Andi Mappetahang Fatwa, atau akrab dikenal dengan AM Fatwa, pernah bercerita tentang kehidupannya semasa menjalani hukuman sebagai tahanan politik Orde Baru. Di dalam penjara, Fatwa memang tidak membatasi pergaulannya dengan tahanan politik lainnya. Fatwa yang saat itu digolongkan oleh aparat keamanan sebagai ekstrem kanan, tetap bergaul akrab dengan sesama tahanan politik yang digolongkan sebagai ekstrem kiri.
Ketika mendapat kiriman kue bolu, Fatwa membaginya dengan Supono Marsudidjojo, Ketua I Biro Khusus PKI. Melihat kejadian itu, seorang tokoh Kosgoro pun kemudian berkata, “Pak Pono, itu kue Masyumi. Baca bismillah dulu sebelum makan.” Dengan berterus terang, Supono pun menjawab, “Ah, tidak perlu. Kuenya boleh. Tapi Masyumi-nya tidak.”
Cerita dari Fatwa di atas menunjukkan bagaimana karakter politikus yang digolongkan “ekstrem” di Indonesia. Hal itu memang belum dapat menjadi tolak ukur karakter politik dan politikus di Indonesia. Namun setidaknya dapat dijadikan sebagai acuan untuk melihat bagaimana dua kelompok yang saling berseberangan dapat berkompromi dalam satu atap.
Pembebasan Abu Bakar Ba’asyir sempat mengundang banyak kontroversi dari berbagai pihak. Usia yang sudah uzur dan kondisi kesehatan Ba’asyir yang sudah menurun menjadi pertimbangan Presiden Jokowi sebelum mengambil keputusan bebasnya Ba’asyir. Yusril Ihza Mahendra yang juga mendampingi bebasnya Ba’asyir juga mempertegas dengan alasan kemanusiaan.
Di mata publik, Ba’asyir memang memiliki rekam jejak buruk. Beberapa kali Ba’asyir didakwa karena terlibat dengan kasus makar dan terorisme di beberapa wilayah di Indonesia. Hal tersebut tentunya juga menodai citra Islam di mata dunia dari agama yang toleran berubah menjadi agama teror. Munculnya fenomena islamofobia di beberapa wilayah dunia juga berawal dari kasus serupa yang dilakukan Ba’asyir.
Gus Dur pernah mengulas tentang kelompok fundamentalis dalam buku Ilusi Negara Islam. Dalam buku tersebut, Gus Dur dengan tegas mengatakan bahwa perjuangan Islam yang dilakukan kelompok fundamentalis sebenarnya hanyalah jargon dari satu agenda politik untuk merebut kekuasaan. Cita-cita politik yang ingin dicapai oleh kelompok ini adalah terwujudnya sistem khilafah di dalam negara.
Sembari mengusung ide khilafah, kelompok ini juga mengharamkan sistem demokrasi yang mereka nilai sebagai produk kafir. Namun, fakta bahwa kelompok fundamentalis menggunakan lembaga negara yang demokratis untuk mewujudkan cita-cita mereka adalah kontradiktif. Bentrokan antara teori dan praktik ini tentu tidak menjadi persoalan bagi mereka, asalkan cita-cita merebut kekuasaan dapat tercapai.
Sebenarnya, penertiban organisasi dari kelompok fundamentalis yang dilakukan di masa Jokowi memang patut diapresiasi. Beberapa aktor berpengaruh di dalamnya juga turut ditertibkan. Namun, fenomena dibebaskannya Ba’asyir dan dimakluminya penolakan Ba’asyir terhadap janji setia Pancasila seolah memberikan gambaran baru tentang jalannya pemerintahan setelah pemilihan presiden dan masa depan umat Islam di Indonesia.
