Spanyol Tumbang, Penyerahan Granada oleh Sultan Boabdil yang Sangat Sentimentil

Spanyol Tumbang, Penyerahan Granada oleh Sultan Boabdil yang Sangat Sentimentil

Dengan wajah yang memantulkan semburat kepasrahan dan kesedihan, Sultan Boabdil menyerahkan kunci kota kepada raja-raja Katolik. Katanya, “Tuhan sangat mencintaimu. Tuan, ini adalah kunci dari secuil surga. Saya dan orang-orang di dalamnya adalah milikmu.”

Spanyol Tumbang, Penyerahan Granada oleh Sultan Boabdil yang Sangat Sentimentil
Ilustrasi: Kepergian Keluarga Boabdil dari Alhambra (1492). Manuel Gómez-Moreno (1880)

Di pagi yang cerah gulita, 2 Januari 1492 menjadi momen paling bersejarah di Granada. Dari balik tembok megah Alhambra, sultan terakhir peradaban Islam di Spanyol (Al Andalus) menghadapi takdir yang tidak mungkin dihindari. Ia adalah Abdallah Muhammad bin Ali atau Muhammad XII.

Pemimpin bangsa Moor–umat Muslim abad pertengahan di semenanjung Iberia–ini juga lebih akrab disapa Boabdil

Di depan gerbang yang telah menjadi saksi bisu kejayaan dan kemegahan peradaban Islam selama berabad-abad, Boabdil menyerahkan kota tercintanya kepada raja-raja Katolik, Ferdinand II dari Aragon dan Isabella I dari Castile.

Elizabeth Drayson, seorang ahli sejarah, menggambarkan momen tersebut dengan cukup sentimentil. “Para bangsawan dan ksatria Kristen yang hadir semuanya mengenakan pakaian tradisional Moor,” jelas Drayson dalam sebuah buku berjudul The Moor’s Last Stand, How 700 years of Muslim rule in Spain came to an end (2018).

Seklias, para bangsawan Kristen itu memang mengenakan tunik brokat dan sutra, serta ikat pinggang atau marlota, seolah-olah menunjukkan penghormatan. Tapi, Drayson menjelaskan bahwa hal itu justru lebih merupakan tindakan penghinaan dan perampasan budaya Moor oleh oposisi umat Muslim. 

“Itu adalah isyarat yang menggambarkan etos agresif dari upaya penaklukan,” jelasnya, “yang memanifestasikan keinginan untuk merebut dan menghilangkan budaya serta agama orang-orang Moorish.”

Boabdil, dalam momen yang sangat emosional, keluar dari Gerbang Tujuh Lantai di Alhambra. Ia terpaksa menuruni lereng curam. Bentangan pemandangan kota yang indah terasa sangat memorable karena itu menjadi kali terakhir ia menyaksikannya sebelum benar-benar angkat kaki dari kota untuk selamanya. 

Dengan wajah yang memantulkan semburat kepasrahan dan kesedihan, ia menyerahkan kunci kota kepada Ferdinand. Tuhan sangat mencintaimu. Tuan, ini adalah kunci dari secuil surga. Saya dan orang-orang di dalamnya adalah milikmu, kata Boabdil dalam bahasa Arab.

Kiprah Diplomatis Sultan Boabdil

Sepotog fragmen kisah penyerahan ini semata-mata bukan hanya tentang kekalahan atau penaklukan. Ia juga memberitahu lika-liku pertemuan krusial dalam konflik berabad-abad antara dua agama dan budaya besar, melambangkan transisi penting kerajaan Granada dari negara Islam ke wilayah Kristen.

Drayson mengungkapkan bahwa sepuluh tahun sebelum peristiwa serah terima itu berlangsung, wilayah Granada merupakan salah satu arena tempur dua peradaban agung. Beberapa sejarawan bahkan mencatatnya sebagai panggung perang paling signifikan dalam sejarah Eropa

Sebagai informasi, Wilayah kesultanan Nasrid adalah benteng terakhir Spanyol dari kekaisaran Muslim besar yang awalnya meluas hingga ke Pyrenees-sekitarnya, dan telah mencakup kota-kota di utara Spanyol seperti Barcelona dan Pamplona.

“Kejatuhan Granada, karenanya, adalah puncak dari pertempuran lawas antara dua peradaban besar, yang tidak hanya menentukan nasib budaya sebagian besar Eropa tetapi juga membentuk dasar penemuan Amerika,” ungkap Drayson.

Pada dekade terakhir pemerintahan Muslim di Spanyol dari 1482-92, sultan Boabdil–kala itu adalah seorang pemuda 20 tahun yang nyaris tak pernah meninggalkan istana Alhambra dan tidak memiliki pengalaman dengan dunia luar–naik tahta sebagai sultan Dynasti Nasrid ke-23 dari Granada. 

Sejak menjadi raja, hidup Sultan Boabdil penuh akselerasi. Dalam sepuluh tahun berikutnya, ia bahkan dituntut keadaan untuk selalu siaga dalam mode defensif, menangkis bertubi-tubi serangan tentara Kristen dengan caranya sendiri. 

“Berbeda dengan penguasa Muslim sebelumnya, Boabdil lebih memilih negosiasi daripada menempuh jalur kekerasan,” kata Drayson. “Ia berusaha menemukan cara agar umat Islam di kerajaannya dapat mempertahankan agama dan adat istiadat mereka, seiring dengan  rekan-rekan Kristen mereka.”

Akhir Sebuah Era

Tahun 1492 sering dianggap sebagai awal dari Spanyol modern dan penemuan Dunia Baru. Namun, Drayson menekankan bahwa apa yang berakhir pada tahun itu juga memiliki dampak sangat signifikan. 

Selama hampir 800 tahun sebelumnya, sejak tahun 711, Spanyol menjadi rumah bagi peradaban Muslim yang canggih, menciptakan warisan budaya yang kaya, beragam, dan kosmopolit.

Setelah penaklukan Granada, koeksistensi antara Kristen, Muslim, dan Yahudi yang menjadi ciri khas kehidupan Spanyol abad pertengahan tergantikan oleh konfrontasi dan konflik serius. 

Pada tahun 1609, seluruh Morisco–Muslim yang (dipaksa) mengkonversi agamanya–diusir dari Spanyol. “Alih-alih menjadi masyarakat dengan keberagaman agama, Spanyol pasca 1492 justru dihuni oleh masyarakat homogen dengan satu agama dan bahasa, tempat tertutup yang menindas perbedaan,” kata Drayson.

Menurut Drayson, kisah Boabdil dan jatuhnya Granada mewakili perjuangan terakhir melawan intoleransi agama dan kekuatan fanatik. “Isu-isu kekerasan, ketegangan, dan prasangka antara Muslim dan Kristen pada masa itu sama mendesaknya seperti sekarang.”

Boabdil tidak hanya dikenal sebagai sultan yang menyerahkan Granada, tetapi juga sebagai simbol perlawanan terhadap penindasan dan upaya untuk menjaga perdamaian. 

Elizabeth Drayson menjelaskan bahwa Boabdil mencoba menghindari kekerasan dan mencari solusi damai, meskipun itu berarti menyerahkan kerajaannya. “Ia adalah seorang pahlawan moral dalam dirinya sendiri,” kata Drayson. “Upayanya untuk menyelamatkan kerajaannya dan cara hidupnya melalui negosiasi dan diplomasi sangat relevan hingga hari ini.”