Silampukau, Imajinasi Arkipelagia dan Negeri yang Hilang Nama

Silampukau, Imajinasi Arkipelagia dan Negeri yang Hilang Nama

Silampukau, Imajinasi Arkipelagia dan Negeri yang Hilang Nama

Silampukau kembali hadir setelah satu dekade sejak merilis Dosa, Kota, dan Kenangan (2015), album yang mengabadikan romantika gang-gang Surabaya dengan gitar akustik dan lirik melankolis.

Kini, mereka kembali dengan Stambul Arkipelagia Vol. 1, sebuah karya yang tak lagi sekadar menyanyikan nostalgia, melainkan menyuguhkan lanskap distopia yang menggigilkan.

Arkipelagia adalah negeri rekaan yang penuh amarah, kehilangan, dan absurditas sosial. Album ini bukan pelarian dari realitas, tapi perluasan darinya—sebuah karya yang tidak hanya menghibur, tetapi menggugah, menganggu, bahkan memperingatkan.

Terdiri dari lima trek—empat lagu berlirik dan satu instrumental pendek—album ini terasa seperti suite dramatik ketimbang kumpulan lagu. Setiap lagu adalah fragmen, bagian dari tubuh narasi yang menggambarkan bangsa yang kehilangan arah.

Arkipelagia bukan utopia yang gagal, melainkan distopia yang terlalu akrab. Kita mengenalnya diam-diam, bahkan sebelum musiknya diputar.

Di lagu “Sejauh ‘Ku Memandang (Paceklik Blues)”, Silampukau menggambarkan bumi yang kelelahan. Kita menelusuri ladang mati, kemarau yang menggulung harapan, dan panen yang berarti hutang.

“Padi hampa tiada tinggi September ini, bara cuaca memanggang segalanya,” nyanyi mereka.

Di ujungnya, kita tak menemukan pemulihan, melainkan pengulangan bencana: “Penghujan datang, paceklik menang; paceklik panjang.”

Realitas ini bukan fiksi.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada Maret 2023, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 25,90 juta orang. Persentase kemiskinan memang turun dari sebelumnya, tapi kemiskinan struktural tetap merajalela: yang turun hanya angka, bukan beban hidup.

Di daerah seperti Nusa Tenggara Timur, Papua, dan sebagian wilayah Jawa, distribusi bantuan sosial kerap tak sampai ke akar. Silampukau tidak menyebut daerah, tapi menyanyikan atmosfernya: panas, putus asa, dan tak berdaya.

Keresahan kemudian bergeser menjadi satire getir dalam “Sejoli”, lagu yang berkisah tentang dua tokoh: Bobby dan Erika. Sejoli yang bermain cinta di sudut asrama, menjelajah labirin tubuh dan jiwa, hingga tiba pada satu kenyataan pahit: kehamilan yang tak diundang tapi tak bisa dihindari.

“Amboi, garis dua! Gesit betul berenangnya!” seru Bobby, setengah gugup, setengah geli, ketika test pack menegaskan hasilnya. Erika menyusul dengan bait getir nan puitis: “Ai, putik Kusuma Neraka!”

Di tangan Silampukau, kehamilan di luar pernikahan tak dihadirkan sebagai aib moral, tapi sebagai drama eksistensial dalam masyarakat yang tak memberi ruang aman untuk salah.

Bobby dan Erika bukan sekadar pasangan muda yang lalai. Mereka adalah representasi generasi yang tumbuh dalam kekacauan nilai dan minimnya jaminan sosial—dari pendidikan seksual yang tak memadai hingga tekanan ekonomi yang meniadakan masa depan.

Bonus demografi yang seharusnya jadi anugerah justru perlahan menjelma jadi bencana.

Menurut Bappenas, Indonesia akan mencapai puncak usia produktif pada 2030. Tapi tanpa pendidikan, lapangan kerja, dan jaring pengaman sosial yang cukup, potensi ini hanya jadi angka statistik yang memupuk frustrasi.

Survei Katadata Insight Center (2023) menunjukkan hampir separuh Gen Z Indonesia merasa cemas terhadap masa depan pekerjaan mereka.

“Prelude Al-Muqawim”, instrumental berdurasi satu menit, menjadi momen hening. Judulnya mengacu pada salah satu nama Tuhan dalam Islam: Al-Muqawim—Sang Penegak. Tapi dalam jeda ini, tak ada yang tegak. Musiknya justru terdengar seperti bayangan krisis yang sedang menunggu di tikungan. Sunyi, tapi menekan. Jeda yang tak menyegarkan, melainkan mengguncang.

