Ijtimak Ulama ke-4 menghasilkan sejumlah rekomendasi berkaitan dengan situasi Indonesia. Salah satu dari rekomendasi itu adalah ajakan kepada seluruh umat Islam agar mewujudkan NKRI bersyariah berdasarkan Pancasila. Ada yang salah?
Dalam sejarah, sebenarnya, wacana untuk menegakan syariat Islam dalam arti formal kenegaraan itu bukanlah barang baru. Perdebatan mengenai hal ini telah ada sejak, bahkan sebelum berdirinya negeri ini. Dan sepertinya ia akan terus terpelihara seiring dengan beberapa alasan.
Pertama, seperti dicatat Prof. Ahmad Syafi’i Ma’arif, bahwa maraknya fenomena di atas itu disebabkan, salah satunya, oleh adanya anggapan bahwa Islam merupakan agama sempurna yang meliputi semua cara hidup secara total. Maka dari itu, Islam harus dijadikan sebagai satu-satunya rujukan dalam memecahkan berbagai kemelut bangsa.
Kedua, kegagalan negara dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia juga menjadi rumusan masalah yang cukup relevan dalam memompa adrenalin umat.
Korupsi yang masih dan bahkan semakin menggurita merupakan bukti nyata dari kegagalan ini. Maka, untuk memperbaikinya sistem harus diganti. Dan tak tanggung-tanggung, referensinya adalah romansa masa lalu yang mengacu pada zaman Nabi dengan penuh imaji surgawi.
Hal ini dapat kita temui, misalnya, dalam slogan yang lahir dari sejumlah ormas, seperti “selamatkan Indonesia dengan syariah” (HTI), atau “penegakkan syariah melalui institusi negara merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi kemelut bangsa” (MMI), atau “krisis multidimensi akan berakhir dengan diberlakukannya syariat Islam” (FPI), dan “Islam adalah solusi” (PKS).
Betapapun itu, menegakan syariat Islam memang merupakan misi mulia. Pada awalnya, syariat Islam yang dibayangkan adalah senarai aturan yang merujuk pada panduan Alquran dan Sunah nabi Muhammad. Masalahnya, baik Alquran dan Sunah Nabi tidak mendikte tentang seperti apa umat Muslim semestinya mendirikan dan mengelola negara.
Alhasil, dalam realitasnya ada beragam tafsir soal pemerintahan ini. Dalam konteks negara Indonesia, kita setidaknya mengenal dua nama besar yang sama-sama founding father dan pernah memperdebatkan hal ini: Sukarno sebagai representasi nasionalis dan A. Hassan dari Persis (Persatuan Islam).
Bagi Sukarno, hanya dengan persatuan nasional-lah tujuan Indonesia merdeka dapat tercapai. Karenanya, ia kemudian mencoba mendialogkan seluruh kekuatan kebangsaan yang ada, yaitu Islam, Marxisme, dan Nasionalisme.
Sebaliknya, menurut Hassan hanya dengan Islamlah persatuan Indonesia akan terwujud. Sayangnya, pada tataran praktik misi itu tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Apalagi belakangan ini, kelompok-kelompok pengusung wacana penegakan syariat Islam ini justru seringkali blunder ketika menerjemahkan apa arti syariat Islam itu sendiri.
Buku Ilusi Negara Islam, umpamanya, merekam sejumlah fenomena politisasi syariat di Indonesia. Hal itu dapat dilihat setidaknya dalam sejumlah kasus yang turut mewarnai dinamika perjalanan bangsa ini, seperti gerakan penegakkan syariat yang muncul dengan kuat di Padang, Aceh, Makasar, dan Palembang.
Oleh kelompok-kelompok itu, banyak kegiatan ibadah dilakukan dengan tujuan ganda, yakni untuk penegakkan hukum Islam di satu pihak, dan penegasan sikap serta identitas politik terhadap isu-isu nasional di pihak yang lain.
Di padang, misalnya, pengajian-pengajian akbar digelar oleh KPPSI untuk sosialisasi dan kampanye percepatan penegakkan syariat dalam kehidupan masyarakat di daerah ini. Sementara, di Palembang ada FU3-SS yang memelopori sepenuhnya kebersatuan antara Ulama dan Umara dalam kegiatan-kegiatan pengajian atau forum pertemuan lainnya.
Demikian pula di kantong-kantong masyarakat lainnya, pertemuan-pertemuan dan ritual keagamaan senantiasa diarahkan untuk mendorong masyarakat agar mendukung formalisasi hukum Islam, di samping sebagai penegasan sikap dan identitas politik kelompok-kelompok tersebut terhadap isu-isu sosial-politik secara umum.
Selain itu, jargon penegakkan syariat Islam seringkali digunakan di berbagai daerah bukan untuk mengidentifikasi identitas ketaatan seorang Muslim terhadap ajaran Islam, tetapi lebih sebagai simbol dan alat perlawanan terhadap dominasi politik negara.
Fakta historis Aceh memperkuat teori ini. Gerakan Aceh Merdeka (GAM), misalnya, muncul dan berkembang dari akar masalah yang kompleks dan hanya sedikit saja terkait dengan persoalan agama. Persoalan utama yang sebenarnya adalah kekecewaan Aceh terhadap pemerintah pusat, dan kontestasi antar daerah yang terjadi di Aceh.
Persoalan semacam ini juga pernah terjadi sebelumnya oleh gerakan DI/TII. Kartosuwirjo, tokoh utama DI/TII yang awalnya adalah salah seorang tokoh PSII dan keluar dari partai tersebut karena kecewa terhadap kebijakan partai, melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan karena kekecewannya atas kebijakan Sukarno.
Kini, menjadi jelas bahwa upaya untuk menegakan syariat Islam itu seringkali tak lebih dari agenda politik kelompok tertentu untuk menancapkan hegemoninya di tengah iklim kebebasan berpendapat dan berserikat.
Lantas, apakah rekomendasi dari Ijtima Ulama IV tentang NKRI Bersyariah itu nihil dari kepentingan politik partisan? Saya meragukannya. Lebih-lebih mengingat tidak sedikit politisi swasta yang turut bertengger di dalamnya, saya kok semakin yakin kalau, sekali lagi, hanya sedikit saja yang terkait dengan persoalan agama.