Kita tahu batik tak sekadar pakaian. Ia bukan hanya warisan budaya yang diperingati dengan gegap gempita (sekaligus artifisial) tiap tanggal2 Oktober. Di Batang, Jawa Tengah, misalnya, komunitas Rifa’iyah menempatkan batik di tempat yang tidak remeh temeh. Batik menyimpan makna dan spiritualitas mendalam.
Membaca liputan majalah Tempo edisi Februari 2016 kita beroleh informasi bahwa sekelompok orang masih melestarikan batik Rifa’iyah. Apa beda batik Rifa’iyah dengan batik lain? Ciri menonjol batik Rifaiyah adalah tidak adanya motif fauna yang digambar secara utuh. Jadi, jika mereka menggambar ayam misalnya, antara kepala dan tubuh ayam terpisah. Hal tersebut didasari pemahaman mereka atas kitab fikih klasik yang melarang menggambar hewan dan manusia.
Para perempuan pembatik di komunitas Rifa’iyah meyakini bahwa membatik tak hanya sekadar melukis di atas kain. Bagi mereka membatik adalah soal merawat tradisi dan keyakinan, dalam hal ini keyakinan agama yang mereka dapat dari para guru mereka. Sejak kecil para peremuan Rifa’iyah sudah dijarkan membatik. Orang tua mereka senantiasa berpesan bahwa membatik akan menjadikan mereka sosok yang sabar dan setia.
Melihat fakta di atas, kita memahami batik pada akhirnya juga berkaitan dengan laku spiritual. Maka tak jarang kita mendengar kisah para pembatik yang memanjatkan rangkaian doa terlebih dahulu sebelum membatik. Dengan harapan karya yang dihasilkan ketika dikenakan akan membawa berkah. Tak jarang pula para pembatik berpuasa ketika membatik untuk mendapatkan fokus dan kebersihan hati.
Komunitas Rifa’iyah sejatinya adalah sebutan untuk pengikut Syekh Ahmad Rifa’i. Siapa Syekh Ahmad Rifa’i? Ia adalah ulama yang hidup satu zaman dengan Pangeran Diponegoro. Keduanya sama-sama berjuang melawan penjajahan Belanda. Hanya saja jalur yang mereka tempuh berbeda. Pangeran Diponegoro memilih perang, sedangkan Syekh Ahmad Rifa’i dengan jalur dakwah dan pendidikan (menulis kitab).Syekh Ahmad Rifa’i telah menulis 53 judul kitab.
Ulama kelahiran Kendal tersebut menempuh pendidikan agama di Mekah dan Mesir selama 20 tahun. Syekh Ahmad Rifa’i satu angkatan dengan Syekh Nawawi Albantani dan Syekh Kholil Bangkalan semasa belajar di Mekah dan Mesir. Selepas belajar agama di Timur Tengah, ulama yang pernah diasingkan di Ambon oleh Belanda itu kembali ke Kendal dan mendirikan pesantren di Kalisalak. Pada 5 November 2014 Syekh Ahmad Rifa’i diberi gelar pahlawan melalui Keppres Nomor 89/TK/2004.
Kini, batik Rifa’iyah masih terus bertahan. Bahkanpada 2016 digelar acara “Merayakan Batik Rifaiyah” di desa Kalipucang Wetan. Berkumpul di acara itu seniman, kolektor, akademisi, peneliti dan pecinta batik. Sejumlah batik Rifa’iyah dengan ragam motif, corak, dan warna dipamerkan. Batik Rifa’iyah saat ini dijual dengan kisaran harga Rp 2 juta (lama pengerjaan tiga bulan). Sampai sekarang, Batik Rifa’iyah selalu jadi buruan kolektor.
Bicara batik kita mungkin juga akanteringat sosok Gus Dur yang gemar menggunakan batik lengan pendek. Prof Nur Syam mencatat, dalam sejumlah acara resmi Gus Dur sering terlihat mengenakan batik lengan pendek. Hal itu, menurut Prof Nur Syam, adalah lambang kesederhanaan seorang Gus Dur. Sekaligus juga menegaskan keindonesian serta nasionalisme yang disimbolkan dengan busana.
Batik juga lekat dengan sosok Nelson Mandela, pejuang HAM dan mantan presiden Afrika Selatan. Ia konsisten mengenakan batik dalam pelbagai kesempatanacara resmi dunia. Cerita bermula, di tahun 1990 Mandela melawat Indonesia dan mendapat oleh-oleh batik. Ia mengenakan batik itu pada kunjungan berikutnya dan mengejutkan Presiden Soeharto. Sejak saat itu Mandela kerap tampil berbatik di beragam acara. Sosoknya menjadi sangat lekat dengan batik.