Kemudian datang “Jurang Kemiskinan 1 (Dodoi)”, lagu pengantar tidur yang menggigit. “Nirdaya kala diperdaya negara; pakan infernal invertebrata neraka,” mereka menyanyikan dengan lirih. Negara, dalam lagu ini, tidak hadir sebagai institusi penyelamat. Ia menjadi predator diam. Dalam lirik, kata “dodoi” berayun lembut, namun justru menjadi ironi untuk sistem yang memelihara kemiskinan dengan tenang.

Silampukau menaruh kata “bonus demografi” dalam lirik, lalu membantingnya dengan realitas. Alih-alih generasi emas, kita melihat generasi limbung. Yang diminta tangguh tapi tak pernah ditopang.

Oxfam dan INFID (2022) melaporkan bahwa empat orang terkaya Indonesia menguasai kekayaan setara dengan gabungan 100 juta orang termiskin. Silampukau tidak menyodorkan fakta itu, tapi meramu perasaan kolektif yang muncul darinya—dalam bentuk yang lebih menggigit daripada grafik.

Penutup album, “In Memoriam… (Halimun Rahasia)”, adalah lagu duka. Ini bukan duka personal, melainkan duka kolektif. “Mekar kemboja di kubur nirnama, di halimun rahasia historia,” nyanyi mereka. Ini bukan lagu untuk para kekasih yang kehilangan, melainkan lagu untuk nama-nama yang hilang, yang tak pernah kembali, yang tak pernah dicatat. Lagu ini memanggil arwah yang tak dikenang, menabur bunga di atas tanah yang tak dianggap makam.

Ada semacam keheningan panjang yang menyelimuti akhir lagu ini. Bukan keheningan kosong, tetapi keheningan yang penuh gema sejarah yang tidak dituliskan, tubuh-tubuh yang tidak ditemukan, dan duka yang tidak pernah sempat diratapi. Dalam lanskap bunyi ini, kehilangan menjadi pusat dari ingatan kolektif. Kita tidak sekadar mendengar lagu, kita diajak ikut berkabung.

Seluruh album ini tidak bergerak ke klimaks. Ia tidak menawarkan resolusi. Justru sebaliknya: ia membentuk siklus duka, dari ladang ke ranjang, dari kamar ke kubur. Transisinya halus, tapi bobotnya tak bisa dianggap ringan.

Silampukau tidak sedang menawarkan nostalgia, mereka sedang mengajukan gugatan.

Mereka yang pernah jatuh hati pada lagu-lagu awal Silampukau mungkin merasa kehilangan. Tidak ada lagi “Doa 1” atau “Malam Jatuh di Surabaya” yang hangat dan akrab. Tidak ada gitar akustik dengan dua vokal saling bersahut seperti teman lama yang saling curhat. Stambul Arkipelagia adalah sesuatu yang lain. Megah. Getir. Dingin. Dan penting.

Mereka yang mengenal Silampukau dari “Doa 1” atau “Sang Pendekar Gila” mungkin akan merasa jauh. Tak ada lagi gitar akustik dengan dua vokal bersahut seperti percakapan. Yang tersisa adalah orkes muram. Megah. Dingin. Tapi penting. Sebab hari ini, musik yang baik tak hanya yang enak didengar, tapi yang tahu kapan harus bicara—dan kepada siapa.

Silampukau, lewat lima komposisi ini, tidak membuat album untuk menemani perjalanan pulang. Mereka menyusun sebuah negeri: negeri yang retak tapi nyata. Negeri yang barangkali sudah kita tempati lama sebelum Arkipelagia diberi nama. Mereka tidak menyebut Indonesia. Tapi kita tahu, di sinilah kita berdiri.

Dan seperti karya sastra besar, album ini tidak bisa selesai dalam satu putaran dengar. Ia butuh waktu, dan keikhlasan untuk tidak nyaman. Lagu-lagu ini tidak memandu, tapi membiarkan kita tersesat. Dan di situlah keberaniannya: Silampukau tidak sedang berdiri di luar zaman dan menghakimi, mereka menyelam ke dalamnya—menjadi suara dari dalam gelap.

Arkipelagia, pada akhirnya, bukan fiksi. Ia adalah cermin. Cermin yang tidak memantulkan apa yang ingin kita lihat, tapi apa yang harus kita hadapi. Sebuah negeri dalam lima lagu. Sebuah bangsa dalam lima luka.

Dan jika ada yang paling mengganggu dari album ini, itu bukan nadanya. Bukan liriknya. Tapi kesadarannya yang pelan-pelan tumbuh di kepala bahwa Arkipelagia bukan tempat lain. Mungkin, itu adalah Indonesia yang terlalu lama tak kita akui.