Tidak semua, atau bahkan sangat sedikit, orang yang gagasan dan pemikirannya terus dikaji, dipikirkan kembali, sekaligus diikuti setelah ia tiada. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah salah satu dari segelintir orang itu. Hingga kini, lama setelah wafatnya, gagasan dan pemikirannya tetap diperbincangkan dan dipikirkan.
Mengapa Gus Dur menjadi sedemikian kuat pengaruhnya? Jawabannya bisa sangat kompleks dan beragam. Salah satunya adalah karena dia tidak hanya orang yang bicara dan menuangkan gagasan dalam tulisan, namun juga bekerja memperjuangkan apa yang ia pikirkan.
Sejarah atau biografinya dengan terang benderang menerangkan perjalanan hidupnya yang penuh dengan pelaksanaan kata-kata. Mulai dari mengajar di pesantren, mengurus dan merawat organisasi NU, hingga menjadi politikus dan presiden. Semua itu tidak bisa dipisahkan dari pemikiran dan gagasannya yang dituangkan dalam berbagai tulisan.
Basis pemikiran dan tindakan Gus Dur yang membuatnya menjadi orang besar tentu berpijak pada pondasi nilai tertentu. Apa saja itu? Sekitar akhir 2011 sejumlah sahabat dekat dan murid-murid Gus Dur, seperti KH Mustofa Bisri, Ahmad Tohari, Marsilam Simanjuntak, dan lain-lain berkumpul dalam sebuah simposium tentang Gus Dur di Jakarta.
Simposium tersebut kemudian berhasil merumuskan apa yang kemudian kita kenal dengan 9 nilai utama Gus Dur. Nilai-nilai itu disarikan dari berbagai perjumpaan, kesaksian, tindakan, dan tentu saja beragam percikan pemikiran Gus Dur yang tersebar di berbagai tempat dan ingatan.
Kesembilan nilai itu adalah, ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kesantriaan, dan kearifan lokal.
Sembilan nilai itulah yang kemudian menjadi panduan bagi para Gusdurian, murid-murid dan pengagum Gus Dur yang bertekad untuk meneruskan garis pemikiran dan perjuangannya.
Jaringan Gusdurian Indonesia, misalnya, selalu memperkenalkan dan mengkaji sembilan nilai ini dalam setiap Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG) yang mereka selenggarakan di berbagai kota di Indonesia.
Melalui nilai-nilai tersebut kita bisa menyelami pemikiran Gus Dur yang spektrumnya sangat luas itu. Sayangnya Gus Dur tidak –atau belum sempat– menuangkan gagasannya ke dalam satu buku utuh.
Percikan pemikirannya lebih banyak tersebar ke berbagai kolom koran dan jurnal. Karena itu cukup sulit untuk membaca dan memahami semesta pemikiran Gus Dur. Termasuk menyumbang pada kesulitan ini adalah karena pemikiran Gus Dur mencakup hal yang begitu luas dan beragam, mulai dari tema keagamaan, politik, budaya, hingga ekonomi.
Dengan demikian tidak ada pilihan lain kecuali kita harus membaca semua ragam tulisan Gus Dur itu jika ingin memahami khazanah pemikirannya.
Jalan lain yang lebih pendek adalah dengan membaca rumusan orang mengenai pemikiran Gus Dur. Salah satu yang paling terkenal adalah rumusan yang dibuat oleh Greg Barton.
Menurutnya, gagasan dan pemikiran Gus Dur terklasifikasi dalam lima hal, yakni kekuatan Islam Tradisional dan sistem pesantren, kelemahan Islam tradisional di Indonesia saat ini, Dinamisasi – Tanggapan terhadap Modernitas, Pluralisme, serta Humanitarianisme dan Kebijakan Sosio-Politik.
Dalam semua hal itu, menurut Greg, Gus Dur meneguhkan diri sebagai orang yang senantiasa melakukan pembaruan dengan tetap berpijak sekaligus mendayagunakan khazanah intelektual Islam tradisional yang ada.
Satu istilah yang kemudian sangat terkenal dan menjadi penanda bagi pemikiran Gus Dur, terutama dalam hal keagamaan dan sosial, adalah “pribumisasi Islam.” Bagi Gus Dur pribumisasi Islam sesungguhnya adalah laku budaya yang telah dijalani masyarakat Islam di Indonesia sejak dulu kala.
