Mungkinkah Kita Menerima Baha’i, padahal sudah 76 tahun merdeka?
Baha’i menjadi tema utama di banyak perbincangan warganet. Tak kalah heboh dengan percekcokan terkait perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau lebih akrab dikenal dengan PPKM oleh Pemerintah Indonesia. Terkait dengan isu yang sedang hangat tersebut, saya mencoba mengulik mengapa isu agama selalu menjuarai perbincangan warganet.
Seberapa sering anda terlibat dalam perdebatan di media sosial?
Saya melihat bahwa alibi kita saat mencemplungkan diri dalam perbincangan di media sosial, adalah faktor yang turut mempengaruhi seberapa sering kita terlibat di sana. Walau aneka ragam alasan tentu saja dapat diajukan, namun dalih terkait agama selalu memiliki caranya sendiri untuk menggoda masyarakat kita untuk terlibat, entah itu di dunia nyata atau maya.
Jadi, wajar jika kemudian glorifikasi atau romantisme atas nama agama menjadi narasi paling laku di masyarakat. Kita mungkin sering sekali mendengar ajakan, entah dari para otoritas agama atau masyarakat biasa, untuk membela atau sekedar mensyiarkan agama yang kita peluk. Tentu, kondisi ini bisa menjebak kita dalam jeratan umpatan, hujatan intoleran, hingga perilaku rasis atas kelompok yang liyan.
Terkait agama Baha’i yang baru-baru ini ramai diperbincangan, akibat potongan video yang mempertontonkan ucapan selamat dari menteri agama, Gus Yaqut, tersebar luas di media sosial adalah fakta sahih bahwa kita masih perlu banyak belajar untuk terbuka dalam menerima, khususnya keberadaan agama lain di Indonesia.
Saatnya Kita Belajar Untuk Tidak Lagi Berlaku Rasis
Dulu, bagi saya, kata “Rasisme” terasa sangat jauh dari kehidupan sehari-hari. Saya masih berpikir bahwa masyarakat kita tidak akan mungkin melakukan perilaku rasis atas orang lain. Sebab, perilaku rasis dalam pikiran saya hanyalah terkait kelompok berbeda warna kulit, bahkan hanya pada mereka yang berkulit hitam saja. Walau pada akhirnya saya mendapatkan pencerahan atas kekeliruan terhadap pemahaman tersebut.
Sebagaimana dijelaskan oleh Pierre Bourdieu, filsuf asal Perancis, rasisme bukanlah sesuatu yang tunggal. Dan salah satu yang diulas Bourdieu adalah “Rasisme kecerdasan”, yang merujuk pada model rasisme dari kelas yang dominan atau semacam borjuisme kecil.
“Rasisme kecerdasan hanya ada pada suatu kelas dominan” tulis Bourdieu.
Rasisme kecerdasan reproduksi kelas dominan yang tergantung dari transmisi modal kultural. Di mana, modal kultural adalah modal yang diwariskan, atau dalam bahasa lain adalah sesuatu yang ditubuhkan. Akibatnya, rasisme kecerdasaan yang hadir di masyarakat seakan-akan menjadi bagian yang alamiah dan diabsolutkan.
Penjelasan rasisme dari Bourdieu di atas memang terlihat rumit dan sulit dipahami. Namun, rasisme biasanya dieufemiskan atau dihaluskan, dinaturalkan, dan diabsolutkan lewat klasifikasi sosial. Jika kita hubungkan dengan narasi mayoritas-minoritas dalam dinamika keagamaan di Indonesia, maka teori rasisme Bourdieu di atas seakang dengan gamblang mengungkap betapa ketimpangan dalam relasi keberagamaan di Indonesia. Sebab, ketimpangan tersebut dilangengkan lewat produksi pengetahuan yang negatif atau mengabaikan keseimbangan informasi atas agama atau kelompok lain. Bahkan, informasi menjadi legitimasi atas perilaku atas kelompok minoritas.
Jadi, kita perlu memahami dalam bahwa dalam perilaku rasis atas kelompok liyan dapat disandarkan pada argumen yang logis, alamiah, dan terlihat ramah. Bukan sesuatu yang aneh jika kita menjumpai romantisme atas nama agama digunakan untuk melegitimasi penjinakan atas kelompok lain, antara lain “negara ini dimerdekakan atas usaha umat Islam” atau “Sebagai umat beragama terbesar….”
