Sufi Sya’dun Al-Majnun yang Menolak Takluk di Kursi Khalifah

Sufi Sya’dun Al-Majnun yang Menolak Takluk di Kursi Khalifah

Ini cerita dari Sya’dun Al-Majnun yang membuat Khalilfah geleng-geleng kepala

Sufi Sya’dun Al-Majnun yang Menolak Takluk di Kursi Khalifah

Sufi nyentrik dari Mesir, Sa’dun Al-Majnun, menjadi bukti bahwa seorang sufi tak pernah lupa akan kewajibannya sebagai warga negara. Ia mengkritik tanpa ampun ketika sang khalifah dipandang salah jalan.

Suatu ketika Dzun Nun Al-Misri (w. 245/859 M) sedang melakukan tawaf di Kabah, tetapi tak lama kemudian ia mulai terserang kantuk. Dalam keadaan terkantuk-kantuk ia dikejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba menyeruak dan berbaris sejajar dengannya. “Singkirkan tabir kebodohan dariku, hingga aku bisa terbang dengan sayap cinta kepada-Mu, hingga aku bisa terbang dengan tiang kebenaran di antara taman-taman keagungan-Mu,” demikian bunyi doa orang tak dikenal itu sambil berjalan.

Seusai tawaf orang tersebut lalu pergi berjalan menjauh. Melihat tingkah lakunya yang aneh, Dzun Nun penasaran.  Lalu ia mengikutinya ke luar Masjidil Haram. Rupanya orang itu tinggal di rumah kosong.

“Ada apa kamu ini? Enggak ada kerjaan, nguntit-nguntit orang. Pergi sana!”

“Aku ingin tahu namamu,” kata Dzun Nun.

“Abdullah,” jawabnya.

“Anak siapa?” tanya Dzun Nun.

“Anak Abdillah,” jawabnya singkat.

“Ah kamu, semua manusia adalah ‘abdullah (hamba Allah) dan juga anak dari ‘abdillah (hamba Allah). Jadi siapa jati dirimu sebenarnya?”

“Mereka menyebutku Abu Sa’dun.”

“Ya, ya, yang bergelar Al-Majnun itu, ‘kan?”

“Lha, itu tahu.”

Bukan di Makkah saja Dzun Nun alias Abul Faidh bertemu Sa’dun Al-Majnun. Dia pernah pula memergokinya sedang berdoa di pekuburan sekitar Kota Basrah. Bahkan Sa’dun sendiri sempat pula mengikuti majelis Abul Faidh di Fustat, Mesir. Abul Faidh, yang bukan asli Mesir (ayahnya orang Nubia), dikenal sebagai orang zahid. Dialah tokoh sufi terkemuka yang dianggap sebagai sufi pertama yang mengajarkan tentang jenjang tingkatan (maqâmat) dalam mencapai makrifat. Sedangkan Sa’dun lebih populer karena kenyentrikannya. Bajunya, tempat minumnya, tongkatnya, bahkan keningnya, ditulis syair. Dzun Nun pernah membaca di tongkat Sa’dun bertuliskan:

Beramallah karena dunia hanya sebentar

Ingatlah, setelah mati kau dibangkitkan

Sadarlah, amalmu diperhitungkan

Sedang yang kau tinggalkan kepada yang lain/diwariskan

Kegemaran Sa’dun lain yang tidak kalah nyentriknya adalah berkirim surat, termasuk kepada para penguasa Bani Abbasiyah. Ia menulis surat itu dengan judul panjang-panjang, sering pula ia mengutip dari ayat Al-Quran. Salah satunya, “Wahai penguasa jika kamu tidak malu kepada diri sendiri, malulah kepada Allah. Jangan sampai tertipu oleh kelapangan-Nya kepada kamu karena anggapan itu bakal menghancurkanmu.” Surat itu ia beri judul, “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawaban (QS 17: 36).”

Sa’dun dengan suratnya hendak menyadarkan para penguasa agar tidak tergiur dengan kemewahan dan kekuasaan yang dimilikinya. Karena dua hal itu akan mudah menggelincirkan manusia ke jurang kesesatan. Keduanya fana, tidak kekal. Dan lagi, setiap manusia ada di bawah pengawasan Allah. Segala perbuatan manusia akan dimintai pertanggungjawabannya.

