Beberapa hari terakhir, viral sebuah ceramah yang dilakukan seorang Ustadz. Di mana di dalam ceramah tersebut ada penyematan kata Dajjal; terhadap sebuah kelompok. Mereka yang disematkan sebagai Dajjal tersebut, belum tentu adalah Dajjal itu sendiri. Persoalannya, apakah dajjal itu orang atau sifat. Jawaban atas pertanyaan ini banyak ragam tafsiran atas hadis-hadis nabi dan pendapat para ulama.
Dalam beberapa hadis nabi secara eksplisit disebutkan seseorang bernama Dajjal. Bisa dikatakan keberadaannya sampai saat ini belum diketahui. Pasalnya, dalam beberapa hadis nabi diceritakan banyak sahabat juga seolah-olah melihatnya. Bahkan ia malah dikenal dengan nama Ibn al-Shiyyad. Padahal itu belum tentu Dajjal.
Sebenarnya bagaimana Dajjal diceritakan dalam hadis nabi? Sosok tersebut sering kali dipersonifikasikan sebagai musuh terbesar umat Islam. Hadis-hadis yang berbicara tentang Dajjal lebih sering bersifat eskatologis. Banyak sekali hadis menceritakan bahwa keberadaan Dajjal sudah dikenal sejak zaman sebelum nabi Muhammad Saw.
Hadis-hadis yang berbicara tentang Dajjal cukup banyak terdapat dalam Kutub al-Tis’ah (Sembilan kitab-kitab Hadis). Di antaranya Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Musnad Ahmad, Sunan Abi Daud, Sunan Abi Daud.
Para ulama Mukhariul Hadis mengategorikan hadis-hadis Dajjal dalam bab al-Fitan wa Asyrath al-Sa’at (Kekacauan dan Tanda-tanda hari Kiamat). Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Dajjal adalah sosok yang hadir di akhir zaman. Ia muncul saat banyaknya kekacauan yang terjadi di atas muka bumi.
Di antara hadis yang populer menyebut keberadaan Dajjal
قال عبد الله بن عمر : قام رسول الله صلى الله عليه وسلم في الناس فأثنى على الله بما هو أهله ثم ذكر الدجال فقال : ” إني أنذركموه وما من نبي إلا وقد أنذر قومه لقد أنذر نوح قومه ولكني سأقول لكم فيه قولا لم يقله نبي لقومه تعلمون أنه أعور وأن الله ليس بأعور ” . متفق عليه
Dalam hadis ini secara tekstual, disebutkan bahwa Dajjal keberadaannya sudah diperingatkan sejak zaman nabi Nuh As. Nabi juga menyebut bentuknya sebagai orang yang buta sebalah matanya. Ia awalnya mendaku sebagai nabi, lalu mendaku sebagai Tuhan.
Dari beberapa hadis tentang Dajjal, banyak para ulama berbeda pemahaman. Ada yang berpendapat keberadaannya benar adanya dan ia sebagaimana bentuk dan sifatnya. Ia mampu menghidupkan orang yang telah dibunuhnya, buta dan seterusnya. Ia adalah pribadi yang diilustrasikan dalam hadis nabi. Pendapat ini dijelaskan oleh an-Nawawi dalam Syarh Muslim. Dajjal adalah personal (syakhsun bi ‘ainihi).
Secara terminologis, Dajjal diartikan sebagai orang yang menutupi sesautu. Karena ia disebut dalam hadis sebagai A’war. Ia dianggap telah menutupi kebenaran, dan orang yang paling berdusta. Pemaknaan literal seperti ini pernah terjadi dalam sejarah Islam. Para pendusta atas nama agama, sering disebut sebagai Kadzzab, Dajjal.
Imam Malik bin Anas, salah seorang Ahli Fikih dan Ahli Hadis abad 2 H pernah men-jarh salah seorang perawi hadis yang sering berdusta atas nama hadis nabi. Karena ia sering meriwayatkan hadis dengan dusta pada nabi. Ia di-jarh dengan Dajjal.
Ada yang berpendapat bahwa ia ada, akan tetapi wujudnya belum bisa dipastikan. Pendapat ini diperkuat oleh Badruddin al-‘Aini dalam Syarh Sunan Abi Daud, bahwa identifikasi fisik Dajjal dalam hadis Nabi merupakan tamsil atas meninggi dan meningkatnya kejahatan, kerusakan di bumi.
Pemahaman ini didapatkan dari pernyataan ulama Sunni,bahwa Dajjal adalah fitnah terbesar umat Islam. Jika agama Islam membawa rahmat dan kasihs ayang, maka Dajjal hanya akan muncul jika tidak ada lagi kasih sayang di antar umat manusia. Sebagaiman ini implementasi dari Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin. Sebagai mana juga fungsi agama sebagai pembawa kebajikan di antara umat manusia.
Penafsiran ini sedikit banyak beririsan dengan pandangan Mu’tazilah. Bagi Mu’tazilah, Dajjal yang digambarkan dalam hadis Nabi, ditafsirkan tidak secara literal, karena ia bukan personal. Akan tetapi, ia adalah karakter utama dari keburukan dan kejahatan itu sendiri.
Jika kita telusuri lebih jauh, narasi tentang dajjal tidak saja berada dalam Islam. Ia memiliki banyak versi. Dalam banyak literatur, selain ia dinisbatkan sebagai tanda bagi akhir dari dunia. Kemampuannya untuk memanipulasi pandangan kasat mata orang-orang, menunjukkan tidak ada lagi peran agama dan kebaikan pada waktu itu.
Wallahu A’lam bi al-Showwab.