Substansi Puasa Menurut Syech Abdul Qodir al Jilani

Substansi Puasa Menurut Syech Abdul Qodir al Jilani

Substansi Puasa Menurut Syech Abdul Qodir al Jilani

Ibadah tidak hanya berhubungan dengan Allah SWT, tetapi sangat berkaitan dengan relasi sesama manusia. Dalam beberapa hadis ditemukan bahwa keimanan seringkali dikaitkan dengan kesantunan dan etika terhadap orang lain, seperti menyambung silaturahim dan menghormati tamu. Ini menandakan Islam bukanlah agama individual dan memisahkan pemeluknya dari kehidupan sosial.

Islam sangat mengerti bila seorang manusia mesti saling membantu antara satu sama lainnya. Itulah mengapa hampir semua ibadah di dalam Islam memiliki pengaruh positif terhadap masyarakat. Maksudnya, yang merasakan dampak baik dari ibadah tersebut bukan hanya pelakunya sendiri, tetapi seluruh masyarakat, bahkan binatang dan tumbuhan sekalipun.

Syeikh Abdul Qadir al-Jilani mengatakan, “Jika kamu menyukai makanan enak, pakaian bagus, rumah mewah, wanita cantik, dan harta berlimpah, sementara pada saat yang sama kamu menginginkan agar saudara seimanmu mendapatkan kebalikannya, maka sunggu bohong bila mengaku memiliki iman yang sempurna”. Pernyataan ini merupakan kritik tajam terhadap kaum beriman yang apatis.

Pada umumnya ibadah dapat dibagi menjadi dua: ibadah individual dan ibadah sosial. Ibadah individual sangatlah personal dan berhubungan dengan Tuhan secara langsung, semisal shalat, puasa, dan haji. Sementara ibadah sosial berkaitan langsung dengan masyarakat, misalnya membantu fakir miskin, sedekah, dan lain-lain. Namun sesungguhnya, dalam ibadah individual sekalipun, dimensi sosialnya masih tetap ada.

Sebut saja shalat, memang tidak ada yang tahu tujuan shalat secara spesifik. Terutama alasan mengapa jumlah raka’at shalat dibatasi dan tidak boleh ditambah dan dikurangi. Akan tetapi, tujuan umum shalat masih dapat dirasionalkan dan dipahami melalui penjelasan al-Qur’an dan hadis. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa shalat mencegah perbuatan keji dan munkar (QS: Al-‘Ankabut: 45).

Artinya, shalat memberikan dampak positif terhadap perilaku seorang. Bila seorang mampu menahan dirinya dari mengerjakan kemungkaran, otomatis akan menyelamatkan orang lain dari kezaliman dan kemungkaran. Andaikan seluruh masyarakat shalatnya benar, maka seharusnya kemungkaran di bumi ini sudah tidak ada lagi.

Sama halnya dengan puasa, bila dicermati banyak dimensi sosial yang terkandung di dalamnya. Seringkali dikatakan bahwa dengan berpuasa kita bisa mengerti betapa laparnya orang miskin. Mereka tidak cukup uang untuk memenuhi kebutuhannya. Bila kita hanya menahan lapar dari terbit fajar sampai terbenam matahari, bisa jadi tetangga kita yang miskin tidak makan seharian penuh atau lebih. Melalui puasa kita seharusnya bisa mengerti dan berusaha membantu orang-orang miskin.

Selain menumbuhkan rasa empati dan simpati, puasa sebenarnya juga dapat meredam kemungkaran sosial. Kerapkali kezaliman dan kejahatan di dunia ini terjadi karena keserakan dan ketamakan manusia. Lihatlah koruptor, pemerkosa, dan pembakar hutan, mereka melakukan itu karena memang sudah tidak mampu lagi mengendalikan nafsu keserakahan di dalam dirinya. Akibatnya, luapan nafsunya merusak dan menganggu kenyamanan hidup orang lain.

‘Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Anak Adam dapat binasa karena dua anggota tubuh: perut dan kemaluan. Perkatan ‘Ali ini didukung oleh hadis riwayat Abu Hurairah bahwa suatu kali Nabi SAW pernah ditanya tentang  faktor apa yang membuat orang banyak masuk surga. Nabi SAW menjawab, “Taqwa dan akhlak yang bagus.” Kemudian Nabi ditanya lagi, apa yang menyembabkan banyak orang masuk neraka? “Dua anggota tubuh: perut dan kemaluan” Jawab Nabi (HR: Ibn Majah).

Pernyataan Nabi ini sangat benar dan sudah teruji kebenarannya. Ada banyak kerusakan yang disebabkan dua anggota tubuh ini. Sebagian besar kemungkaran terjadi karena manusia tidak mampu membendung hasrat perut dan kemaluannya. Ia tidak mampu mengontrol kuatnya dorongan negatif dari dalam perut dan kemaluannya. Sehingga, ketidakmampuan itu mendorong mereka untuk melakukan kejahatan dan merusak kehidupan orang lain.

Harus diakui, mengendalikan nafsu memang tidak mudah. Dibutuhkan latihan maksimal untuk mengontrolnya. Puasa merupakan waktu terbaik untuk mengendalikan nafsu liar. Tampaknya itulah tujuan utama puasa, yakni pengendalian hawa nafsu.

Bila nafsu manusia sudah stabil, secara tidak langsung kehidupan masyarakat akan terjamin kenyamanannya. Akan sangat percuma bila puasa hanya sekedar menahan haus dan lapar saja, tapi maksiat dan hawa nafsunya tidak pernah dikontrol. Karenanya, jangan terjebak pada bentuk formal ibadah, tapi pahami, dalami, dan amalkan pula substansinya. []