Seorang sufi bernama Ibnu Khafif mempunyai dua murid. Yang satu sudah berumur sebut saja Ahmad Tua< satunya lagi masih muda dengan julukan Ahmad Muda. Di antara keduanya, Ibnu Khafif nampak lebih menyayangi yang muda. Sikap inui membuat murid lainnya nampak kurang setuju. “Bukankah Ahmad Tua telah menjalankan lebih banyak perintah dan disiplin diri?,” kata sebagian muridnya itu.
Ibnu Khafif ingin membuktikan kepada mereka, bahwa Ahmad Muda lebih unggul dari Ahmad Tua. Dikisahkan ada seekor unta yang sedang tidur di depan pintu. Kemudian Ahmad Khafif memanggil salah satu muridnya “Wahai Ahmad Tua kesinilah.”
“Saya! Wahai guru,” jawab Ahmad Tua.
“ Tolong angkatlah unta itu ke atas loteng,” perintah Ibnu Khafif.
“Guru, mana mungkin aku dapat mengangkat unta itu ke atas loteng,” katanya
“Cukup,” jawab Ibnu Khafif menyela tanpa mendenbarkan alasannya. Setelah itu memanggil Ahmad yang muda.
“Wahai Ahmad Muda,tolong angkat unta itu,” perintahnya.
Mendenbar perintah gurunya, Ahmad Muda langsung mengencangkan ikat pinggangnya, menggulung lengan bajunya, dan berlari-lari keluar. Mulailah ia mengangkat unta tersebut. Namun sia-sia belaka. Ahmad Muda tidak bisa mengangkat unta tersebuit.
“Sudah cukup!” kata Ibnu Khafif.
Kemudian berkatalah ia kepada murid-muridnya. “Sekarang tahulah kalian bahwa Ahmad Muda-lah yang telah melakukan kewajibannya. Ia mentaati perintahku tanpa membantah. Yang ia pentingkan adalah perintahku. Ia tidak mempedulikan apakah perintah itu dapat dilaksanakan atau tidak. Sedangkan Ahmad Tua, ia hanya berdalih. Dari dua sikap itu, kita dapat memahami keinginan di dalam hati seseorang.”