Dalam konsep fikih muamalah, kita akan mendapati suatu akad transaksi yang membolehkan kita untuk menyewa suatu barang atau jasa untuk menggunakan kemanfaatannya, kemudian kita memberikan upah atas kemanfaatan tersebut. Akad itu disebut dengan akad ijarah, yaitu akad sewa menyewa. Penjelasan lengkap mengenai akad ijarah yang meliputi definisi, syarat, rukun dan dalil-dalilnya dapat dibaca di sini.
Dalam akad ijarah atau sewa menyewa, syarat kemanfaatan suatu barang yang disewa adalah dapat digunakan saat itu juga. Apabila syarat dari sebuah akad tidak terpenuhi, maka akadnya pun tidak sah. Misalnya Ahmad menyewa suatu mobil untuk digunakan dalam jangka waktu dua hari dengan biaya 600 ribu, maka pada waktu selesai akad itulah Ahmad sudah dapat menggunakan kemanfaatan dari mobil tersebut.
Terkait hal yang berkaitan dengan kemanfaatan sesuatu yang disewa, Syekh Zakariya al-Anshari menyebutkan dalam Tuhfah al-Thulab:
وَأَنْ يَتَّصِلَ الشُّرُوْعُ فِي اسْتِيْفَاءِ المَنْفَعَةِ بِالْعَقْدِ فِي إِجَارَةِ العَيْنِ
“Hendaknya manfaat suatu barang diperoleh bersamaan dengan akad dalam sewa menyewa barang”. (Syekh Zakariya al-Anshari, Tuhfah al-Thullab bi Syarh Matn Tanqih al-Lubab, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cetakan pertama, 1997, hlm. 156)
Namun terkadang kenyataannya saat ini barang yang kita sewa tidak dapat langsung dipakai kemanfaatannya. Kita harus menunggu beberapa waktu terlebih dahulu untuk dapat menggunakan kemanfaatan barang tersebut. Hal ini tentunya sudah merupakan bagian dari kesepakatan akad sewa menyewa antara muktari (pihak yang menyewa) dan mukri (pihak yang menyewakan).
Semisal mobil yang disewa Ahmad, karena masih digunakan oleh pengguna lain, maka ia baru dapat menggunakan mobil pada pukul 10.00 WIB. Misal lainnya adalah suatu sekolah ingin menyewa lapangan bermain futsal. Pada hari Senin mereka merencanakan untuk bermain di hari Sabtu pukul 9.00 hingga pukul 12.00 WIB dan langsung menelepon penjaga lapangan futsal untuk booking atau memesan lapangan. Dalam akad yang mereka lakukan, kita melihat bahwa meski pun mereka sudah menyewa lapangan sejak hari Senin, namun penggunaan lapangan tetap dilakukan pada hari Sabtu.
Kasus sewa menyewa di atas ‘kemanfaatan suatu barang’ tidak langsung didapat meski akadnya sudah dilakukan. Hal ini terjadi juga apabila sekelompok orang menyewa barang dengan satu akad, namun penggunaannya bergantian.
Misalnya, Ahmad, Ali dan Jafar menyewa motor kepada Junaid. Mereka bertiga memiliki kepentingan yang sama, yaitu untuk tes wawancara di salah satu pabrik yang jaraknya lumayan jauh dari rumah mereka. Jadwal wawancara Ahmad di hari Senin, Ali di hari Selasa, sedangkan Jafar di hari Rabu. Mereka pun menyewa motor di hari Ahad malam dari Junaid dan memakainya bergantian di tiga hari yang berbeda. Dengan harga 100 ribu belum termasuk bensin, mereka patungan bersama-sama dan membayarnya kepada Junaid.
Kasus di atas hukumnya tetap boleh, meski pun kemanfaatan setelah akad baru dapat dirasakan oleh Ali di hari Selasa dan Jafar di hari Rabu. Itulah yang disebut dalam fikih muamalah dengan sebutan kirȃ al-‘aqib atau kirȃ al-nawb, yaitu menyewa satu barang untuk digunakan secara bergantian.
Syekh Zakariya al-Anshari menyebutkan dalam Tuhfah al-Thullab:
إِلَّا فِي إِجَارَةِ مُدَّةٍ تَلِيَ مُدّةَ ِإجَارَةٍ قَبْلَ انْقِضَائِهَا لِمَالِكِ مَنْفَعَتِهَا وَإِلَّا فِي كِرَاءِ الْعَقِبِ وَهُوَ أَنْ يُؤَجِّرَ دَابَّتَهُ وَاحِداً لِيَرْكَبَهَا بَعْضَ الطَّرِيْقِ أَوْ اثْنَيْنٍ لِيَرْكَبَ كُلٌّ مِنْهُمَا مُدَّةً مَعْلُوْمَةً ثُمَّ يَقْتَسِمَانِ
[kemanfaatan suatu barang harus langsung dapat digunakan] kecuali pada sewaan dalam satu jangka waktu setelah sewaan lainnya, sebelum berakhirnya masa sewa dan dikembalikan kepada pemilik barang. Dan kecuali pada kirȃ al-‘aqib, yaitu [misalnya] ia menyewakan hewannya kepada satu atau dua orang supaya salah satunya mengendarai hewan itu setengah jalan [yang satu lagi mengendarai setengah jalannya yang lain], atau masing-masing mengendarai hewan itu dalam jangka waktu yang disepakati, kemudian keduanya pun membagi [berapa yang harus dibayar oleh masing-masing dari penyewa tersebut dengan jangka waktu yang disepakati]. (Syekh Zakariya al-Anshari, Tuhfah al-Thullab bi Syarh Matn Tanqih al-Lubab, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cetakan pertama, 1997, hlm. 156)
Penjelasan di atas merupakan kebolehan sewa menyewa yang manfaatnya tidak langsung didapat, namun wujudnya sudah ada. Begitu pun kebolehan untuk menyewa satu barang namun bersama-sama memakainya dalam jangka waktu yang disepakati. Akan tetapi pengecualian di sini tidak berlaku bagi suatu barang yang manfaatnya belum jelas, meski pun ditunggu-tunggu wujudnya. Misalnya adalah menyewa traktor yang masih di pabriknya, menyewa cangkul yang masih dalam proses pengiriman kepada pemilik.
Wallahu a’lam