Status Penukaran Uang Kertas, Riba?

Status Penukaran Uang Kertas, Riba?

Status Penukaran Uang Kertas, Riba?

Saat momentum lebaran, ramai dibincangkan mengenai hukum menukar uang. Di beberapa tempat, marak sekali adanya penyedia jasa penukaran uang kertas, tentunya dengan nominal yang tidak sebanding dengan yang diberikan. Semisal uang 1 juta ditukar dengan lembaran uang kertas 2000 yang jumlah nominalnya hanya 900 ribu. Keuntungannya, lembaran uang kertas yang lebih sedikit nominalnya berbentuk baru dan seragam, sehingga memudahkan untuk menjadi pernak-pernak saat momen hari raya. Bagaimana hukumnya menurut fikih Islam?

Pendapat mayoritas mengatakan hukumnya haram. Sebab uang kertas termasuk harta ribawi yang hukumnya sama dengan emas dan perak. Sehingga saat terjadi pertukaran antara uang kertas disyaratkan harus seimbang nominalnya. Uang kertas menempati kedudukan emas dan perak karena keduanya merupakan mata uang yang berlaku sebagai alat tukar yang dominan dalam suatu negara.

Dalam al-Masu’ah al-Fiqhiyyah ditegaskan:

أما الأوراق النقدية ( البنكنوت ) فلم يبحثها المتقدمون من الفقهاء ، لعدم وجودها في زمانهم ، وقد كتبت فيها رسائل جديدة أشملها ( الورق النقدي ) للشيخ عبد الله بن سليمان بن منيع ، بحث فيها التاريخ وحقيقة الورق النقدي ، ثم قيمته وحكمه مستنبطا مما كتبه الفقهاء في النقود وأحكام الفلوس، واستنتج أن الورق النقدي ثمن قائم بذاته له حكم النقدين من الذهب والفضة في جريان الربا والصرف ونحوهما

“Adapun uang kertas, ulama fikih dahulu tidak pernah membahasnya, sebab tidak wujud di zaman mereka. Beberapa risalah kontemporer menulis tentang hukum uang kertas, di antaranya yang paling reperesentatif adalah kitab ‘al-Waraq al-Naqdi’ karya Syekh Abdullah bin Sulaiman bin Mani’, beliau membahas di dalamnya sejarah dan hakikat uang kertas, nominal dan hukumnya yang digali dari apa yang ditulis para fuqaha’ dalam masalah nuqud dan hukum-hukum fulus. Beliau berkesimpulan bahwa uang kertas adalah alat tukar yang menempat-nempati hukumnya emas-perak secara fisiknya dalam hal berlakunya riba, sharf dan sesamanya”. (Lajnah Ulama Kuwait, al-Masu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz.26, hal.376).

Dalam al-Fiqh al-Manhaji dikatakan:

فكلّ ما يجري التعامل به من الأثمان ، ويقوم مقام الذهب والفضة ، كالعملات الرائجة الآن ، يُعتبر مالاً ربوياً ويجري فيه الربا إلحاقاً بالذهب والفضة

“Setiap mata uang yang terlaku sebagai alat tukar dan menempati emas-perak seperti beberapa mata uang sekarang, dianggap sebagai harta ribawi dan berlaku riba di dalamnya karena dianalogikan dengan emas dan perak”. (Mushtafa al-Khin dkk, al-Fiqh al-Manhaji, juz.6, hal.53).

Selain dua referensi di atas, banyak referensi pendukung dari kalangan kontemporer, misalkan dari kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Syekh Dr. Wahbah al-Zuhaili dan kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah karya Syekh Abdurrahman al-Jaziri.

Menurut pendapat lain, uang kertas bukan termasuk harta ribawi, namun statusnya adalah harta dagangan seperti sepatu, baju, sandal dan komoditi-komoditi lainnya. Semua hukum-hukum yang dimiliki harta danagan berlaku pula dalam uang kertas. Menurut pendapat ini, uang kertas tidak sama dengan emas dan perak karena beberapa pertimbangan, di antaranya:

Pertama, terdapat perbedaan secara fisik antara keduanya.

