Akhir-akhir ini saya melihat demikian banyak posting tentang perempuan Katolik yang bersepatu dan membawa anjing masuk ke mesjid. Kabarnya, dia diberitahu bahwa suaminya sudah menjadi mualaf dan akan menikah di mesjid itu. Jadilah, dia datang ke mesjid itu dan marah-marah.
Ada orang yang membuat video kejadian itu. Seorang penceramah agama kabarnya menggaraminya sehingga sempurna sudah kejadian ini menjadi huru-hara di media sosial. Orang berdebat kiri dan kanan.
Semua dalil agama dikemukakan — tentang najisnya anjing. Tentang perempuan yang tidak melepas sepatunya. Tentang tidak tolerannya si perempuan Katolik ini. Tentang perasaan teraniaya yang dimunculkan oleh para pengipas (provocateur).
Kemudian ada kabar tambahan. Perempuan itu ternyata menderita depresi. Tapi itu tidak menghentikan perdebatan.
“Di jaman Jokowi ini,” demikian sekilas saya baca komentar seseorang, “semakin banyak orang menderita depresi.” Untuk saya, tidak terlalu sulit menebak siapa sesungguhnya yang menderita depresi di jaman Jokowi ini.
Mengapa ini terjadi? Mengapa bahkan kita perlu berdebat atau memperdebatkan soal seperti ini? Sebagian orang membuatnya menjadi sangat penting seolah-olah ini persoalan hidup dan mati. Dan jadilah dia berwujud penghinaan dan pencemaran agama. Polisi pun dilibatkan. Perempuan depresi yang membawa anjing kemana-mana itu akhirnya masuk dalam tahanan.
Untuk saya kejadian ini menyedihkan. Saya melihat dengan masygul orang-orang yang terbakar oleh bahan-bahan yang disiarkan oleh beberapa penceramah agama. Di media sosial, orang-orang mengeroyok seorang kawan, yang saya tahu sangat dalam ilmu agamanya. Para pengeroyoknya justru menuduhnya tidak punya ilmu agama.
Saya kira, ini adalah sebuah simptom dari sebuah penyakit sosial yang sudah sangat mendalam. Ini adalah tanda-tanda masyarakat yang terbelah kepribadiannya. Masyarakat schizophrenic. Masyarakat yang diharuskan menjadi saleh sesaleh-salehnya untuk meraih hidup surgawi sesudah mati. Namun pada saat yang bersamaan juga diiming-imingi kesejahteraan hidup yang luar biasa di dunia. Keduanya tidak bisa dipegang. Ke surga mensyaratkan mati. Hidup berkelimpahan di dunia mensyaratkan tidak saja kerja keras tapi juga kecerdasan, ketangguhan, dan keuletan.
Kepribadian ini dengan sangat mudah dieksploitasi. Tiupkanlah sedikit harapan, maka orang menjadi bergetar. Tiupkanlah sedikit kabar yang samar-samar, orang akan mengamuk. Bicaralah dengan kelembutan yang plastis, orang akan menangis tersedu-sedu. Orang menjadi sangat gampang terharu, marah, jengkel, benci, dan mengamuk.
Dan lihatlah ada industri yang sudah tumbuh untuk mewadahi schizophrenia ini. Ada motivator-motivator untuk mendampingi orang-orang bimbang. Mereka mengajarkan menjadi kaya; sekalipun merekalah sendirilah yang kaya. Ada penceramah-penceramah agama yang tidak perlu belajar agama dalam-dalam. Asalkan bisa memberi jalan keluar dari kegalauan, maka dia akan ditahbiskan menjadi agamawan.
Itulah sesungguhnya terjadi mengapa perempuan depresi dengan seekor anjing di mesjid memancing kemarahan yang luar biasa. Persoalan sederhana dikipas kencang-kencang hingga menghidupkan bara schizophrenic itu menjadi api.
Di tengah kemasgyulan saya itu, tiba-tiba seorang kawan menuliskan statusnya yang menurut saya sangat jernih. Mengapa ketika ada orang membawa bom ke gereja, tidak ada kehebohan seperti ini? Saya terus terang tertegun dengan ingatan itu. Banyak orang mati, luka, dan cacat seumur hidup karenanya. Tidak itu saja. Banyak orang menderita trauma seumur hidupnya karena bom itu.
Schizophrenia menghilangkan nurani. Itulah yang agaknya tidak ada kehebohan perempuan Katolik depresi yang bersepatu dan membawa anjing masuk ke dalam mesjid.