Ba’asyir kerap dikaitkan dengan kelompok fundamental dan jaringan terorisme di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Pengaruh Ba’asyir di dalam kelompok dan jaringan tersebut juga dinilai masih kuat meskipun usianya sudah uzur. Beberapa pihak bahkan memberikan komentar bahwa setelah Ba’asyir bebas, pemerintah dapat melibatkan Ba’asyir dalam program penanggulangan terorisme.
Jika hal tersebut dilakukan, pemerintah dapat melakukan kontrol terhadap terorisme. Kontrol disini dalam pengertian mengawasi aliran dana yang digunakan kelompok fundamentalis dalam menjalankan aksinya. Hal ini dilakukan mengingat selama ini kelompok fundamentalis tidak pernah transparan tentang sumber dana dan penggunaan dana tersebut.
Kontrol juga dalam pengertian basis massa dan jaringan kelompok tersebut. Kelompok fundamentalis memiliki tipikal sebagai kelompok yang patron-client. Satu orang yang menjadi kunci dapat menggerakkan semuanya. Hal ini dapat dilihat misalnya dari dimuliakannya Rizieq Shihab oleh anggota kelompok tersebut. Dan hal yang sama juga dapat diberlakukan bagi Ba’asyir.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah untuk kepentingan apa dan siapa adanya kontrol tersebut? Dan siapa yang paling diuntungkan dari adanya kontrol itu? Pertanyaan ini mengemuka karena penulis melihat fakta bahwa di setiap rezim selalu terjadi kasus terorisme dan kasus intoleransi atas nama agama. Dan kelompok agama yang paling sering muncul sebagai aktor utama adalah kelompok Islam.
Dasar dari pemikiran ini adalah selalu ada keuntungan yang diterima oleh pihak-pihak tertentu di balik terjadinya konflik dan terorisme. Selain keuntungan politik, keuntungan ekonomi tentunya juga menjadi pertimbangan para aktor sebelum melakukan aksinya. Kawasan Timur Tengah yang selalu diliputi konflik dan teror dapat kita jadikan salah satu contoh dalam hal ini.
Dalam laporan SBS Australia yang berjudul “Inside Indonesia’s War On Terror” yang dirilis pada November 2005, George Junus Aditjondro mengkategorikan terorisme yang terjadi di Indonesia adalah terorisme yang tumbuh di rumah sendiri.
Artinya, terorisme di Indonesia diciptakan sendiri oleh orang atau kelompok di Indonesia untuk tujuan tertentu. Pernyataan Aditjondro juga diperkuat oleh Gus Dur yang mengatakan bahwa setiap bom yang ada sampai saat ini selalu milik pemerintah.
Sebagai sosok public figuredan mantan presiden, Gus Dur tentu memahami siapa memiliki kepentingan apa dan bagaimana pemerintahan berjalan. Pernyataan Gus Dur tersebut juga diperkuat oleh temuan kotak amunisi oleh Pendeta Rinaldy Damanik yang ditemukan saat terjadi penyerangan di Desa Sepe (Poso). Kotak tersebut memiliki label Departemen Pertahanan Keamanan RI dan terdapat 1400 butir amunisi kaliber.
Bebasnya Ba’asyir, ditolaknya ikrar setia Pancasila secara terbuka, dan adanya peluang kerja sama dengan pemerintah dalam urusan terorisme seolah menjadi sinyal dimulainya babak baru kelompok fundamental dan terorisme di Indonesia. Siapapun nanti yang akan terpilih menjadi presiden, tentunya bangsa Indonesia –khususnya umat Islam– sangat berharap adanya komitmen yang tegas dalam pemberantasan teroris di Indonesia.
Kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai sebuah dasar negara tentunya harus menjadi landasan seseorang sejak dalam pikirannya. Kemanusiaan dan keberadaban harus menjadi cara hidup bersama demi mewujudkan cita-cita keadilan sosial. Bukankah tujuan yang baik, jika diusahakan dengan cara-cara buruk, tentu akan menodai kebaikan itu sendiri?
Wallahu A’lam.