Saya percaya bahwa perjumpaan dengan orang lain adalah pelajaran yang sangat berharga. Seringkali kebencian lahir dari ketidaktahuan. Ada orang yang begitu saja membenci orang Cina, padahal seumur-umur tidak pernah bersentuhan dengan orang Cina. Ada orang yang sangat membenci orang Nasrani padahal seumur hidupnya bahkan tidak pernah berkenalan dengan satu pun orang Nasrani (Katolik ataupun Protestan).
Dari mana kebencian ini lahir? Tidak ada kebencian terhadap kelompok tertentu yang merupakan bawaan lahir. Anak kecil akan berteman dengan siapa saja di sekitarnya. Ketika dia beranjak dewasa dan tiba-tiba memiliki kebencian pada kelompok tertentu, jelas itu karena hasil didikan yang dia terima. Anak kulit putih bisa bermain dengan anak berkulit hitam. Tapi mengapa saat dewasa mereka menjadi rasis? Anak dari keluarga Muslim bisa bermain-main dengan anak dari keluarga non-Muslim, lalu mengapa saat dewasa tiba-tiba saling membenci dan melukai?
Kebencian yang ada pada diri seorang anak adalah akibat didikan yang ditanam oleh lingkungannya. Seorang anak yang dibesarkan dan dididik dalam suasana kebencian, akan tumbuh di dalam dadanya perasaan benci. Seorang anak yang terus-menerus mendengar khutbah kebencian kepada suatu kelompok, dia akan tumbuh dengan kebencian itu kepada kelompok tertentu. Tak peduli apakah dia sungguh-sungguh tahu tentang kelompok tersebut atau tidak.
Bayangkan, ada seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar, tapi sangat membenci romo atau pendeta. Dari manakah perasaan benci itu lahir? Bisa dipastikan karena kebencian itu ditanamkan ke dalam dirinya oleh orang-orang di sekitarnya, mungkin orang tua atau gurunya. Ketika dia beranjak dewasa, dia akan menyimpan kebencian itu terus-menerus. Jika dia tetap berada di lingkungan yang sama, dia bahkan akan merawat kebencian itu sampai mati, tanpa alasan sedikit pun.
Di saat hampir semua lembaga riset memberi warning terkait fenomena radikalisasi di perguruan tinggi (yang paling mengejutkan banyak pihak adalah saat BNPT di tahun 2018 mengeluarkan data tentang radikalisasi di sepuluh perguruan tinggi negeri top di Indonesia, salah satunya UNAIR Surabaya), suara seorang mahasiswi baru Universitas Airlangga Surabaya sungguh seperti tetesan embun. Di saat banyak pihak yang menilai bahwa generasi milenial hanya tahu hura-hura dan pemikiran yang dangkal, suara si mahasiswi ini seperti membalik cibiran itu.
Dia berkisah bahwa dia terlahir dari keluarga yang sangat yang kental dengan agama, khususnya Islam. Sekalipun demikian, sejak kecil dia sudah dibiasakan berjumpa dengan keragaman. Dia bahkan mengaku pernah didoakan seorang romo, teman ayahnya, agar menjadi anak shalihah. Rupanya pengalaman perjumpaan ini membuat dia tumbuh menjadi remaja yang tidak bisa menerima ada seorang ustadz yang ceramahnya begitu merendahkan keyakinan orang lain.
Saya salinkan apa adanya statusnya di akun instagramnya di sini:
“Papa saya Islam. Saya Islam, dan keluarga besar saya semua Islam. Papa dari keluarga kyai. Tapi papa sering mendapat panggilan mengajar di gereja untuk memberi seminar, mengajar Romo-romo baru, dll. Sering juga saya bersama keluarga diajak ke gereja untuk refreshing dan melihat-lihat seperti apa aktivitas orang-orang non-Muslim di gereja.
Berkenalan dengan para romo, didoakan untuk segera mengkhatamkan bacaan al-Qur’an dan bisa menjadi anak sholehah dan sukses membuat saya menjadi pribadi yang sangat menjunjung tinggi toleransi yang ada di Indonesia. Lihatlah bagaimana menerima kami yang bahkan bukan dari keyakinan yang sama. Apakah susah untuk hidup berdampingan bersama orang lain dg latar belakang berbeda?
Islam tidak pernah mengajarkan kebencian terhadap pemeluk agama yang lain. Islam tidak pernah memiliki ajaran mencela pemeluk agama lain. Kalau memang melihat salib membuat orang menggigil karena ada setan yang ada di sana, saya bersama keluarga saya sudah dari kesurupan sambil kejang2 ga berhenti2 sampai sekarang.
Indonesia adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan semua sila-sila Pancasila lainnya. Memiliki hak-hak masing-masing tanpa perlu menyentil kenyamanan satu sama lain. Apakah harus mencuci orak orang2 yang bahkan pemeluk agama yang sama untuk menjilati ambisimu sendiri, yaitu menjadikan Indonesia menjadi negara Islam. Dengan berkedok “Islam” kamu merasa semua hal buruk halal kau lakukan. Menjadi iblis paling kejam dengan menganggap dirimu paling suci. Kalau memang anda merasa seperti itu, hentikan aktivitas ibadahmu, segera pergi ke surga yg kau anggap punyamu sendiri”
Jadi, tak perlu terlalu khawatir tentang masa depan Indonesia. Masih ada pribadi-pribadi bersih dari kalangan anak muda yang sanggup berpikir jernih. Refleksi di atas hanyalah sebuah status di akun instagram. Bukan sebuah artikel ilmiah. Bukan pula ditulis oleh seorang dosen. Dia hanya refleksi kritis dari seorang mahasiswi baru Universitas Airlangga Surabaya.[]