Jangan dibayangkan bahwa Rasulullah Saw tak punya taste humor sama sekali. Tidak. Beliau Saw tetap adalah manusia yang memang acap memperlihatkan dimensi kemanusiaannya, sebagaimana kita, sehingga kiranya lalu menjadi gambaran nyata bagi betapa manusiawinya beliau Saw, ajarannya, dan pula praktik kehidupannya sehari-hari.
Ketika Rasulullah Saw digambarkan beristighfar setiap hari 100 kali, tentu saja beliau Saw sangat bisa melakukannya lebih banyak lagi, dibanding siapa pun. Tapi itulah bagian dari rahmat Allah Swt yang “memanusiakan” utusanNya, juga ajaran-ajarannya, sehingga tidak menjadi keberatan yang musykil bagi umatnya kemudian.
Beliau Sw bersabda, “Yassiru wala tu’ashshiru wa basysyiru wala tunaffiru, mudahkanlah dan jangan disulitkan dan kabarkanlah kegembiraan dan janganlah kabarkan keberatan….”
Maka, bercanda yang tidak melampaui batas di antara kita sebagai karunia humor dariNya, kiranya pantas kita syukuri dengan menjadikannya sebagai bagian hidup sehari-hari yang alamiah dan sah-sah belaka. Candaan-candaan manusiawi kita tidaklah perlu dihakimi secara berlebihan sebagai perbuatan mungkar atau lalai kepadaNya.
Tenanglah, Allah Swt sungguh Tuhan Yang Maha Welas Asih kepada semua makhlukNya. Rahman RahimNya diletakkan di urutan paling atas dari seluruh asmaNya.
Allah Swt, dengan ungkapan bercanda, insya Allah bukanlah Dzat yang petenthengan kepada makhlukNya sehingga bercanda pun dilarang-larang dengan kaku dan keras.
Ihwal candaan-candaan Rasul Saw dan para sahabatnya, saya rekamkan dalam riwayat-riwayat berikut ini.
Suatu hari beliau berkata kepada sahabat-sahabatnya, “Siapakah di antara kalian yang punya kisah lucu dan membuatku tertawa?”
Umar bin Khattab lalu menceritakan. “Saya, ya Rasulallah.”
Lalu Umar bin Khattab bercerota dulu ketika ia belum masuk Islam. Ia membuat sesembahan, berhala, dari manisan. Ketika siang dan perutnya lapar, tak ada makanan lain, maka dimaknnya manisan yang telah dibuat jadi sesembahan itu.
Rasulullah Saw sampai terbehak mendengar kisah itu.
Dalam riwayat lain, Aisyah Ra berkisah bahwa ia sedang memasak khazirah (dari daging diiris kecil-kecil dan dicampur gandum). Setelah masak, duduk Saudah, istri Rasul Saw yang lain, di antara Aisyah dan Rasul Saw.
Aisyah pun mempersilakan Saudah memakannya. Tapi Saudah tak mau memakannya. Aisyah pun dengan iseng memborehkan makanan itu ke wajah Saudah.
Rasul Saw tertawa menyaksikan kejadian itu dan berkata, “Lumuri juga wajahnya dengan makanan itu, Saudah….”
Mereka pun tertawa dan bercanda.
Riwayat lain mengisahkan seorang perempuan tua mendatangi Rasul Saw dan memohon didoakan supaya masuk surga. Rasul Saw berkata, “Di surga tak ada orang tua.”
Perempuan itu pun pamit sembari hendak menangis karena sedihnya. Rasul Saw lalu memanggilnya dan berkata, “Di surga tidak ada orang tua. Yang tua kembali menjadi muda.”
Dari Abu Daud diriwayatkan bahwa datang seseorang kepada Rasul Saw dan meminta diberikan tunggangan unta. Rasul Saw berkata kepadanya, “Akan kuberikan anak unta kepadamu.” Orang itu menolak dan mengatakan ingin minta unta dewasa agar kuat dijadikan tunggangan. Rasul Saw lalu berkata, “Bukankah semua unta dewasa adalah juga anak unta?”
Seorang sahabat bernama Shuhaib yang sedang sakit mata memakan kurma bersama Rasul Saw dan sahabat lainnya. Rasul Saw berkata kepadanya, “Kamu sedang sakit mata tapi kamu bisa makan kurma.” Sahabat tersebut menjawab candaan Rasul Saw dengan candaan pula, “Aku bisa memakan unta dari sisi mata yang lain (yang tak sakit).” Maksudnya, bisa melihat buah kurma dari arah mata yang tak sakit.
Diriwayatkan ketika sedang makan kurma bersama Ali bin Abi Thalib, Rasul Saw mencandai dengan meletakkan biji-biji kurma di depan Ali bin Abi Thalib. Kemudian Rasul Saw bekata, “Betapa banyaknya engkau memakan kurma.” Ali bin Abi Thalib menjawab candaan Rasul Saw dengan ucapan, “Iya, betul, tetapi lebih banyak lagi orang yang memakan kurma dengan bijinya.”
Para sahabat pun terbahak.
Seorang sahabat Rasul Saw yang dikenal jenaka bernama Nu’man bin ‘Amr (ada yang menyebutnya Nu’aiman bin ‘Amr) suatu hari mengerjai Rasul Saw. Kepada seorang penjual madu keliling, Nu’man berkata bahwa ada orang yang ingin membeli madunya –sembari menunjuk kepada rumah Rasul Saw. Penjual madu keliling itu pun mengetuk pintu rumah yang ditunjukkan. Rasul Saw terheran melihat penjual madu itu menyodorkan sebotol madu kepadanya.
