Abu Nuwas (penyebutan “Abu Nawas” tampaknya tidak tepat), alias Al-Hasan ibn Hani’, adalah orang Persia dan pemabuk berat. Menurut klasifikasi para penyair besar masa Abbasiyah, dia tergolong dalam sya’irul-khamriyyat, penyair khamr. Penyair khamr ialah penyair yang suka nge-fly dulu untuk menggubah dan mendendangkan syairnya. Syair-syair khamriyyat-nya sering dia lancarkan dalam bentuk ghazal (cinta yang bernuansa mesum) untuk merayu para wanita dan laki-laki yang cute (istilah Arabnya: ghilman-amrad, lelaki tampan-manis dan tak berjenggot). Abu Nuwas memang pecinta wanita; hingga dia bertemu seorang wanita yang cantik bernama Jinnah. Katanya, wajah Jinnah mampu mengubahnya jadi lelaki setia.
Kehebatannya dalam menggubah syair membawanya ke istana keluarga Barmakiyah, elite politik yang kaya dan kuat memengaruhi rezim Harun ar-Rasyid kala itu, lalu al-Amin (putra penerus Harun). Waktu itu, penyair tak ubahnya seperti pemain band; sering ditanggap oleh penguasa dan tentu diberi hadiah. Abu Nuwas tenar dan bergelimang harta—boleh jadi ia dulu seperti Ariel saat ini di Indonesia.
Dia dituduh “zindiq” oleh kalangan ulama kala itu, tersebab perilaku maksiatnya. Bahkan sebagian syairnya, saat ia masih muda dan suka berkunjung ke kedai-kedai untuk merayu wanita, berisi olok-olokan pada agama dan menjadikan Tuhan sebagai bahan guyonan.
Salah satu teman masa kecilnya, Ibrahim an-Nazzham (guru besar Mu’tazilah) menyuruhnya untuk bertaubat. Bagi Mu’tazilah, murtakibul-kaba’ir (pelaku dosa besar) akan kekal di neraka. Suruhan itu dibalas Abu Nuwas dengan syair terkenal berjudul “da’ ‘anka lawmi” (jangan kau caci aku). Abu Nuwas mengklaim dirinya saat mabuk sedang dalam keadaan gila (mujun), tak sadar diri. Inilah yang membuat as-Syafi’i berkata: “Kalau bukan karena mujun-nya Abu Nuwas, aku akan belajar syair kepadanya.”
Menjelang akhir hayatnya, Abu Nuwas sering merenungkan kefanaan hidupnya, lalu ringkas cerita, ia bertaubat. Syair-syairnya berubah menjadi ratapan-ratapan dosa. Konon, di antara syair yang ternisbat padanya, dan ini yang paling populer Indonesia, ialah syair al-i’tiraf (pengakuan)—sayangnya, syair ini tak saya temukan di referensi yang saya punya. Di antara bait awal syair al-i’tiraf itu mungkin anda sudah familiar: “Ilahi lastu lil-firdausi ahla; wala aqwa ‘alan-naril-jahimi” (Tuhanku, aku bukanlah ahli surga, tapi aku tak kuat di neraka)—ini sebuah rayuan dengan logika yang berusaha men-skak Tuhan!
Kurang jelas paham keagamaan apa yang dianut Abu Nuwas. Sepertinya bukan Asy’ariyah (rumusan teologi yang dianut mayoritas Sunni saat ini). Abu Nuwas hidup sebelum al-Asy’ari lahir. Boleh jadi dia berpaham Mu’tazilah, sebab waktu itu mereka yang dekat dengan penguasa Abbasiyah, terutama dari keluarga putra-putra Harun ar-Rasyid, adalah orang-orang yang condong pada rasionalisme-Mu’tazilah. Yang jelas, Abu Nuwas bukan dari kalangan Islam-ortodoks-konservatif.
Ini fenomena menarik: syair dari seorang yang semula ahli maksiat dan bukan dari kalangan ortodoks, sangat populer di kalangan muslim konservatif, bahkan banyak yang menghafalnya, khususnya muslim tradisional di Indonesia.
[Referensi: Syauqi Dhaif, Tarikh al-Adab al-‘Arabiy, Juz III, al-‘Ashr al-‘Abbasi al-Awwal]