Kaum Islam transnasionalis menggunakan simbol-simbol Islam untuk menutupi nafsu-nafsu politik dan nalar kekerasan mereka. Mereka menggunakan strategi kamuflase tersebut untuk mengelabui umat Islam tanah air supaya lebih mudah bersimpati dan mau masuk ke dalam ajaran-ajaran Islam konservatif yang mereka bawa.
Strategi kamuflase tersebut mula-mula dilakukan dengan cara melakukan infiltrasi halus ke dalam ormas Islam yang moderat : NU dan Muhammadiyah. Dalam penelitian yang dieditori KH. Abdurrahman Wahid (2009) yang berjudul Ilusi Negara Islam menjelaskan secara detail bentuk infiltrasi halus yang dilakukan oleh kelompok Islam transnasionalis yang meliputi, Salafi-Wahabi, Ikhwanul Muslimin (tarbiyah), dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ke dalam organisasi Islam moderat di Indonesia yang dilakukan sejak awal masa reformasi.
Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa kelompok Islam transnasionalis yang ekstrem mulai mengokupasi kegiatan masjid yang sebelumnya adalah masjid dengan jamaah dan kultur amaliyah NU. Mula-mula takmir masjid NU tersebut simpati dengan semangat ibadah anak-anak muda agen kaum Islam transnasionalis tersebut. Kemudian mereka mulai diberikan tempat dan jadwal untuk adzan, hingga mengisi kajian keislaman di masjid.
Akan tetapi, lambat laun mereka mulai mempunyai agenda sistematis seperti memasukkan penceramah-penceramah dari kalangan mereka untuk mengisi kegiatan masjid. Dari situlah kemudian kelihatan sebenarnya apa motif utama mereka, yaitu untuk menggerogoti basis-basis NU melalui infiltrasi aktifitas masjid.Kasus infiltrasi yang dilakukan oleh kaum Islam transnasionalis ke dalam basis NU melalui kepengurusan masjid tersebut cukup massif terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Penelitian tersebut juga menjelaskan kasus infiltrasi kaum Islam transnasionalis yang terjadi pada Muhammadiyah. Kasus infiltrasi di Muhammadiyah malah lebih mengejutkan lagi. Bahkan agen-agen dari kaum Islam transnasionalis tersebut sudah ada yang masuk ke dalam Muhammadiyah secara struktural. Hal itu terlihat dari mulai ada keanggotaan ganda pengurus Muhammadiyah yang ternyata juga aktif di ormas Islam transnasional.
Kemudian, belakangan ini kaum Islam transnasionalis menggunakan medium baru untuk mengelabui umat Islam Indonesia. Seiring dengan semakin mudahnya akses media sosial (medsos) online di Indonesia, kaum Islam transnasionalis tersebut mulai membuat konten-konten dakwah dengan memanipulasi simbol Islam untuk meraih simpati umat Islam.
Konten-konten medsos yang mereka produksi tersebut berfungsi untuk menutupi dan memperhalus motif politik mereka. Mereka membuat framing-framing yang mencitrakan mereka sebagai model Islam yang taat dan sesuai ajaran nabi Muhammad Saw.
Simbol-simbol keislaman yang mereka gunakan semisal adalah hijrah. Mereka membikin video yang mengajak umat Islam untuk melakukan hijrah. Dalam penjelasan mereka, hijrah dimaksudkan untuk meningkatkan keimanan umat Islam. Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah ternyata dakwah yang mengajak untuk hijrah tersebut hanyalah untuk menjadi medium awal yang menjerumuskan umat ke dalam ambisi politik mereka.
Kasus pembakaran bendera HTI adalah contoh untuk menggambarkan bekerjanya metode kamuflase kelompok Islam transnasionalis tersebut. Ternyata, banyak kalangan umat Islam yang sebelumnya sudah terpapar dengan konten-konten dakwah (seperti hijrah) kaum Islam transnasionalis tersebut menjadi sangat fanatik dan patuh dengan framing yang dilakukan oleh kaum Islam transnasionalis soal bendera.
Kaum Islam transnasionalis membuat framing bahwa bendera yang dibakar oleh oknum Banser tersebut adalah bendera tauhid, bukan bendera HTI. Framing tersebut ternyata dipercayai secara begitu saja oleh sebagian umat Islam yang sebelumnya sudah terpapar dengan konten-konten bikinan kaum Islam transnasional yang menggunakan simbol-simbol Islam untuk memanipulasi motif politik mereka.
Padahal, jika ditelaah secara kritis dan kontekstual, bendera yang dibakar oleh oknum Banser tersebut adalah sudah sangat jelas bendera HTI. Walaupun di bendera tersebut tertulis lafadz La Ilaha Illalah Muhammad ar-Rasulullah, justru lafadz tersebutlah yang dijadikan oleh mereka sebagai simbol untuk menutupi motif kekuasaan mereka.
Penggunaan lafadz tahlil untuk bendera kaum Islam yang mempunyai ambisi kekuasaan sudah ada banyak contohnya. ISIS di Timur Tengah juga menggunakan lafadz tersebut untuk bendera mereka. Al-Qaeda juga menggunakan lafadz yang sama dalam benderanya. Dengan demikian, sudah sangat jelas bahwa bendera yang dibakar tersebut secara kontekstual adalah bendera HTI, bukan tauhid.
Dari persoalan polemik bendera yang sudah sangat jelas bendera HTI tersebut, akan tetapi kenapa kemudian masih ada sebagian umat Islam yang mempercayai framing kaum Islam transnasionalis yang menyebut bendera tersebut sebagai bendera tauhid. Nah, dari situlah menjadi jelas bagaimana bekerjanya strategi kamuflase mereka yang menjaring umat Islam melalui simbol-simbol Islam.
Dengan demikian, kita harus memahami strategi kamuflase kaum Islam transnasional tersebut supaya kita tidak menjadi korban modus-modus politik mereka. Pentingnya pemahaman akan modus kamuflase tersubut supaya menjadikan kita selalu kritis dengan informasi dan konten framing yang dibuat oleh kaum Islam transnasionalis tersebut.
Upaya tersebut adalah bagian kewaspadaan kita terhadap ancaman infiltrasi gerakan Islam transnasional yang menggerogoti sendi-sendi kebangsaan kita. Sekaligus juga sebagai bagian dari upaya kita menangkal ajaran keislaman yang anti terhadap kemanusiaan, kebhinekaan dan kebangsaan.Wallahhu a’lam.
M. Fakhru Riza, penulis aktif di Islami Institute Jogja.