Beberapa tahun belakangan, situasi politik di Indonesia berkembang menjadi sangat emsional, terutama di tataran masyarakat. Ini juga tercermin dari berbagai perbincangan di media sosial. Tak banyak adu gagasan atau program. Justru lebih marak adalah caci maki, tebar hoax dan hujatan. Tak jarang, ada kelompok yang mengait-ngaitkan pilihan politik dengan agama. Akibatnya, agama sering jadi korban atau sebaliknya digunakan senjata untuk ‘menghabisi’ lawan.
Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan. Apalagi dengan menyeret-nyeret agama, yang banyak orang akan rela mati karenanya. Padahal yang terjadi saat ini adalah persaingan politik, bukan persaingan agama. Mengembangkan ide/pikiran bahwa persaingan politik merupakan ‘perang agama’ sama halnya dengan mengerdilkan agama itu sendiri. Karena semestinya, agama mampu memayungi semua orang, berada di atas semua sekat-sekat perbedaan pandangan maupun politk. Semestinya Islam mampu mengayomi semua pihak bukan malah terlibat, dalam hal ini mungkin lebih tepatnya diseret atau dilibatkan, dalam pertarungan politik kekuasaan.
Menyikapi keadaan yang berkembang, sejumlah alumnus pesantren yang mukim di Tangerang Selatan (Tangsel) menggelar diskusi tentang peran santri dan dedikasinya untuk negeri, Minggu (28/10/2018). Kegiata berlangsung di kedai Keys Garden, Pondok Ranji, difasilitasi Lembaga Perekonomian Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (LPNU) Tangsel.
Para pembahas dalam diskusi, Rahmat Kemat alumnus Pesantren Al-Awabin yang juga Penasehat Lembaga Perekonomian PC NU Kota Tangerang Selatan, Makyun Subuki alumnus Pesantren Ash-Shiddiqiyah yang juga dosen UIN Jakarta, dan Mixil Mina Munir alumnus pesantren Ilmu Al-Quran. Hadir pula Irnanda Laksanawan, Wakil Ketua Lembaga Perekonomian PBNU.
Rahmat Kemat menyatakan, hal penting yang menjadi tujuan kegiatan ini ialah mengafirmasi peran historis dari sosiologis santri dalam proses pendirian dan perjalanan bangsa. Di samping itu, seluruh rangkaian, sebelumnya ada kirab memperingati Hari Santri Nasional, adalah bagian dari upaya meperteguh komitmen santri terhadap PBNU (Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945).
“Agenda ini juga dalam rangka memperkuat narasi keislaman dan kebangsaan di kalangan generasi milenial melalui berbagai saluran, media dan budaya populer,” ungkap Kemat.
Ia mengatakan, hal itu mendesak mengingat makin leluasanya kelompok-kelompok muslim intoleran menyebarkan doktrin-doktrin yang ingin mengubah wajah ramah Islam di Indonesia. Karena itu perlu adanya counter narasi terhadap mereka.
Kelompok-kelompok tersebut telah masuk jauh dalam kehidupan masyarakat Indonesia tanpa banyak yang menyadari. Dalam gerakannya, mereka juga kerap memakai istilah atau sebutan yang sama dengan nama yang telah dipakai oleh umat Islam di Indonesia. Misalnya istilah pesanten, yang merupakan ciri khas lembaga pendidikan Islam berhaluan aswaja di Indonesia. Saat ini nama itu mengalami pluralisasi makna, tidak lagi selalu merujuk ke pesantren-pesanten NU, tapi juga pada kalangan-kalangan yang dekat dengan kelompok radikal anti NKRI.
“Belum lama di Bogor, ada pesantren Ibnu Mas’ud yang menolak mengibarkan bendera merah putih saat 17 agustua,” terang Kemat.
Karena itu, ia mengharapkan rekan-rekan yang duduk di parlemen mampu memperjuangkan RUU tentang pesantren sebelum disahkan dalam bentuk aturan, yang secara spesifik mendefinisikan apa itu pesantren, kurikulumnya, dan seterusnya. Sehingga pesantren menjadi sub kultur yang distingtif dibanding lembaga penddidikan islam yang lain. Hal itu agar tidak setiap orang bisa mengklaim sebagai pesantren.
“SDIT-SDIT dan pesantren-pesantren Salafi-Wahabi yang ada saat ini, misalnya, tidak merujuk pada tradisi keilmuan aswaja yang sanadnya bersambung,” tegas Kemat.
Sementara itu, Makyun Subuki, yang juga Kepala Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Jakarta, menyoroti perang diskurus, utamanya di ranah digital. Kelompok-kelompok Islam intoleran lebih menguasai medan digital karena mereka lebih dulu mengenal dunia Barat, termasuk teknologi, baru kemudian mengenal Islam. Sehingga mereka lebih di depan memanfaatkan teknologi untuk menyebarkan Islam ala mereka.
Berbeda dengan kalangan santri. “Orang-orang pesantren ini adalah orang-orang yang mengenal Islam lebih dulu, belajar Islam setengah mati, jatuh bangun, baru kemudian mengenal dunia digital. Sehingga agak gagap mengambil strategi untuk membuat apa yang telah mereka pelajari dan praktikan, yakni Islam yang ramatan lil alamin, lebih dikenal banyak orang, khususnya di era digital,” papar Makyun.
Sebab itu penting adanya semacam epistemic strategy dan membuat model context bahwa pesantren itu berada pada top mind-nya orang-orang Indonesia. “Bagaimana kemudian membuat pesantren itu menjadi rujukan terpenting dalam memahami Islam. Memang kerepotan kita, pesantren-pesantren NU ini mengajarkan Islam dengan sangat serius. Berbeda dengan mereka yang belajar Islam sambil lalu. Sehingga agak kesulitan bagi kita untuk menyederhanakan itu, kemudian membuat satu framing supaya orang mudah paham.”
“Sementara mereka gampang,” lanjut Makyun. “Tinggal bilang, ini sesuai Quran dan hadis. Padahal kalau ngomong Quran dan hadis mereka (kelompok Islam intoleran) itu membaca dari terjemahan sebetulnya.”
Dalam hal ini, kelemhan subtantif pesantren-pesantren NU misalnya, sulit membuat framing tunggal untuk meng-counter gerakan-gerakan Islam radikal dan intoleran. Maka solusinya harus dibuat banyak narasi dengan channel atau saluran-saluran komunikasi yang saling berjejaring. Tidak mungkin dibangun satu framing karena pesantren itu terlalu rumit untuk diseragamkan. Tradisinya bercabang-cabang.
“Salah satu ciri masyarakat milenial itu connected. Eksistensi generasi milenial dibangun dengan berjejaring. Saling terhubung satu sama lain,” kata Makyun.
Ia melihat, ormas-ormas Islam radikal itu punya tim yang sangat baik mengelola jejaringnya. Kemudian, mereka punya isu atau ajaran yang lebih gampang untuk dibuat framing. Tidak perlu repot-repot belajar dalam njelimet seperti orang pesantren, mereka potong jalur tanpa harus belajar agama mendalam, langsung berjejaring.
Usai diskusi, acara dilanjutkan dengan workshop sablon dipandu oleh para pengusaha dan seniman sablon dari Koloni Tangsel. Adanya workshop ini menjadi salah satu upaya memperkuat peran dan kontribusi santri dalam upaya dalam menghidupkan UMKM dan ekonomi kreatif di kalangan nahdliyin, khusunya di Tangsel.