Perkembangan pesat teknologi terbarukan membawa arus deras perkembangan arus informasi dan gaya hidup umat manusia. Istilah yang banyak dan lazim digunakan pada era sekarang ini seringkali dikenal dengan istilah milenial generation. Kelahiran wajah baru generasi yang lahir pada kelompok kelahiran kurun waktu tahun 1980-2000. Bahkan yang hidup dalam arus deras informasi merupakan salah satu karakteristik yang dapat dimasukkan dalam generasi muslim milenial.
Wajah sumringah atas kelahiran generasi baru muslim millenial di Indonesia disambut oleh banyak kalangan, yang sebelumnya terkenal dengan pemuda muslim. Berbagai atribut kebanggaan yang disematkan atas generasi baru ini menuai banyak sambutan yang lebih hangat oleh dunia teknologi yang semakin ramai dengan perkembangan atribut media informasi saat ini. Perkembangan pesat ini juga sebetulnya, melihat kondisi dan populasi umat Islam di berbagai Negara, misalnya Indonesia.
Melihat kondisi Muslim milenial di Indonesia sendiri, dapat secara mudah diartikan bahwa, Muslim Milenial Indonesia merupakan Muslim indonesia yang lahir di tengah perkembangan zaman dan di tengah arus globalisasi. Secara kuantitatif generasi Muslim milenial Indonesia, secara populasi sangat besar sekali apabila melihat kondisi umat muslim saat ini di Indonesia. Berdasarkan prosentase generasi Muslim milenial yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik pada (2016) berkisar 29,97% yang diambil dari populasi besar umat islam Indonesia.
Banyaknya populasi umat Islam yang ada, setidaknya menjadi keunggulan tersendiri. Akan tetapi disatu sisi lain, menjadi sebuah tantangan besar tersendiri. Perkembangan teknologi yang semakin pesat ini bisa jadi menjadi terpuruknya kondisi keberislaman generasi Muslim milenial. Arus teknologi yang deras ini dapat saja menjadi macam bagi penggunanya, jika tidak melakukan filter terhadap litarasi keislaman. banyaknya model literasi keislaman menjadi ancaman serius terhadap pemahaman keberagamaan Muslim milenial.
Sebuah survei yang dilakukan oleh CSIS (2017) bahwa kaum muda merupakan penikmat media sosial yang sangat tinggi (87%) dari 5000 pelajar dan mahasiswa angakatn baru menggunakan media sosial dalam setiap harinya. Begitu juga dengan The Wahid Institute (2017) yang mencatat bahwasannya generasi milenial banyak menggunakan media sosial, seperti Instagram, Twitter, facebook dan Youtube sebanyak 77 %. Temuan serupa juga menjadi penguat ekspresi generasi milenial yang belajar agama dengan media sosial tanpa melakukan kontak langsung dengan ustadz-ustadzah.
Semakin banyak media elektronik serupa yang dapat digunakan oleh generasi milenial saat ini menelusuri dunianya sendiri. Media sosial yang bebas digunakan oleh siapa saja menjadi alat untuk bebas mengekspresikan segala sesuatu keresahan yang dimiliki oleh semua orang. Hal ini sudah ditegaskan kembali oleh Zuly Qodir (2016) melalui hasil penelitiannya yang menegaskan bahwa kaum muda atau Generasi Muslim Milenial ini tidak hanya sebagai objek tetapi mereka adalah subjek yang memiliki dunianya sendiri. Oleh sebab itu perlu mendapatkan perhatian khusus sebagaimana dunianya.
Secara psikologis, Generasi Muslim Milenial ini merupakan generasi yang sedang melakukan pembangunan identitas diri. Pembentukan identitas diri dapat dilalui dengan berbagai macam jalan hingga tahap perkembangan dalam psikologis. Dan ada beberapa faktor yang mempengaruhi dalam masa perkembangan identitas diri, menurut Berk (2007) jalinan relasi merupakan hal yang paling berpengaruh dalam pembentukan identitas diri.
Hal ini ditegaskan oleh Wasisto (2017) yang memiliki kajian empiris terhadap fenomena keberagamaan muslim kelas menengah dalam bukunya Politik Kelas Menengah Muslim yang menyatakan bahwa Kelas Menengah Muslim saat ini khususnya pemuda islam sedang membangun identitas barunya. Jika melihat hal ini, seringkali dalam proses pembentukan identitas baru dihadapkan pada masalah-masalah yang cenderung membingungkan bagi salah satu kelompok.
Muslim milenial tentu saja dihadapkan pada berbagai narasi besar keagamaan yang seringkali diputarbalikkan oleh kalangan kelompok tertentu. Spirit yang terlahir selain melakukan konsumsi terhadap produk islami, disatu sisi juga generasi muslim milenial memiliki spirit toleransi yang tinggi terhadap perbedaan yang ada. Kehadiran komunitas Gusdurian merupakan ruang yang dapat menumbuhkan spirit keberagamaan yang lebih menerima perbedaan yang hadir dalam bingkai besar Bhineka Tunggal Ika.
Bagian dari ekspresi yang dibangun untuk menghadirkan Islam di tengah perkembangan teknologi dengan cara menjalin relasi antar pemeluk agama. Kaitannya dengan pembentukan identitas diri untuk membentengi diri dari pemahaman-pemahaman yang tidak sesuai dengan narasi besar Islam Indonesia. Jika kita melihat, ekspresi keberagamaan generasi Muslim milenial tidak hanya sekadar melakukan konsumsi terhadap produk islami. Namun juga melakukan moderasi terhadap perkembangan zaman di tengah isu kebencian terhadap agama.
Arief Azizy, Peneliti Psikologi Sosial, UIN Sunan Kalijaga.