PCINU Belanda memfasilitasi pameran seni bertajuk “Story and Tension” yang digelar di Bronbeek Museum, Arnhem, Belanda, pada tanggal 4 hingga 20 Mei 2024. Pameran seni ini menghadirkan sejumlah karya dari seniman terkemuka di Tanah Air, seperti K.H. A. Mustofa Bisri, Nasirun, Jumaldi Alfi, dan Tisna Sanjaya. Pameran ini merupakan salah satu rangkaian acara dalam Festival Islam Kepulauan yang diselenggarakan oleh PCINU Belanda.
Dalam sambutannya, Nur Ahmad, M.A. selaku Ketua Tanfidziyah PCINU Belanda merasa bersyukur karena PCINU Belanda bisa menyajikan sejumlah karya seni dari para seniman terkemuka Tanah Air ke negeri Belanda. Ia berharap, karya-karya yang dipamerkan dapat memperkaya pemahaman para pengunjung tentang seni dan budaya. “Pameran seni ini menjadi wadah bagi kita semua untuk merenungkan dan mengapresiasi keindahan serta kedalaman pesan yang terkandung dalam karya seni,” tuturnya.
Sementara itu, Hairus Salim HS dalam pengantar tulisannya perihal pameran seni bertajuk “Story and Tension” ini menjelaskan bahwa karya-karya yang ditampilkan umumnya mencerminkan semangat dekolonisasi. Karya-karya itu memberikan kesempatan berharga bagi pengunjung untuk merenungkan dekolonisasi budaya. Menurutnya, semangat dekolonisasi budaya ini relevan tidak hanya bagi yang dijajah tetapi juga bagi pihak penjajah. Dekolonisasi sudah semestinya mencakup sudut pandang dari semua pihak, yaitu pihak yang terjajah dan pihak yang menjajah. Pihak terjajah harus mengatasi ketergantungan pada kekuatan kolonial, sementara pihak penjajah perlu meninggalkan kecenderungan rasialis dan imperialis dalam persepsi, representasi, dan institusi mereka terhadap yang pihak dijajah, tambahnya.
Lukisan Nasirun, misalnya, berpusat pada tema-tema budaya dan ikon yang berakar dalam tradisi spiritual Jawa-Islam; Tisna Sanjaya menyoroti masalah-masalah sosial, politik, dan lingkungan; Jumaldi Alfi menafsirkan sejarah dalam rangkaian karyanya; dan Gus Mus menyiratkan kritik atas isu sosial dan agama. Meskipun gaya mereka berbeda, menurut Hairus Salim HS, karya-karya seniman ini semua memiliki tema yang sama, yaitu dekolonisasi budaya. Karya-karya mereka menyoroti ketegangan dinamis antara penolakan dan penerimaan, penyangkalan dan pengakuan, dan penghindaran dan pertemuan. Ambiguitas ini muncul karena memisahkan pengaruh kekuasaan kolonial terasa lebih kompleks daripada memisahkan antara yang baik dari yang buruk.
Pagelaran pameran seni ini menjadi semakin menarik karena digelar di Bronbeek Museum, sebuah museum kolonial. Museum Bronbeek berfokus pada sejarah kolonial di bekas Hindia Belanda. Museum ini didirikan pada tahun 1863, seiring dengan pembangunan rumah untuk para prajurit kolonial di Hindia Belanda yang mengalami cacat atau cedera serius akibat perang. Koleksi di museum ini bermula dari sumbangan dan terdiri dari benda-benda sejarah militer, etnografi, dan alam. Sebagian besar koleksi tersebut adalah warisan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL).
Pameran seni “Story and Tension” yang digelar di Bronbeek Museum, Arnhem, Belanda, menjadi sebuah momentum yang memperkaya dan memperluas pemahaman kita tentang seni, budaya, dan sejarah kolonial. Melalui karya-karya seniman terkemuka Tanah Air, pagelaran ini tidak hanya menjadi ruang untuk mengapresiasi keindahan seni, tetapi juga untuk merenungkan makna dekolonisasi budaya. Dalam konteks koleksi dan sejarah Museum Bronbeek, pameran ini memberikan sudut pandang yang kaya dan mendalam tentang pengaruh kolonialisme di bekas Hindia Belanda, khususnya Indonesia.