Sikap Nabi Ketika Dibilang Penyihir dan Sinting

Sikap Nabi Ketika Dibilang Penyihir dan Sinting

Ini cerita Nabi ketika dituduh yang macem-macem, penyihir, bahkan dituduh sinting.

Sikap Nabi Ketika Dibilang Penyihir dan Sinting

Nabi Muhammad SAW adalah dukun. Ada yang menyebutnya orang sinting, juga penyihir. Julukan itu diberikan orang-orang Arab Jahiliyah karena kesal dan marah dengan dakwah Nabi. Mereka menganggap Nabi merusak keyakinan mereka.

Syekh Syafiudin Al-Mubarakfury lebih rinci mengisahkan perlakukan orang-orang itu. Dalam karyanya tentang Nabi yang dianugerahi sebagai karya terbaik oleh Rabithah Al-Alam Al-Islami, sebuah organisasi dunia Islam yang berpusat di Arab Saudi, pada tahun 1399 H, Al-Mubarakfury menyebutkan di antara mereka (orang-orang Jahiliyah) ada yang melemparkan isi perut seekor domba selagi beliau salat. “Ada pula yang meletakkan kotoran itu di periuk Nabi,” tulis penulis dari India ini dalam kitabnya Sirah Nabawiyah, Kisah Nabi.

Mengutip riwayat Imam Bukhari (lahir pada 21 juli 810 M dan wafat 31 Agustus 870 M), ahli hadis terbaik, Al-Mubarakfury melanjutkan. Peristiwa ini diceritakan dan disaksikan sendiri oleh salah seorang sahabat yaitu Abdullah bin Mas’ud.

Suatu kali Nabi salat dekat Ka’bah, sedangkan Abu Jahal dan rekan-rekannya sedang duduk-duduk di dekat situ. Melihat Nabi salat mereka berbisik-bisik. “Siapakah di antara kalian yang berani mengambil kotoran unta yang disembelih dan meletakkannya di punggung Muhammad selagi sedang salat?” tantang salah satu dari mereka.

Maka rekan Abu Jahal yang bernama Uqbah bin Abu Mu’ith menyanggupinya. Ia menunggu dan melihat dengan serius Nabi salat. Tatkala Nabi sedang sujud kepada Allah, Uqbah segera meletakkan kotoran unta itu di antara pundak beliau.

Abu Jahal dan teman-temannya tertawa terbahak-bahak, hingga badan mereka terguncang-guncang mengenai teman di sampingnya.

Saat itu Nabi yang sedang sujud tetap dalam sujudnya dan tidak mengangkat kepala hingga Fatimah, salah satu putri beliau, datang menghampirinya, lalu membuang kotoran itu dari punggungnya.

Mendapat perlakuan ini bagaimana sikap Nabi? Usai kotoran diambil dari punggungnya Nabi mengangkat kepala. Kemudian beliau berdoa, “Ya Allah, hukumlah orang-orang Quraisy ini!” Beliau mengucapkannya tiga kali hingga membuat hati mereka tersentak karena Nabi mendoakan kecelakaan bagi mereka.

Ummayah bin Khalaf, salah seorang Quraisy, termasuk yang paling getol menghujat Nabi. Setiap kali bertemu Ummayah pasti mengumpat dan mencela beliau.

Paska meninggalnya paman Nabi, Abu Thalib, ganggungan dan hujatan terhadapnya semakin hebat dan menyakitkan. Ada di antara penghujat itu yang tiba-tiba mendekati beliau lalu menaburkan debu di atas kepalanya. Nabi tak mengunjuk rasa marah hingga beliau pulang debu itu masih memenuhi kepalanya. Saat melewati pintu rumah, salah seorang putri beliau melihat keadaan Nabi itu. Ia tak tega dan menangis sambil bangkit membersihkan debu-debu itu dengan tangan gemetar. Nabi membelainya dengan lembut, “Tak perlu menangis wahai putriku, karena Allah akan melindungi bapakmu,” katanya menghibur.

Kebencian yang ditunjukkan orang kafir Quraisy tak henti hanya sekedar melempar kotoran, mengumpat, tapi juga siksaan fisik, bahkan pembunuhan yang keji. Hindun, istri Abu Sofyan yang menjadi pemuka kuam kafir Quraisy saat terjadi perang Uhud ikut datang dan membelah perut Hamzah, paman Nabi, yang terbunuh. Saking dendam dan bencinya ia memakan isi perut Hamzah yang telah membunuh anaknya pada perang sebelumnya.

Waktu mengetahui hal ini wajah Nabi tampak sedih sekali. Ia sangat kehilangan salah satu pembela terhebat Islam. Apalagi wafatnya Hamzah dengan cara yang sangat tragis dan mengenaskan.

Namun, apa yang terjadi saat Nabi bertemu Hindun? Momen itu terjadi ketika Nabi berhasil menaklukkan kota Makkah pada tahun 8 H. Warga Makkah menyerah dan bersedia dibaiat untuk sumpah setia.

Sumpah setia dilakukan dengan berkelompok. Nabi duduk di tikar sementara sahabat Umar Bin Khattab memegangi tangan orang-orang yang akan bersumpah. Semua orang Quraisy berkumpul. Tak hanya lelaki, Nabi juga membaiat kaum perempuan. Saat pembaiatan terhadap kaum perempuan itulah Hindun datang mengendap-endap takut dipergoki karena ia merasa bersalah dengan apa yang dilakukannya dulu terhadap Hamzah.

“Aku membaiat kalian untuk tidak menyekutukan Allah,” sabda Nabi. “kalian tidak boleh mencuri,” lanjut beliau. Tiba-tiba saja Hindun nyeletuk, “Sesungguhnya Abu Sofyan adalah orang yang kikir. Bagaimana jika aku mengambil sedikit hartanya?”

Sebelum dijawab Nabi, Abu Sofyan sudah menyahut. “Apa yang engkau ambil, maka itu halal bagimu.”

Nabi tersenyum mendengar hal itu. Setelah melihat dengan seksama Nabi mengenali Hindun. Benarkah engaku Hindun?” tanyanya.

“Benar,” jawab Hindun. Ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan dengan suara agak serak, “Ampunilah kesalahanku yang telah lalu wahai Nabi Allah, niscaya Allah akan mengampuni engkau pula.”

Nabi tak menimpali, malah ia melanjutkan baiat, “Kalian tidak boleh berzina.”

Hindun bersuara, “Adakah wanita merdeka yang berzina?”

Nabi bersabda lagi, “Kalian tidak boleh membunuh anak-anakmu.”

Hindun kembali berkata, “Kami mengasuh mereka sewaktu kecil lalu kalian membunuh setelah besar.” Memang, sejarah mencatat bahwa anak Hindun bernama Hanzhalah telah terbunuh pada waktu perang Badar.

Mendengar ucapan Hindun itu Umar tertawa hingga badannya telentang karena merasa geli. Sementara Nabi hanya tersenyum.

 

 

Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di Syir’ah 60