Silakan Aktif Berdakwah, Tapi Jangan Abaikan Kuliah

Silakan Aktif Berdakwah, Tapi Jangan Abaikan Kuliah

Silakan Aktif Berdakwah, Tapi Jangan Abaikan Kuliah

Semangat membumikan Islam dan gerakan berhijrah memang sedang tinggi-tingginya di negeri ini. Bukan hanya kalangan artis saja yang berlomba-lomba dalam berdakwah dan menyelenggarakan pengajian, gelora perjuangan religi juga menyasar kalangan berpendidikan terutama mahasiswa, mahasiswi di perguruan-perguruan tinggi. Suatu hal yang perlu kita sambut positif, karena di era sebelumnya, jangankan menggerakkan tarbiyah, untuk dapat menggunakan jilbab bagi muslimah saja sangat susah. Dakwah-dakwah kampus yang semakin bergairah bukannya tidak ada catatan sama sekali. Di beberapa kasus, salah kaprah dalam mengartikan ruang lingkup dakwah, membuat kalangan akhwat dan ikhwan di kampus mengabaikan hal-hal wajib, termasuk menyepelekan perkuliahan.

Hal ini juga dialami oleh salah satu mahasiswa saya di kelas. Karena mengambil mata kuliah saya dua kali, dan sedari awal selalu mengisi saf terdepan serta sangat aktif dalam menjawab quiz maupun dalam hal diskusi, saya pun jadi hafal dan mengingat namanya. Namun di kelas kedua yang berselang dua semester, partisipasinya di kelas menurun drastis. Berapa kali saya dapati ia tidur di kelas, tugas yang ia kerjakan pun hanya dijawab sekenanya.

Bahkan sempat ia membolos karena terlalu sibuk beraktivitas di masjid. Ketika saya cek ke yang bersangkutan, ia memang mengakui bahwa kegiatan dakwah di Rohis, membuatnya cenderung abai dengan perkualiahan yang ia jalani. Tegas saya sampaikan, bahwa saya bukannya melarang untuk aktif berdakwah, namun dia perlu melakukan manajemen waktu lebih baik lagi. Atur waktu semaksimal mungkin dengan mendisiplinkan diri, kapan ia harus fokus belajar, kapan ia harus terlibat dalam kegiatan keagamaan. Untunglah di akhir semester, ia mampu memperbaiki diri dan meski nilainya menurun, tapi tidak sampai terjun bebas.

Kasus mahasiswa saya ini bisa digolongkan kategori yang paling ringan, dan masih bisa diselamatkan. Di beberapa kasus lainnya, banyak mahasiswa/i yang akhirnya terseok-seok bahkan dropout dengan dalih menegakkan dakwah di dunia kampus. Sekilas, bagi mereka hal ini wajar-wajar saja karena mereka memprioritaskan agama dibandingkan  hal-hal duniawi. Tapi, tunggu dulu… bukankah di Islam kita mengenal fikih prioritas? Sah-sah saja aktif menegakkan dakwah di kampus dengan alasan tiap muslim berkewajiban dalam dakwah, namun apakah dakwah itu sebatas menyelenggarakan kajian atau menjadi mentor halaqah?

Padahal sejatinya dakwah sendiri maknanya luas, bukan hanya sebatas dalam gerak ruang pengajian saja. Tidak hanya dakwah melalui lisan, tapi juga melalui perbuatan. Ketika kita mampu menjadi ilmuwan muslim yang soleh dan menorehkan prestasi di bidang kita, itu juga bisa disebut dakwah dan digolongkan dalam dakwah bil qalam.  Di sisi lain, ketika ada oknum aktivis dakwah yang meninggalkan perkuliahan, dan hanya fokus menggiatkan dakwah di kampus, stigma negatif dakwah kampus malah terbentuk. Tidak heran, beberapa kali saya mendengar orangtua yang melarang anaknya bergabung dalam organisasi dakwah kampus karena kekhawatiran mereka akan mengabaikan kuliah. Menilik fenomena seperti ini, bukankah para oknum aktivis dakwah justru mencederai makna dakwah itu sendiri?

Dan, dengan absennya seseorang dalam pertemuan di kelas, bukankah itu berarti ia melalaikan kewajiban menuntut ilmu? Bila ditarik lebih lanjut, ia juga mengabaikan amanah orangtua atau sanak saudaranya yang membiayainya untuk kuliah. Dari sini saja, bisa disimpulkan bahwa mereka yang menomorduakan kuliah, sudah tidak dapat menerapkan fikih prioritas dengan baik. Apalagi jika dilakukan dengan alasan bahwa ilmu dunia, seperti fisika, sosiologi, dan lain-lain tidak mampu menjadi bekal kita di akhirat kelak. Jelas, ini pemahaman yang sangat keliru.

Padahal, masa kejayaan Islam dulu diwarnai dengan banyaknya muslim yang berprestasi di berbagai cabang ilmu, dari matematika hingga fisika, demi terwujudnya kesejahteraan umat. Sebut saja Ibnu Sina hingga Umar Khayyam. Kalau sekarang? Jangankan berjaya dalam pengembangan ilmu pengetahuan, merengkuh prestasi di jurusan saja enggan. Makanya jangan heran, bila umat Islam hingga saat ini masih berkutat dalam ketertinggalan.