Praktik pribumisasi Islam berpijak pada kaidah fikih seperti al-‘adah muhakkamah (adat istiadat bisa menjadi hukum) dan al-muhafazatu bi qadimis ash-shalih wal-ahdzu bil jadid al-ashlah (memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik).
Di sini kita bisa melihat satu sisi penting dari pemikiran Gus Dur mengenai Islam. Yakni bahwa orientasi keislaman yang dikembangkan adalah Islam yang berpijak pada tradisi, kelokalan, sekaligus kekinian, bukan Islam yang berorientasi pada pemurnian atau purifikasi.
Inilah yang membedakan Gus Dur dengan corak pemikir Islam modernis yang menghendaki pembaharuan Islam dengan jargon kembali kepada Alquran dan Hadis.
Dapat dikatakan bahwa gagasan Gus Dur segaris saja dengan tradisi berislam yang telah dijalani masyarakat Islam di Nusantara. Ia tidak menawarkan sesuatu yang sepenuhnya baru, yang ia lakukan adalah apa yang ia sebut dengan “mendinamisasikan” tradisi.
Secara kultural masyarakat Islam di Nusantara berhasil mendialogkan tradisi Islam dengan tradisi lokal dan melahirkan beragam ekspresi kebudayaan seperti arsitektur bangunan, tari, dan berbagai perayaan keagamaan. Hal-hal seperti itulah yang, menurut Gus Dur, perlu didinamisasikan sepanjang waktu.
Proses pribumisasi islam tersebut kemudian membentuk pola atau corak beragama yang khas. Orang kemudian menyebutnya sebagai Islam Nusantara. Sebuah corak keberislaman yang moderat, damai, ramah, dan terbuka. Pendeknya, pribumisasi Islam adalah caranya, Islam Nusantara adalah buahnya.
Meski gagasannya seringkali menabrak dan mendobrak tabu, pada dasarnya apa yang dicetuskan Gus Dur tetap berpijak pada pondasi tradisi dan kultur Islam yang sudah ada. Ini salah satu alasan mengapa ia menjadi mudah diterima di kalangan pesantren dibanding pembaharu-pembaharu Islam lainnya.
Dengan kalimat lain, perubahan yang dikehendaki Gus Dur adalah perubahan yang bersifat gradual atau bertahap karena ia percaya bahwa masyarakat Islam di Indonesia punya daya lentur tersendiri untuk beradaptasi dengan perubahan, termasuk dalam menerima ide-ide baru.
Satu hal penting dalam gagasan pribumisasi Islam Gus Dur ini adalah sikap terbuka kepada khazanah budaya lain. Tanpa sikap terbuka itu, mustahil terjadi proses meminjam dan mengambil aspek-aspek budaya lain. Secara pribadi, Gus Dur adalah sosok yang terbuka.
Sikap terbuka inilah yang menjadi salah satu ciri menonjol dalam kehidupan Gus Dur. Sejak kecil ia melahap beragam khazanah ilmu, bergaul dengan sastra, musik, dan film yang kemudian tercermin dalam sikap intelektualnya yang penuh keterbukaan.
Gus Durpun tidak segan untuk mendialogkan tradisi Islam dengan tradisi agama atau budaya lain untuk kemudian membangun satu peradaban bersama. Pada titik inilah kemudian bisa dipahami mengapa Gus Dur dengan mulus menemukan jalan penyelesaian dalam soal hubungan antara agama (Islam) dan negara.
Menurut Gus Dur, kewajiban setiap muslim adalah mewujudkan negara damai (darul sulh) bukan negara islam (darul islam). Sebuah negara republik yang di dalamnya ada kedamaian, keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap martabat kemanusiaan adalah negara yang sejalan dengan agama Islam.
Karena itu perjuangan menegakkan Islam kemudian perlu diterjemahkan menjadi perjuangan bersama kelompok lain–dalam negara Indonesia yang beragam ini– untuk mewujudkan demokrasi, kemaslahatan, keadilan, kesetaraan dan penghormatan terhadap kemanusiaan. Islam, dengan demikian, bukan menjadi satu warna yang mendominasi, namun menjadi salah satu warna saja dalam mozaik besar bernama Indonesia.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di Beritagar.id dengan bekerjasama dengan Islami.co