Sidang isbat Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha diselenggarakan oleh pemerintah sejak tahun 1950 dengan tujuan menetapkan hari pertama bulan Ramadhan, Syawal dan 10 Zulhijah. Pada awal penyelenggaraannya, sidang ini hanya sederhana dengan didasarkan fatwa para ulama bahwa negara mempunyai hak untuk menentukan datangnya hari tersebut.
Kemudian mulai tahun 1972, Badan Hisab Rukyat (BHR) mulai dibentuk di bawah Kementerian Agama. Di dalamnya terdapat para ahli, ulama dan ahli astronomi, yang tugas intinya memberikan informasi, memberikan data kepada Menteri Agama tentang awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijah.
Pemerintah dalam menentukan awal bulan kamariah (Ramadhan, Syawal dan Dzulhijah) menggunakan metode imkan rukyat artinya penetapan tanggal satu bulan kamariah didasarkan pada kemungkinan hilal dapat dilihat dengan tiga kriteria:
Pertama, ketika matahari terbenam ketinggian bulan di atas horizon tidak kurang dari 2°. Kedua jarak lengkung bulan-matahari (sudut elogasi) tidak kurang dari 3° dan ketiga, ketika bulan terbenam umur bulan tidak kurang dari 8 jam selepas konjungsi/ijtimak berlaku.
Metode ini digunakan oleh pemerintah sebagai hasil Musyawarah Jawatankuasa ke-3 Penyelarasan Rukyat dan Taqwim Islam Negara-negara Malaysia, Brunei Darusalam, Indonesia dan Singapura pada tanggal 1-2 Juni 1992 M di Labuan Malaysia. Penggunaan imkan rukyat oleh pemerintah adalah dengan cara memadukan hisab dan rukyat.
Pemerintah pada tanggal 21 September 2011 M di Bogor menyelenggarakan Lokakarya Mencari Kriteria Format Penentuan Awal Bulan Kamariah di Indonesia. Hasil lokakarya menyebutkan bahwa penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijah dilakukan dalam sidang isbat yang dipimpin oleh Menteri Agama RI. Khusus untuk penentapan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Zulhijah, kriteria yang digunakan hisab posisi hilal yang memenuhi kriteria imkanur rukyat yang didukung bukti empiris terlihatnya hilal.
Kriteria imkanur rukyat yang dimaksud adalah 2 plus 3 atau 2 plus 8, yaitu tinggi hilal minimal 2º, jarak dari matahari-bulan minimal 3º atau umur bulan minimal 8 jam. Jadi dalam putusan tersebut terdapat penambahan elongasi dalam kriteria imkanur rukyat. Biasanya, kalau hilal sudah di atas 2º lebih, bisa dipastikan ada salah satu perukyah di Indonesia yang mampu melihat hilal. Sehingga kalau sudah di atas 2º lebih biasanya awal bulannya sama sebagaimana awal Ramadhan tahun ini.
Lalu, mengapa masih ada perbedaan antara suatu ormas dengan pemerintah?
Setidaknya ada empat faktor yang menyebabkan perbedaan dalam menentukan awal bulan Kamariah di Indonesia. Pertama, Menggunakan acuan hisab yang berbeda. Artinya, ada perbedaan acuan kitab atau metode hisab yang dipakai, baik oleh pemerintah ataupun oleh ormas Islam. Hampir setiap ormas Islam memiliki acuan hisab yang tidak sama.
Kedua, Perbedaan dalam memahami hadis. Bagi Muhammadiyah, Shuumuu liru’yatihii waaftiruuu liru’yatihii.” Berpuasalah bila kalian telah melihat hilal dan berlebaranlah kerika kalian telah melihat hilal. Melihat hilal tidak harus melihat dengan kasat mata. Perhitungan hisab merupakan cara untuk “melihat”.
Ketiga, Posisi hilal. Posisi hilal yang memungkinkan terlihat menjadi faktor penyebab terjadinya perbedaan awal bulan kamariah. Misalnya pada tahun 2000 penentuan awal Zulhijah, posisi hilal memungkinkan hilal terlihat karena sudah di atas ufuk dengan ketinggian 2º sampai 3,5º. Akan tetapi hilal tidak berhasil dilihat, NU melakukan istikmal (menggenapkan hingga tanggal 30), sementara pemerintah menetapkan malam itu juga sebagai bulan baru.
Keempat, adanya pengikut pendapat rukyah global. Rukyah global maksudnya, apabila ada satu negara yang berhasil melakukan rukyah maka awal bulan Kamariah sudah bisa ditentukan. Baik itu dilakukan di Arab, di Amerika, di Jerman dan negara lainnya.
Wallahu A’lam.