Apertanda baik ketika beredar video Prabowo sedang merayakan Natal bersama keluarga dan joged-joged sang capres di beberapa acara. Selain itu juga video cara berwudlu Sandiaga Uno yang berbeda dengan madzhab fiqh yang dianut mayoritas ummat Islam Indonesia. Juga beberapa keganjilan lain yang terkait dengan penggunaan simbol agama yang dilakukan oleh pasangan Capres-Cawapres no. 02.
Meski sempat mengundang kontroversi yang gaduh di dunia maya, namun jika dicermati ada hal baik yang muncul: pertama, berbagai peristiwa tersebut bisa menurunkan tensi issu sektarian agama karena ternyata issu tersebut menjadi blunder politik bagi mereka. Kedua, berbagai kejadian tersebut bisa menjadi momentum untuk kembali pada issu-issu nasionalisme dan profesionalisme dalam Pilpres mendatang.
Kedua orang tokoh tersebut adalah figur yang dididik dan dibesarkan dalam lingkungan sosial sekuler materialis. Meski keduanya memiliki komitmen yang tinggi terhadap Islam, namun mereka kurang memahami seluk ritual peribadatan dan menjalankannya secara detail. Pendeknya habitus mereka bukan habitus keislaman yang legal formalistik simbolik, tetapi lebih pada Islam kultural. Akibatnya, mereka gagap ketika secara spontan dipaksa menjalankan cara-cara berislam yang simbolik formal.
Habitus adalah proses sosial yang amat panjang yang membentuk pola pikir dan cara pandang yang menghasilkan konstuksi budaya dan perilaku yang tertanam secara kuat dalam pribadi seseorang (Bourdieu; 1984). Habitus ini tidak bisa dihilangkan secara mendadak. Dia akan muncul secara spontan di luar kendali kesadaran nalar seseorang ketika menghadapi tekanan atau merespon sesuatu yang mengejutkan. Meski ditutupi dengan berlapis-lapis simbol dan berbagai tindakan basa-basi habitus yang merupakan karakter sosiologis asli seseorang, akan muncul secara spontan setiap saat. Apa yang dilakukan oleh Prabowo-Sandi merupakan permunculan habitus mereka, penampakan wajah dan karakter sosiologis-kultural yang sebenarnya yang selama ini dibungkus rapat dengan simbol, atribut dan narasi keagamaan.
Berbagai kejadian itu juga menunjukkan bahwa sebenarnya ada beban berat pada diri Prabowo-Sandi karena dituntut melakukan tindakan yang di luar habitus mereka. Bisa dipahami Bowo-Sandi menjadi korban kaum islamis politik yang ingin meraih kekuasaan dengan memanfaatkan simbol-simbol agama. Kaum islamis politik memberikan legitimasi keagamaan kepada Prabowo-Sandi, misalnya sebutan Capres-Cawapres pilihan Ijtima’ Ulama, Capres Pembela Islam, Santri Post Islamis, Ulama Millenial dan sebagainya. Semua ini dilakukan agar mereka bisa memasukkan agenda politik mereka dengan membonceng Prabowo-Sandi.
Berbagai simbol dan atribut keagamaan yg hebat itu sama sekali tidak bisa mengubah habitus Prabowo-Sandi secara mendadak. Ibaratnya bangunan yang sudah jadi, tidak bisa berubah secara mendadak hanya karena ditutup kain bertuliskan kalimat Tauhid. Serapat apapun kain tersebut menutupi bangunan, wajah aslinya akan tampak ketika ada angin kecil menyingkap kain tipis penutup bangunan tersebut.
Dalam kondisi demikian maka penggunaan Issu agama yang sektarian tidak akan mengangkat citra mereka sebagai ulama atau pejuang Islam, sebaliknya justru bisa menimbulkan arus balik yang bisa menjadi blunder. Ketika Prabowo-Sandi dicitrakan sebagai calon yang mewakili ummat Islam, didukung para ulama, namun ternyata keliru menyebut kata sifat unt Allah dan kalimat shalawat pada Nabi akhirnya menjadi bahan cemo’ohan. Ini terjadi karena calon yang menyandang berbagai atribut keislaman itu ternyata tidak memiliki kualifikasi yang sebanding dengan atribut yang disandangnyanya.
Kondisi ini semakin menambah beban Prabowo-Sandi. Beban yang makin berat akan memancing munculnya habitus kedua figur tersebut di depan publik. Jika ini terjadi akan bisa menciptakan blunder dan pukulan balik. Semakin tinggi issu agama dihembuskan, semakin berat beban yang ditanggung oleh Prabowo-Sandi hingga ujungnya akan semakin kuat arus balik yang akan menimpa mereka.
Untuk itu ada baiknya jika Prabowo-Sandi mulai mengurangi issu yang menggunakan atribut dan simbol agama dalam kampanye dan pelan-pelan keluar dari jebakan politik sektarian. Selanjutnya kembali pada issu kebangsaan, program dan gagasan cerdas mensejahterakan rakyat. Dengan cara ini kampanye menjadi lebih sehat dan fair dan wajah agama lebih bisa diselamatkan.***