Pandangan teologis Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) di antaranya digawangi oleh Abu Hasan al-Asyari (935 M). Beliau adalah pendiri pemikiran Asy’ariyah. Paradigma teologisnya berubah di mana sebelumnya, Abu Hasan al-Asyari adalah pengikut setia Mu’tazilah, berpaling lalu memberikan sebuah pandangan yang berbeda dari Mu’tazilah. Pandangan yang berbeda tersebut akhirnya menjadi sebuah mazhab.
Pandangan Mu’tazilah yang cukup disoroti adalah pelaku dosa besar bagi anak kecil. Konon, Abu Hasan al-Asyari pernah berdebat dengan al-Juba’i, salah seorang tokoh besar Mu’tazilah dan perumus Ushul al-Khamsah (Lima Pandangan Dasar Teologis).
Al-Asy’ari menyangkal posisi Manzilah baina Manzilatain. Karena bagi Mu’tazilah, sang anak berada di posisi tersebut. Logikanya, anak kecil tidak sempat melakukan dosa dan juga berbuat baik, sebab belum ditaklif.
Perdebatan ini adalah seputar keadilan Tuhan. Bagi Mu’tazilah, keadilan tuhan itu hanya ada ketika tuhan memberikan ganjaran kepada orang baik dan menghukum orang jahat. Al-Asyari menilai secara berbeda. Baginya, seandainya Tuhan ingin berlaku adil maka tentu orang lain tidak dimasukkan ke neraka, kenapa tidak ditakdirkan mati terlebih dahulu, seperti halnya anak kecil tadi. Dari sini, al-Asyari berpandangan bahwa keadilan Tuhan hanya karena Ia memang berkeinginan dan ditentukan oleh ridha-Nya. Ini sebagaimana dalam firman Allah, Wallahu Yaf’alu Ma Yuridu.
Di antara karya Abu Hasan al-Asyari adalah kitab Maqalat al-Islamiyiin. Kitab ini menjadi rujukan terhadap pandangan teologis Asyariyah. Kitab ini berisi pandangan al-Asyari terhadap doktrin teologis Mu’tazilah. Secara implisit, kitab ini masih menyisakan keterpengaruh an logika berfikir Mu’tazilah.
Al-Syahrastani sendiri mengategorikan pemikiran teologis Asy’ariyah sebagi sifatiyah. Artinya Tuhan memiliki sifat al-Rahman bukan karena Ada-Nya sebagai al-Rahman, tetapi karena ia adalah kategori yang merupakan bagian Dzat-Nya sendiri. Pandangan ini dikenal bahwa sifat Tuhan itu adalah subtansi (aradl), bukan dzat, akan tetapi ia tidak terpisahkan dari dzat itu sendiri.
Pandangan al-Asyari tertuju untuk menghindari dualisme dzat dan sifat. Sebagaimana dinukil al-Syahrastani, al-Asyari berpendapat bahwa “Allah itu mengetahui dengan sifat ilm, Kuasa dengan sifat qudrah, berkeinginan dengan sifat iradah, dan seterusnya.”
Dengan demikian bisa dikatakan, al-Asyariah lahir dari kebuntuan logika Mu’tazilah menghadapi tekstualisme dalam persoalan teologis. Al-Asyariah, tidak berusaha meradikalkan aspek teologis secara logika, sembari tidak ingin jatuh ke absolutisme teks-teks teologis tanpa peran logika.
Hal ini dibuktikan misalnya dalam persoalan al-Ta’wil ayat-ayat Mutasyabihat fil Aqidah, yaitu teks-teks Al-Quran yang masih menyimpan ruang penubuhan Tuhan secara leterlek. Misal dalam ayat, al-Rahmanu‘ala al-Arys istawa (Dia bersemayam di atas Arys). Jika kalangan tekstualis melihat bahwa arti kata istawa adalah duduk. Berbeda dengannya, al-Asyariah memandang ayat di atas harus ditakwil. Artinya, ia perlu mengalihkan makna denotatif kepada makna konotatif. Pada ayat “istawa” dipahami sebagai makna kiasan, ia merujuk kepada kekuasaan Tuhan.
Ujung dari pemikiran teologis Asyariah, adalah untuk menyuguhkan pemahaman bahwa urusan ketuhanan itu tidak bisa digambarkan, diterangkan, dipersepsikan. Konteksnya adalah untuk melepaskan diri dari al-tasyabbuh(penyerupaan) dan al-tajsim(antromorphism). Sebagaimana ini dijelaskan dalam firman Allah, laysa kamitslihi syai’un.
Pemahaman Asyariyah ini nantinya diwariskan kepada para ulama-ulama setelahnya. Yaitu al-Qadi Abu Bakar al-Baqillani, al-Juwaini/ Imam al-Haramain (guru Imam al-Ghazali), dan Imam Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (1111 M). Dari jalu-jalur para guru inilah Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai model keberislaman terus diwariskan hingga saat ini.