Bagi kaum sufi, ujaran “Matilah engkau sebelum mati” benar-benar merupakan hadits dari nabi Muhammad SAW. Inilah kematian yang disiratkan dalam ucapan nabi tentang jihad, “Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad besar” saat mereka pulang dari Perang Badar, perang terbesar yang pernah dialami kaum muslimin.
Kaum sufi tidak memiliki ketakutan akan kematian, sebab mereka telah memahami bahkan “menjalani” kematian tersebut (Baca: Sufi-sufi yang Dieksekusi Mati dan Dibunuh bagian 1). Sebagian bahkan bisa jadi mengagungkan “kematian indah” al-Hallaj yang legendaris. Bahwa kematian al-Hallaj merupakan puncak dari jalan kematian seorang pengarung jalan menuju Ilahi.
Di sisi lain, kematian para sufi yang disembelih oleh mereka yang menganggap darah para sufi itu halal sementara pelakunya masih mengucapkan syahadat merupakan hal yang miris. Betapa tidak? Para sufi itu nota bene muslim, bersyahadat, tetapi meyakini tidak ada jarak antara yang mati dan yang hidup. Sementara para penyembelihnya juga sama-sama bersyahadat, tetapi meyakini bahwa para sufi itu sesat dan syahadatnya tidak sah.
Celakanya, para penyembelih sufi ini beragama dengan kecenderungan yang sangat lahiriah. Ketaatan dilihat pada atribut pakaian dan jenggot. (Baca: Sufi-sufi yang Dieksekusi Mati dan Dibunuh bagian-2)
Entah, apakah konflik simbolik ini bisa betul atau salah, momen saat Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab, pendiri wahhabi, menghancurkan makam Zaid ibn al-Khattab (saudara ‘Umar ibn al-Khattab, sekaligus sahabat nabi) merupakan momen pembalikan dari penyaliban al-Hallaj.
Bila al-Hallaj meneriakkan bahwa dialah Kebenaran dan disalib, maka Ibn ‘Abd al-Wahhab memekikkan kebenaran ajarannya dengan menghancurkan makam sahabat nabi.
Bila al-Hallaj merupakan representasi dari mereka yang mabuk hakikat, maka Ibn ‘Abd al-Wahhab adalah representasi dari mereka yang mabuk syariat. Dua-duanya berada pada kutub ekstrim. Di sinilah kita perlu mengingat al-Hujwiri, pengarang Kasyful Mahjub, seorang ulama yang juga mendamaikan, fiqh, teologi dan tasawuf.
Beliau menyebutkan bahwa syariat tanpa hakikat tidak mendapatkan hasil apa pun, dan hakikat tanpa syariat melahirkan kemunafikan. Keduanya mutlak harus dihayati. [ ]