Sikap Nabi Ketika Masjid Disalah Fungsikan: Tafsir QS. Al-Taubah Ayat 107

Sikap Nabi Ketika Masjid Disalah Fungsikan: Tafsir QS. Al-Taubah Ayat 107

Masjid adalah tempat ibadah untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Bagaimana jika Masjid disalahgunakan untuk kampanye politik? demikian ini komentar al-Qur’an.

Sikap Nabi Ketika Masjid Disalah Fungsikan: Tafsir QS. Al-Taubah Ayat 107
Kemegahan Istiqlal bisa tampak dari dalam masjid yang mampu menampung ratusan ribu jamaah. Pict by Elik Ragil

Permasalahan dan mempermasalahkan masjid bukanlah hal yang baru terjadi sekarang. Mempermasalahkan masjid ketika tidak sesuai dengan fungsi dan tujuan agama itu adalah sah-sah saja. Bahkan bukan hanya sekarang, Nabi pun yang tidak diragukan lagi keislamannya pernah melakukan langkah tegas terhadap masjid yang telah keluar dari fungsi dan tujuan dibangunnya masjid. Bukankah Nabi dalam Hadis-hadisnya juga telah melarang untuk melakukan transaksi yang berbau duniawi didalam masjid, bahkan mendoakan agar dagangannya tidak mendapatkan untung? Dalam hadisnya juga, Nabi mendoakan orang yang sibuk mencari barangnya yang hilang didalam masjid agar tidak ditemukan barangnya yang hilang tersebut?

Masjid hanyalah sebuah tempat sebagaimana tempat-tempat yang lainnya. Masjid menjadi istimewa, dihati umat Islam khususnya, dikarenakan masjid menjadi tempat yang digunakan untuk menjalankan ritual-ritual yang berfungsi untuk mendekatkan diri kepada sang Maha Pencipta setelah bercengkerama dengan belenggu-belenggu urusan dunia. Singkatnya, masjid menjadi tempat melepaskan diri seorang insan dari unsur-unsur duniawi dengan kembali kepada sang Ilahi.

Sikap Nabi terhadap masjid yang tidak selaras dengan fungsinya diantaranya disebutkan didalam firman Allah SWT. QS. Al-Taubah ayat 107 yang berbunyi:

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ ۚ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَىٰ ۖ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُون

Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka Sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan”. Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya)”.

Dalam kitab tafsirnya, Tafsir al-Baghawi hal. 582, al-Baghawi (w. 516 H.) menyatakan bahwa ayat ini berkaitan dengan orang-orang munafik yang membangun masjid, namun, dengan tujuan menggoyahkan masjid Quba’. Menggoyahkan dalam hal ini adalah membuat suasana tidak jelas yang pada akhirnya umat Islam mengalami gesekan satu sama lain dan terjadilah perpecahan (al-Tsa’labi: 2004, Vol. 3, 248). Uraian senada juga disampaikan oleh al-Baghawi bahwa pembangunan masjid ini adalah bertujuan agar sebagian umat islam shalat di masjid tersebut dan sebagian yang lain shalat dimasjid Quba’, hingga akhirnya terjadilah perselisihan diantara mereka dan terjadi saling serang satu sama lain (al-Baghawi: 2002, 582).

Di sini kita menyadari bahwa simbol agama sudah sekian lama digunakan sebagai media untuk kepentingan menggembosi sebuah agama. Untuk itu, tidak bisa disamakan antara mengkritik simbol agama dengan mengkritik agama itu sendiri sebagaimana tidak bisa disamakannya antara mengkritik umat islam dengan mengkritik Islam. Sebab, keduanya adalah entitas yang berbeda meskipun sering dihubungkan satu sama lain. Hal ini menurut penulis perlu untuk di tekankan dalam pembicaraan ini agar tidak terjadi salah pengertian.

Missi untuk mencerai beraikan diatas tidaklah terwujud sebelum masjid yang mereka bangun mendapatkan legitimasi dan persetujuan dari Nabi, mengingat pada zaman Nabi tanda legal tidaknya sesuatu adalah tergantung Nabi menjalankannya apa tidak, atau minimal nabi mendiamkannya begitu saja setelah dilaporkan kepada Nabi atau dalam Ilmu Hadis di kenal dengan “taqrir” yaitu sikap diam Nabi sebagai stempel legalnya sesuatu.