Kasus Baha’i kemarin mengetuk kesadaran kita bahwa pekerjaan berat dalam pengelolaan keragaman, khususnya keberterimaan kepada kelompok baru, masih sangat berat. Memori kebanyakan masyarakat kita atas isu tersebut masih sangat sulit keluar dari sikap rasisme. Ruang untuk menerima kehadiran agama selain dari daftar agama “resmi” di Indonesia masihlah sempit. Jadi, inilah momentum untuk belajar menerima dan melepaskan dari produksi pengetahuan yang selama ini membelenggu kita.
Mungkinkah Kita Bisa Menerima Agama “Baru” di Indonesia?
Pertanyaan di atas terkesan sarkastik. Sebab, selama ini hampir setiap ada pemberitaan terkait agama “baru” ditanggapi secara negatif atau kontra-produktif. Dari hujatan, caci maki, hingga perlakuan kasar harus diterima pemeluk agama tersebut atau kelompok minoritas lainnya. Selain itu, tidak jarang mereka juga lebih banyak dilihat sebagai masyarakat kelas dua karena pandangan atas agama, ras, atau identitas etnis mereka.
Sebagian besar masyarakat Indonesia masih melihat agama lain sebagai bagian terpisah dari identitas kebangsaan dan kewargaan. Padahal, slogan “Bhinneka Tunggal Ika” seakan terus dijejalkan dalam jiwa kita. Jadi, sikap negatif, seperti hujatan atau kritik keras, sering sekali dialamatkan kepada siapapun yang menampilkan sikap, perilaku, atau ucapan yang setara atau terkesan mesra dengan kelompok minoritas atau pemeluk agama baru tersebut.
Perdebatan panjang terkait ucapan selamat pada hari-hari besar agama, entah dilakukan oleh tokoh atau pribadi, seakan sudah menjadi rutinitas tersebut sudah menjadi fakta relasi tidak seimbang kepada agama lain. Terlebih, setelah kemunculan media sosial, perdebatan terkait agama baru semakin rentan terjerumus pada debat kusir, sebab algoritma dalam layanan jejaring sosial menarik masyarakat digital untuk mengonsumsi informasi yang seiras dengan seleranya.
Kondisi tersebut jelas sangat menyulitkan dalam membangun relasi antar agama yang kondusif. Ekspresi keagamaan yang direpresi atau ditekan yang merupakan warisan Orde Baru semakin subur tumbuh di sebagian besar masyarakat kita. Gagasan untuk kita untuk mengevaluasi kembali peran bahasa/wacana/teks dalam proses pembentukan imaji dalam hierarki hubungan antar agama harus segera dilakukan.
Secara umum, lewat bahasa, orang dipaksa untuk mempercayai ide-ide yang tidak benar atau untuk kepentingan mereka. Dalam kajian atau teori wacana, bahasa adalah tempat di mana perilaku rasis itu dilakukan pertama kali. Sebagaimana kita ketahui, dulu Orde Baru menghadirkan istilah “agama resmi” atau “diakui” untuk mengekang agama-agama lokal dan “baru”.
Politik “agama resmi” ini masih menjadi memori kolektif atau imaji bersama di sebagian besar masyarakat Indonesia hingga hari ini. Wajar jika kemudian pemeluk agama Baha’i atau kelompok lain yang tidak masuk dalam daftar “agama yang diakui negara” masih terus mendapatkan berbagai perlakuan negatif dan tidak mendapatkan perlindungan negara.
Apa yang telah dilakukan oleh Gus Menteri Agama sudah seharusnya mendapatkan apresiasi dari kita, minimal sebagai langkah awal untuk membuka peluang penerimaan atas kelompok pemeluk Baha’i. Adapun yang bisa kita lakukan adalah membongkar seluruh warisan dari model rasisme yang selama ini terpendam dalam diri kita. Ini bukan sesuatu yang mudah.
Kemudian, kita bisa mulai menghadirkan suasana yang lebih kondusif dengan membuka ruang-ruang sosial dan publik yang adil, terutama kepada kelompok yang selama ini terbungkam dan ditolak kehadirannya. Setiap pemeluk agama berhak mendapatkan perlindungan dari Negara untuk mengekspresikan dan beribadah dengan bebas dan tanpa tekanan.
Selain itu, kita harus mulai melawan segala wacana negatif terhadap kelompok liyan. Bahasa-bahasa eufisme dari aktor-aktor pemilik kuasa yang selama ini menjadi topeng represi dan penindasan, juga dihentikan dan dilawan oleh kita semua. Sebagaimana dijelaskan di atas, wacana eufisme tersebut menjadikan narasi rasisme dapat tertanam dan malah terasa natural.
Jadi, hal ini harus dilawan dengan mulai membuka ruang-ruang publik yang aman kepada siapa saja untuk menjalankan agamanya masing-masing.
Penulis: Supriansyah