“Belasan Nisan di Magelang Diduga Dirusak Orang Tak Dikenal.” Begitu judul berita yang dibagikan beberapa teman hari ini. Kata “diduga” tentu menyesatkan disini. Karena faktanya nisan-nisan tersebut memang dirusak. Bahkan berita dari media yang bersangkutan jelas-jelas mengatakan demikian.
Sangat jelas. Ada sebelas nisan yang dirusak atau dicabut. Semua nisan itu berbentuk salib, simbol orang Kristen.
Kenyataan ini tidak perlu dihalus-haluskan. Saya kira media yang memberitakan ini sejalan dengan Kepala Polsek Magelang Selatan, Kompol M Choirul Anwar, yang dikutipnya.
Kapolsek ini mengatakan, “Kami dalami kasus vandalisme ini, kami minta jangan terlalu dibesar-besarkan. Jangan dikaitkan pula dengan isu-isu saat ini, seperti SARA atau pilpres atau apapun. Pasrahkan saja ke kami untuk melakukan penyelidikan.”
Jangan terlalu dibesar-besarkan? Jangan dikaitkan kasus ini dengan SARA?
Lho, bukankah ini kasus SARA? Dan kasus SARA itu serius. Ia perlu diperbincangkan dengan serius dan jujur. Tidak usah ditutup-tutupi. Juga, tidak usah pula berprestensi bahwa ini bukan soal politik. Ini soal Politik dengan P besar.
Mengapa makam orang Kristen tidak boleh pakai salib? Itu pertanyaan yang mendasar. Tentu dibalik itu ada anggapan bahwa sebaiknya memang orang Kristen tidak ada di negeri ini.
Kemudian ada argumen-argumen lanjutan. Mulai dari hari rayanya; tempat ibadahnya; makanannya …
Semakin hari, kasus-kasus seperti ini semakin merebak. Seperti kanker, ia menjalar kemana-mana, masuk ke banyak sisi kehidupan masyarakat. Mungkin satu saat, bangsa ini akan melahirkan seorang penceramah agama dari Malaysia, yang menfatwakan bahwa Muslim tidak boleh mencuci baju di laundry yang juga mencuci baju orang Kristen dan Cina. Najis dari pakaian dua golongan itu akan mencemari pakaian Muslim.
Logika yang hampir mirip dengan kasus kuburan ini.
Saya katakan ini adalah persoalan Politik dengan P besar, karena politisi-politisi kitalah yang memulainya. Mereka tidak dari satu kubu melainkan dari kedua kubu dan dari semua spektrum politik.
Merekalah yang “menormalkan” kelakuan-kelakuan seperti ini. Merekalah yang berlomba-lomba mengeksploitasi eksklusivisme agama. Dan itu mereka lakukan hanya sebagai ‘political expediency’ belaka.
Selama beberapa tahun belakangan ini kita tahu ada usaha yang sangat sistematis untuk mengagamakan komunitas. Hasilnya kita lihat sekarang ini. Komunitas — paling tidak dipandang oleh sebagian warganya — adalah milik eksklusif penganut satu agama. Tidak boleh ada orang yang berbeda dalam komunitas itu.
Para politisi kita tahu itu dan berlomba-lomba memperkuatnya. Mereka mempekerjakan operator-operatornya untuk memperkuat keeksklusifan di tingkat komunitas.
Komunitas ini berbeda dengan di Amerika Latin pada tahun 1970-90an, dimana para aktivis membuat ‘komunitas basis’ lewat konsientisasi (penyadaran) untuk menegakkan keadilan sosial.
Di Indonesia, mereka membuat ‘komunitas fasis’ lewat eksklusivisme yang bertujuan agar komunitas melupakan apa saja yang adil secara sosial.Komunitas fasis. Itulah yang tumbuh dengan subur saat ini di Indonesia.