Sebelum penulis menuliskan asbab an-nuzul (sebab diturunkannya sebuah ayat) ayat ini, dalam beberapa literatur kitab tafsir, masjid ini disebut dengan nama masjid Dhirar yang berarti membahayakan. Sebagaimana sudah disebutkan diatas, masjid ini difungsikan untuk memecah belah umat islam pada waktu itu. lebih berbahaya lagi, tugas pecah belah ini menggunakan simbol agama yang sejatinya agama adalah anugrah Allah yang membawa kepada kedamaian dunia (rahmatan lil ‘alamin).

Al-Qurthubi menjelaskan beberapa riwayat yang berkaitan tentang kronologi dan sikap yang diambil Nabi terhadap keberadaan masjid Dhirar diatas. Diantaranya adalah riwayat yang diceritakan oleh Ibnu Humaid dari Salamah dan Ibnu Ishaq dari Zuhri, Yazid bin Rauman, ‘Abdillah bin Abi Bakr, ‘Ashim bin Umar bin Qatadah, mereka berkata: ketika Nabi pergi ke Tabuk dan rencananya nanti akan melakukan Istirahat di daerah Dzi ‘Awan, para jama’ah masjid Dhirar berbondong menuju Tabuk untuk mendatangi Nabi dan menyampaikan keinginannya. Mereka mengatakan, wahai Rasulullah, kami telah membangun sebuah masjid yang digunakan untuk menampung orang-orang sakit, orang-orang yang sedang memiliki kebutuhan (hajat), yang kehujanan dan kemalaman. Untuk itu, kami mengharapkan engkau berkenan datang kemasjid kami dan shalat bersama kami disana. Nabi lantas menjawab: kami sudah melewati setengah perjalanan ini, lagian kami juga masih banyak kesibukan. Seandainya saya sudah sampai nanti, insya Allah, kami akan berkunjung kemasjid kalian dan melakukan shalat berjamaah bersama kalian disana.

Ketika Nabi Sampai di daerah Dzi ‘Awan, Nabi mendapatkan wahyu terkait masjid Dhirar. Setelah itu, Nabi bergerak cepat dengan memanggil Malik bin Dukhsyum dan Ma’na bin ‘Adiy kemudian memerintahkan mereka berdua untuk pergi ke masjid Dhirar bukan untuk shalat ataupun mempercepat Nabi untuk shalat di masjid Dhirar, melainkan mereka berdua mendapatkan tugas dari Nabi untuk merobohkan dan membakar masjid Dhirar tersebut. Sebelum menuju ke masjid Dhirar, keduanya mempir terlebih dahulu kerumah Bani Salim bin ‘Auf untuk meminta api. Setelah medapatkan api dan menyalakannya, keduanya bergegas menuju kemasjid Dhirar untuk membakar dan merobohkan masjid tersebut.

Ini adalah sikap tegas, meskipun kita perlu untuk memahaminya lebih dalam tentang “merobohkan dan membakar” untuk menemukan apakah relevan langkah tersebut dalam konteks sekarang?, dalam hal ini, minimal ada informasi bahwa Nabi bertindak tegas yang berarti larangan keras untuk menyalah gunakan simbol-simbol agama untuk kepentingan semu. Lebih parahnya apabila merusak persatuan dan kerukunan umat Islam bahkan seluruh umat manusia.

Simbol-simbol agama haruslah dengan semestinya digunakan sesuai dengan missi dan tujuannya. Ketika simbol agama digunakan untuk memecah belah umat Islam secara khusus dan seluruh manusia secara umum, berarti ada yang salah dalam peng-fungsian simbol agama tersebut dan tidak ada salahnya ketika ada orang yang mengingatkan agar bisa kembali kepada fungsi yang semestinya.

Dari sini, sebagai penutup, pertanyaan penulis adalah, apakah dibenarkan memfungsikan masjid untuk ajang kampanye dalam konteks zaman sekarang yang efeknya sudah jelas masyarakat menjadi terkotak-kotakkan? Wallahu a’lam bi ash-shawab…

A. Ade Pradiansyah, penulis adalah penikmat kajian tafsir.