Berlaksa-laksa pasukan berkuda menerjang, menimbulkan kepul debu beterbangan. Jalanan pekat. Di bagian paling depan seorang lelaki dengan baju perang gagah memegang tali kekang kuda. Matanya yang sayu namun tajam menatap jauh ke depan pada bukit-bukit yang menjulang.
Shalahuddin Al-Ayyubi dialah lelaki itu. Ia baru saja memenangkan pertempuran di bukit Hittin, Galilee (sekarang Tel Aviv, Israel). 4 Juli 1187 M. 45.000 pasukan musuh ia telah hancurkan. Sebuah pertempuran besar yang menjadi jalan penaklukannya atas Yerusalem yang sebelumnya dikuasai tentara Salib dua bulan kemudian.
Shalahuddin Al-Ayubi layak disebut sang penakluk, bahkan bagi raja berhati singa yang masyhur, The Lion Heart, dari Inggris, Raja Richard. Shalahudin mampu memukul mundur The Lion Heart meski dibantu Kaisar Jerman Frederick Barbarossa dan Raja Perancis, Philip Augustus, ketika mempertahankan Yerusalem. Ia begitu perkasa, begitulah tulis para ahli sejarah.
Namun amat sedikit para ahli menulisnya sebagai sosok panglima yang zahid, sebuah laku abai terhadap dunia sebagaimana para sufi. Harta baginya sama seperti debu yang mudah terbang lenyap tertiup angin. “Ada orang yang baginya uang dan debu sama saja,” demikian kata-kata yang kerap diucapkannya.
Pria berbangsa Kurdi ini lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137 M, ketika ayahnya Najmuddin Ayyub menjadi penguasa Seljuk di Tikrit. Nama aslinya ialah Yusuf, sedangkan Shalahuddin yang berarti ‘yang memperbaiki agama’ adalah gelarnya. Sejak kecil, Yusuf sudah akrab dengan dunia peperangan dan percaturan politik. Ia belajar teknik berperang, strategi politik, dan pengorganisasian massa. Dan di usia belasan tahun, ia sudah terjun di medan perang bersama ayahnya.
Selain sebagai amir, ayah Yusuf atau Shalahuddin juga seorang sufi. Mungkin keadaan ini yang mempengaruhi Shalahuddin kemudian. Ibnu Kastir bercerita, “Syeikh Najmuddin adalah seorang pemberani, rajin mengerjakan shalat, dan memiliki surau khusus untuk beribadah, baik di Mesir maupun di Dasamkus, Irak.”
Sosok lain yang mempengaruhi Shalahuddin adalah Asaduddin Sherkoh, pamannya. Asaduddin adalah abdi dalem Imaduddin Zanky, gubernur Dinasti Seljuk (di Asia Kecil/Anatolia/Turki Asia) untuk kota Mousul, Irak. Asaduddin Sherkoh, jenderal yang tak punya rasa takut kepada siapapun, kecuali kepada kebenaran. Ia komandan angkatan perang Syria yang berhasil menghalau dan memukul mundur tentara Salib, baik di Syria maupun Mesir.
Sherkoh juga berhasil memukul mundur Shawer, seorang menteri khalifah Fathimiyah (Mesir) yang menggabungkan diri dengan tentara Perancis (1168 M). Lalu, 8 Januari 1169 M, ia dinobatkan sebagai Perdana Menteri Khilafah Fathimiyah di Mesir. Sayang sungguh sayang, dua bulan setelah pengangkatan itu, dia berpulang keharibaan Allah.
Setelah Sherkoh meninggal, jabatan Perdana Menteri dipercayakan kepada keponakannya, Shalahuddin Al-Ayyubi. Pada posisi ini, Shalahuddin meraih keberhasilan saat menghadang Tentara Salib dan pasukan Romawi Bizantium yang melancarkan perang Salib kedua terhadap Mesir. Kemudian atas perintah Sultan Nurudin, pada tahun 567 H/1171 M, Shalahuddin mengumumkan penutupan Daulah Fatimiah dan kekuasaan diserahkan semula kepada Daulah Abbasiah. Sepeninggal Khalifah Al-‘Adid, khalifah Fathimiyah terakhir, Shalahuddin didapuk menjadi penguasa jagad Mesir (1176 M).
Sampai di sini ia kemudian menaklukkan banyak wilayah lain. Ia membangun dinasti Ayyubiyah, dan dialah Sultan pertamanya. Namun sebagai raja besar ia tak menunjukkan perilaku layaknya seorang raja.
Pakaian sehari-harinya dari katun dan berjubah dengan bahan wol, pakaian yang akrab di kalangan sufi. Bukan sutra yang halus lembut dan gemerlap. Pendapatannya selalu ia sumbangkan untuk membangun sekolah, surau, dan membantu rakyat miskin.
Ia begitu dermawan bahkan kepada ‘musuhnya’. Di tengah suasana perang, ia berkali-kali mengirimkan es dan buah-buahan untuk Raja Richard yang saat itu jatuh sakit. Tak lupa ia juga mengirimkan tabib terbaik untuk membantu pengobatannya.
Setiap hari Senin dan Selasa istananya dibuka untuk siapa saja yang memerlukan uluran tangannya. Pernah suatu kali ada yang membuat tuduhan kepadanya. Walaupun tuduhan tersebut terbukti tidak berdasar sama sekali, Shalahuddin tidak marah. Ia bahkan menghadiahkan orang yang menuduhnya itu sehelai jubah dan beberapa pemberian lain. Harta dunia baginya seperti buih di lautan lepas.
Shalahuddin paling suka berkumpul dengan para ulama dan sufi. Ibn Atsîr mencatat dalam Al-Kamil fi al-Tarikh, jilid 12, halaman 177, Shalahuddin menghadiri pertemuan para sufi setiap malam Jumat untuk berdzikir, mendengar nasyid, dan puji-pujian kepada Rasulullah. “Shalahuddin berkumpul dan mendengarkan nasyid bersama orang miskin dan kaum sufi. Apabila di antara mereka ada yang bangun untuk menari (dengan tarian tasawuf), ia pun bangkit dan ikut menari,” tulis Ibn Atsîr.
Sebagai sultan ia hendak membiasakan rakyatnya berdzikir. Untuk itulah ia mengintruksikan untuk menambah kumandang adzan subuh dengan lafal “Ash-shalâtu khairun min an-Naum,” artinya shalat itu lebih baik daripada tidur. Tujuannya agar rakyat bangun pagi dan sempat untuk berdzikir serta bertasbih.
Puasa juga menjadi kegemarannya sejak kecil. Bahkan ketika sakit keras pun ia tetap berpuasa, walaupun dokter menasihatinya supaya berbuka. “Aku tidak tahu bila ajal akan menemuiku,” kilah Shalahuddin.
4 Maret tahun 1193. Berita menyedihkan terdengar seantero negeri Muslim. Shalahuddin sang penakluk telah menghembuskan nafas terakhirnya. Ia dipanggil Tuhannya dalam usia 68 tahun. Ribuan rakyat menangis. Air mata membasahi tanah negeri.
Kabar itu disebarkan oleh para utusan. Ada seorang utusan yang menyampaikan berita kematian Shalahuddin itu ke Baghdad. Utusan itu membawa serta baju perang Shalahuddin, kudanya, serta uang sebanyak satu dinar dan 36 dirham. Semua itu milik pribadi Shalahuddin yang masih ketinggalan. Tidak ada yang lain.