“Aku tidak ingin membelinya,” kata Rasul Saw.
“Kata seseorang tadi engkau memesan madu ini,” jawab lelaki itu sambil menceritakan ciri-ciri lelaki dimaksud, yang kemudian dikenali Rasul Saw sebagai Nu’man.
Rasul Saw pun membeli kurma itu. Ketika bertemu dengan Nu’man, beliau Saw bertanya tentang kejadian tersebut.
Nu’man menjawab, “Ya Rasul Saw, betapa aku sangat ingin memberikan hadiah kepadamu, tetapi aku tidak mampu melakukannya. Maka kusuruh pedagang madu itu memberikan hadiah madu kepadamu darimu, tetapi engkau lah yang membayarnya.”
Rasul Saw pun terbehak mendengar jawaban tersebut.
Lain riwayat, Nu’man bin ‘Amr ini sedang bepergian ke Busrah dibawa Abu Bakar ash-Shiddiq untuk berdagang. Ada sahabat lainnya, kepercayaan Abu Bakar ash-Shiddiq, namanya Suwaibith bin Harmalah.
Di seuah tempat, mereka beristirahat. Nu’man bin ‘Amr meminta roti kepada Suwaibith karena lapar, tetapi Suwaibith menolak membagikan roti dengan alasan menunggu ijin dulu dari tuannya, Abu Bakar ash-Shiddiq.
Jengkellah Nu’man bin ‘Amr. Ia lalu pergi ke luar dan melihat ada kafilah dagang lain. Ia mendekati kafilah tersebut dan berkata kepada pemimpinnya bahwa ia mau menjual budak. Disepakati jual-beli tersebut, ditukar dengan 10 ekor unta.
Nu’man bin ‘Amr berkata, “Nanti ambillah budak itu di tenda itu. Dia banyak bicaranya. Dia pasti menolak dan berkata aku bukan budak….”
Ketika sejumlah orang utusan kafilah itu mendekat dan hendak membawa Suwaibith, tentu saja ia menolak keras.
“Aku bukan budak, aku orang merdeka!”
Apa daya, perlawanan Suwaibith tak digubris. Dipasanglah tali ke lehernya, lalu dibawa.
Abu Bakar ash-Shiddiq yang kemudian mendengar kejadian itu mendatangi kafilah yang membawa Suwaibith dan menceritakan candaan Nu’man bin ‘Amr tersebut. Unta pun dikembalikan dan Suwaibith pun dilepaskan.
Berita tersebut sampai kepada Rasulullah Saw di Madinah. Beluau Saw terbahak lebar mendengar keusilan Nu’man bin ‘Amr.
Masih ada riwayat lain tentang Nu’man bin ‘Amr yang usil. Ada seorang tua bernama Makrumah bin Naufal yang umurnya mencapai 115 tahun. Matanya buta.
Di masjid Nabi Saw, ia meminta tolong hendak pipis. Nu’man bin ‘Amr pun mendekatinya, menuntunnya ke sebuah pojokan masjid, dan berkata, pipislah di sini.
Makrumah pun pipis.
Para sahabat memekik melihat Makrumah pipis bukan di tempatnya. Ia rupanya dikerjai oleh Nu’man bin ‘Amr, diantar ke pojokan yang masih berada di dalam areal masjid.
Betapa jengkelnya Makrumah.
Ia berjanji akan menggebuki orang yang mengusilnya dengan tongkatnya.
Nu’man bin ‘Amr menghilang sementara waktu untuk menghindari kemarahan Makrumah.
Tersebutlah Ustman bin Affan, khalifah saat itu, sedang salat di masjid Nabi Saw. Nu’man bin ‘Amr melihat Makrumah juga ada waktu itu. Keisengan pun mencuat.
Ia mendekati Makrumah dan berbisik, “Apakah kau masih hendak menggebuki orang yang kemarin mengusilimu dengan tongkatmu?”
“Tentu saja, “jawab Makrumah.
“Mari kutunjukkan.”
Nu’man bin ‘Amr pun menuntun Makrumah, mendekat ke arah poisisi Ustman bin Affan sedang salat.
Nu’man bin ‘Amr lalu berbisik, “Inilah orangnya, pukuli saja.”
Tanpa ampun, Makrumah pun menggebukkan tongkatnya ke tubuh Ustman bin Affan, sang khalifah.
Atas perbuatan usilnya tersebut, Nu’man bin ‘Amr tidak lantas dihukum begini begitu oleh sang khalifah.
Orang-orang tertawa menyaksikan kejenakaannya.
Suatu hari Rasul Saw diundang oleh seorang sahabatnya untuk makan bersama. Kepada perempuan yang diutus itu Rasul Saw berkata, “Bukankah suami adalah orang yang di matanya ada putih-putihnya itu ya?”
Perempuan itu menampik jawaban Rasul Saw.
Rasul Saw kembali berkata, “Coba lihatlah lagi, pasti aku benar.”
Perempuan itu bergegas penuh penasaran dengan ucapan Rasul Saw untuk meneliti mata suaminya. Rasul Sw kemudian mengatakan sambil tertawa bahwa tentulah setiap orang di matanya ada bagian putih-putihnya, yakni putih mata.
Begitulah Rasul Saw sebagai manusia paling agung pula bercanda dengan keluarga, sahabat, dan orang-orang lain di sekitarnya. Cermin betapa membuminya beliau Saw; cermin betapa sayangnya beliau kepada keluarganya; cermin betapa karibnya beliau Saw dengan para sahabat dan orang-orang di sekitarnya.
Ya Rasulallah, ‘alaikas salam, ‘alaikas salam, wa ‘alaikas salam….