Barangkali karena “keusilannya” membuat “surat peringatan” itu Sa’dun harus berurusan dengan Mutawakkil (847-861 M), khalifah dari dinasti Bani Abbasiyah, yang naik singgasana pasca-Khalifah Mu’tashim. Mutawakkil-lah yang mengakhiri diresmikannya Mu’tazilah sebagai “mazhab” negara. Ia kemudian lebih mendukung ahli hadis, dan disebut-sebut telah menganiaya kaum Syiah. Ia wafat karena dibunuh oleh tentara Turki dan sepeninggalnya pemerintahan kekhalifahan Bani Abbasiyah terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil.

Mutawakkil suatu hari berkirim surat kepada gubernurnya di Basrah. Isi surat itu berbunyi, “Di antara penduduk kamu sesungguhnya ada seorang cendekiawan yang kaya hikmah.” Orang yang dimaksud Khalifah tidak lain adalah Sa’dun. Khalifah hendak bertemu dengannya.

Pertemuan pun diatur. Gubernur beserta bawahannya membuat persiapan dan Sa’dun ditatar agar tidak menyalahi aturan protokoler. Meski demikian tetap saja dia Sa’dun, yang disebut Al-Majnun alias “Si Gila”.

“Engkaukah Mutawakkil itu?” tanya Sa’dun saat pertemuan.

“Benar,” sahut khalifah.

“Kenapa dinamakan mutawakkil (orang yang bertawakal) tidak mutawadhi’ (orang yang dihinakan) saja?

“Salam bagimu, wahai orang yang mengangkangi kekayaan dan berbaju khianat, demi mengikuti nafsu. Seakan-akan aku ini dirimu, datang kepadamu malaikat yang kemudian mencabutmu dari singgasana kesombonganmu dan mengusirmu dari istana-istana kemegahan. Waktu itu kamu sudah tidak punya pasukan pengawal atau bala bantuan hingga kamu terusir sampai ke lubang sempit dan terpisah dari keluarga. Andai kamu melihat catatan kesalahanmu, hai orang yang bergelimang harta si miskin dan kezaliman, kamu akan tahu segala amalmu yang sudah dihitung dengan sebenarnya.”

Mendengar perkataan Sa’dun seperti itu, kontan Mutawakkil marah. Lalu Sa’dun dijebloskan ke penjara. Pada hari kedua Sa’dun disuruh menghadap khalifah. Diajukan beberapa pertanyaan dari khalifah kepadanya. Tapi tetap saja jawaban-jawabannya membikin murka. Kembali khalifah mengirimnya ke bui. Di hari ketiga kejadiannya pun tetap sama, Sa’dun kukuh dengan jawabannya.

Hari berikutnya, Mutawakkil memerintahkan staf istana memasang tirai sutera hijau, dan Sa’dun kembali disuruh menghadapnya.

“Mutawakkil, inilah hartamu yang hina, usang dan cepat hancur,” kata Sa’dun.

“Aku sedang mendengar penggemar sutera yang suka mencela penguasa,” kata Mutawakkil.

“Aku tidak seperti itu. Hanya aku ingin menggambarkan sebuah negeri yang lebih baik ketimbang negerimu. Istana yang lebih indah daripada istanamu,” ucap Sa’dun.

“Ya, silakan.”

Sa’dun menggambarkan sebuah negeri yang sungai-sungainya sangat luas, bersuasana teduh dan sejuk, buah-buahannya mudah dipetik, tamannya hijau, nyaman kehidupannya, disertai semerbak wewangi kasturi. Tempat yang konon tidak ada lagi dosa dan pahala. Negeri penuh kebebasan. “Itulah negeri impian. Penghuninya selalu berada dalam kenikmatan tanpa akhir. Tak ada dendam, sakit, dan penderitaan,” tutur Sa’dun.

“Sangat bagus, sungguh indah,” kata khalifah. Semoga Allah memberkatimu senantiasa. Dan siapa bilang kamu orang gila?” kata khalifah tidak membantah apa yang dikatakan Sa’dun.

Akhir cerita, Mutawakkil memerintahkan agar Sa’dun diberi hadiah yang tentunya bukan main mewahnya. Namun Sa’dun tetaplah “Si Gila”, ia menolak anugerah khalifah seraya berkata, “Cukuplah Allah SWT yang menjaminku, yang telah menjadikan gudang hadiah-Nya terbuka kepada setiap orang yang mengharapkan-Nya. Biarlah Allah yang mencukupiku, yang telah menjadikan kunci-Nya alasan untuk mengharapkan-Nya.”