Dengan dua kakinya yang tak bebas digerakan lantaran direnggut sebuah kecelakaan mobil, Bu Shinta Nuriyah Wahid malah mampu “berjalan” jauh hingga ke sudut-sudut gang yang sempit di negeri ini.
Sahur keliling yang dilakukannya saban tahun mampu menggerakan ribuan kaki yang tak berkursi roda. Kaki-kaki gelandangan, orang-orang miskin, kelompok minoritas yang dipaksa mengungsi akibat konflik kebencian, termasuk ribuan santri di pesantren-pesantren.
Mungkin saja perasaannya amat tertekan saat pertama kali mengetahui dua kaki yang semula mudah diajak ke mana saja kini jadi kaku macama robot. Manusiawi saja. Yang mengagumkan setelah itu bisa bangkit seperti tak pernah terjadi apa-apa.
“Yang membuat kita kuat adalah ikatan batin sebagai keluarga. Dua anak saya saban malam tidur meringkuk di rumah sakit menemani ibunya yang waktu itu masih dalam penyembuhan. Itu yang membuat mereka punya ikatan sangat dalam,” kata Gus Dur dalam sebuah wawancara.
Dalam wawancara itu Gus Dur menggambarkan isterinya ini sebagai sosok yang amat independen dan mandiri. Gus Dur sadar, potensi dirinya bakal dibui, bahkan dibunuh, sangat terbuka. Tapi Gus Dur enteng saja sebab ia memiliki Bu Shinta yang ia kenal bukan satu hari. Jika itu terjadi ia yakin Bu Shinta bakal bisa meneruskan kehidupan keluarganya, bahkan perjuangan-perjuangannya.
Saat keluarga ini hidup melarat, Gus Dur bercerita, Bu Shinta berjualan kacang goreng yang dikirimnya ke warung-warung. Mbak Alissa Wahid, puteri tertuanya, pernah bercerita di acara Ulang Tahun ke-70 belum lama ini. Agar berhemat Bu Shinta biasa menjahit baju seragam anak-anaknya. Kepada Mbak Alissa, Gus Dur bilang. “Ibumu manusia hebat”.
Saya yakin cara Majalah Time memilih 100 tokoh paling berpengaruh, dan menempatkan Bu Shinta salah seorang di antaranya, pasti tak sama dengan cara staf kelurahan menyeleksi honorer petugas kebersihan di kampung saya.
Meski tak jarang dipersoalkan mengenai hasilnya, tradisi majalah Amerika ini sudah berlangsung sejak tahun 1999. Hasilnya menjadi rujukan dunia. Tokoh-tokoh yang terpampang diakui membawa perubahan besar.
“In recent years, hard-line Islamic groups have made it increasingly difficult to tend to that garden. But Ms. Nuriyah, the widow of former Indonesian President Abdurrahman Wahid, is undeterred,” tulis Mona Eltahawy, jurnalis Time.
Bu Shinta menunjukan kita, keterbatasan fisiknya bukan sel penjara yang membatasi dirinya melakukan hal yang dianggapnya penting, tak peduli apakah Time mencatatnya atau tidak.