Bagaimana para pendiri mazhab (Aimmah al-Madzahib) : Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam al-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan lain-lain, menyikapi pandangan orang lain yang berbeda dengan dirinya?
Sejarah mencatat bahwa mereka adalah orang-orang yang paling toleran terhadap pandangan orang lain, paling rendah hati . Mereka mengerti bahwa kebenaran mutlak hanya di Tangan Allah. Apa yang dihasilkan dirinya hanyalah usaha maksimal. Karena itu mereka saling menghargai.
Imam Abu Hanifah misalnya dengan rendah hati mengatakan : “Inilah yang terbaik yang bisa aku temukan dari eksplorasi maha kerasku atas kitab Allah dan sunnah Nabi. Jika ada hasil temuan intelektual lain yang lebih baik, aku akan menghargainya”. Imam al-Syafi’i mengatakan : “pendapatku benar tetapi mengandung kemungkinan salah. Pendapat orang lain keliru, tetapi mungkin benar.”
Begitu juga para Imam yang lain, menyampaikan hal yang senada. Mereka selalu mengingat sabda Nabi : “Jika seseorang berijtihad dan ijtihadnya benar maka ia mendapat dua pahala, dan jika salah mendapat satu pahala”.
Perbedaan pemaknaan atas teks keagamaan atau bahkan teks-teks yang lain pada akhirnya perlu dicari jalan keluarnya melalui mekanisme yang paling baik dan sejalan dengan perintah al-Qur’ân, yakni dialog, ‘musyawarah’, dan cara-cara lain yang demokratis, mencari titik temu untuk kebaikan bersama, mencari kebenaran, bukan mencari-cari pembenaran diri, atau bukan dengan mengklaim pendapatnyalah yang paling benar sambil mencaci pendapat yang lain, apalagi dengan menggunakan kekerasan, termasuk membunuh karakter seseorang atau kelompok.
Tak ada yang paling dirugikan dan paling disengsarakan dari perseteruan, kesombongan diri dan tindakan kekerasan ini, kecuali warga dan bangsa muslim sendiri. Sebaliknya tak ada sikap dan cara yang paling memajukan, menyejahterakan dan membahagiakan masyarakat muslim, selain kebersamaan, saling menghargai dan rendah hati di antara mereka, sebagaimana diajarkan Tuhan dan Nabi serta para ulama generasi awal.
Cirebon, 14/10/2016