Di awal tahun 1990-an, Soeharto menjangkarkan kekuasaannya pada kelompok-kelompok Islam. Dia paham ketika itu hanya kekuatan Islam yang bisa menyelamatkannya dari perubahan. Namun kelompok Islam yang mana yang berhasil diajak oleh Soeharto ikut serta dalam pemerintahannya?
Tentu saja bukan NU. Di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, NU di awal 1990-an telah berubah menjadi gerakan masyarakat sipil yang sangat kritis, khususnya terhadap isu sektarianisme politik agama. Bagi Gus Dur, sektarianisme adalah bahaya yang mengancam integrasi bangsa, sebuah peringatan yang sekarang menjadi nyata.
Maka, Soeharto melabuhkan pilihannya ke kelompok modernis-konservatif. Mereka, yang umumnya berlatar belakang Masyumi ini, telah lama terpinggirkan dari pusaran kekuasaan. Pada periode awal Orde Baru, kelompok ini selalu menjadi sasaran kecurigaan intelejen karena dianggap akan mendirikan negara Islam. Namun di awal 1990-an situasi berubah. Soeharto mengubah orientasi politiknya. Kelompok modernis-konservatif ditawari berbagai posisi dalam pemerintahan. Ternyata mereka menerimanya.
Pernyataan Yusril Ihza Mahendra beberapa hari lalu di Metro TV mengkonfirmasi hal ini. Setelah berkonsultasi ke beberapa seniornya, termasuk Natsir, Yusril lalu bertugas menjadi penulis pidato Soeharto. Bagaimanapun, kata Yusril, tawaran Soeharto untuk ikut serta dalam pemerintahannya harus diambil agar Islam bisa mewarnai kekuasaan. Islam tidak boleh hanya di pinggiran.
Argumen Yusril sangat normatif, tetapi menggambarkan secara gamblang visi Islam modernis-konservatif. Bagi mereka, Islam adalah agama dan negara. Islam harus hadir dalam kekuasaan. Bahkan bisa dikatakan hanya dengan kekuasaannya cita-cita Islam bisa terwujud nyata.
Sejak awal 1990-an itu, pengaruh Islam modernis-konservatif menubuh dalam struktur negara. Para aktivisnya merambah masuk ke berbagai posisi mulai dari pusat hingga daerah. Mereka tidak selalu menggunakan kendaraan partai politik Islam, sebab apalah artinya sebuah nama di zaman sekarang.
Masalahnya, kelompok Islam modernis-konservatif selalu merasa satu-satunya wakil sah umat Islam dalam politik. Mereka juga terobsesi dengan jumlah. Oleh karena itu, kalau hari-hari ini muncul kontroversi mengenai berapa orang yang hadir dalam reuni 212, tidak ragu lagi itu adalah hal yang sejak dulu menjadi perhatian pokok mereka.
Di era Jokowi, posisi kelompok Islam modernis-konservatif terancam. Sebenarnya bukan terancam, melainkan mereka merasa terancam, sebab Jokowi sesungguhnya tidak melakukan apa-apa terhadap mereka. Apalagi sekarang muncul Ma’ruf Amin, seorang kyai NU, perasaan terancam mereka terlihat mengemuka. Hal ini terjadi karena dalam sejarah politik Islam di Indonesia, rivalitas (yang kadang hanya bersifat psikologis) antara kelompok modernis-konservatif dan NU memang sulit terhindarkan.