Kedua, uang kertas bukan merupakan jenis benda yang ditimbang atau ditakar sebagaimana emas dan perak.

Ketiga, ketika dianulir nilai berharganya oleh pemerintah, uang kertas tidak lagi laku, berbeda dengan emas dan perak.

Dengan demikian, menurut pendapat ini, tidak berlaku hukum-hukum riba dalam uang kertas, boleh menukar uang kertas dengan uang kertas lainnya meski dengan selisih nominal di antara keduanya. Pendapat ini didukung oleh Syekh Muhammad ‘Ilisy al-Mishri, guru besar ulama mazhab Maliki di zamannya. Pendapat beliau diikuti oleh banyak ulama muta’akhirin dari ulama mazhab Maliki.

Lebih detail tentang hal di atas, Syekh Ahmad bin Shaleh menjelaskan:

المبحث الثاني: الأوراق النقدية عرض من عروض التجارة يرى أصحاب هذا القول إلى أن الأوراق النقدية عرض من عروض التجارة كما هو طبيعة الورق العادي فلها ما لعروض التجارة من الخصائص والأحكام. القائلون بهذا القول: قال بهذا القول الشيخ محمد عليش المصري شيخ المالكية في عصره وتبعه في فتواه بذلك كثير من متأخري علماء المالكية. كما نقل ذلك أيضا عن الشيخ عبد الرحمن السعدي النجدي صاحب التفسير وعن الشيخ حسن أيوب من المعاصرين

“Pembahasan yang kedua, uang kertas adalah satu dari beberapa komoditi dagangan. Ulama yang berpendapat demikian berpandangan bahwa uang kertas adalah tergolong harta dagangan sebagaimana ciri khas kertas-kertas biasa lainnya, uang kertas memiliki kekhususan dan hukum-hukum sebagaimana harta dagangan pada umumnya. Yang berpendapat demikian adalah Syekh Muhammad ‘Ilisy al-Mishri, guru para ulama mazhab Maliki di masanya, fatwa beliau dalam hal ini juga diikuti oleh banyak ulama muta’akhirin dari mazhab Maliki, sebagaimana juga pendapat itu dikutip dari Syekh Abdurrahman al-Sa’di, pengarang tafsir al-Sa’di dan Syekh Hasan Ayub dari kalangan ulama kontemporer”.

مستلزمات هذا القول: 1. لا يمنع الربا بينهما وبين النقدين فيجوز بيع بعضها ببعض متفاضلا ونسيئة ويجوز بيعها مع أحد النقدين نسيئة. 2. عدم وجوب الزكاة فيها ما لم تعد للتجارة. 3. عدم جواز السلم بها لدى من يقول باشتراط النقدية في رأس مال السلم. 4. عدم جواز القراض (المضاربة) لأن شرط رأس مال القراض أن يكون ذهبا أو فضة.

“Beberapa konsekuensi pendapat ini adalah. Pertama, tidak dicegah riba di antara keduanya dan emas-perak, boleh menjual sebagian uang kertas dengan sebagian yang lain secara secara selisih dan kredit, boleh menjual uang kertas dengan salah satu emas-perak secara kredit. Kedua, uang kertas tidak wajib dizakati selama tidak diniati tijarah. Ketiga, tidak boleh akad salam dengan uang kertas menurut pendapat yang menyaratkan nuqud dalam alat tukar akad salam. Keempat, uang kertas tidak boleh menjadi modal akad mudlarabah (bagi hasil), karena sayarat modal akad bagi hasil adalah berupa emas dan perak”. (Syekh Ahmad bin Shaleh, al-Auraq al-Naqdiyyah, hal.84 dan 86).

Demikian penjelasan mengenai hukum penukaran uang yang terjadi saat momen-momen lebaran. Simpulannya, permasalahan tersebut adalah perkara yang diperselisihkan halal-haramnya oleh para ulama’, mari kita saling menghargai di antara dua pendapat tersebut. Wallahu a’lam.