jubair: Tinjauan Estetika Sufi”, bagian yang membahas kaligrafinya. Tiga foto dalam tulisan ini bersumber dari penulis.