Apakah Setiap Amalan Harus Didasarkan Dengan Dalil Khas?

Apakah Setiap Amalan Harus Didasarkan Dengan Dalil Khas?

Apakah Setiap Amalan Harus Didasarkan Dengan Dalil Khas?

Salah satu di antara nalar ijtihad yang dirumuskan oleh teman-teman dari kalangan “Ashabul Yamin” adalah keharusan setiap muslim untuk beramal berdasarkan dalil yang bersifat juz’i atau khusus/spesifik. Artinya setiap tradisi serta amalan yang dilakukan oleh seseorang harus disebutkan reverensinya secara teks dari al-Qur’an dan Hadis. Jika tidak ada, maka amalan atau tradisi tersebut tidak boleh dikerjakan karena dianggap sebagai sebuah kebid’ahan.

Nalar ini lagi-lagi didasarkan kepada semangat kembali kepada al-Qur’an dan Sunah. Sebuah kaedah universal yang menjadi senjata utama para “ashabul yamin” dalam mengkritisi amalan atau tradisi kelompok lain. Mereka memahami bahwa tidak ada amalan tanpa dalil, dan tidak ada dalil kecuali harus diambil dan disebutkan secara gamblang dari teks-teks al-Qur’an dan Hadis. Sehingga amalan atau tradisi yang secara teks tidak tersebut dalam kedua reverensi itu, otomatis tidak bisa diamalkan.

Sebenarnya hampir semua umat Islam, dari mazhab apapun mereka, baik yang mengatasnamakan dirinya sebagai aswaja atau bukan, baik yang mengaku bermazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali ataupun lainnya, pasti mengakui bahwa setiap muslim harus berpedoman kepada al-Qur’an dan Hadis. Ini merupakan salah satu bentuk konsensus (ijmak) umat Islam sejak dari Nabi Muhammad Saw masih hidup hingga masa sahabat, tabi’in, dan ulama setelah mereka.

Persoalannya sekarang adalah para ulama dan umat Islam, berbeda pendapat dalam menentukan bagaimana metode kembali kepada al-Qur’an dan Hadis itu. Sebagian mereka memahaminya secara tekstual dan sebagian yang lain memahaminya secara kontekstual. Sebagian ada yang berpedoman hanya kepada bunyi lahiriah teks, dan sebagian yang lain ada yang mengedepankan prinsip atau semangat dari kandungan teks tersebut atau yang disebut juga dengan maqashid syariah.

Kedua corak berpikir ini adalah sebuah realitas yang tidak bisa ditolak, dalam artian mau tidak mau harus kita terima sebagai sebuah keberagaman dalam beragama. Karena hal yang serupa juga pernah dicontohkan secara langsung oleh Nabi Muhammad Saw bersama para sahabat. Pernah suatu kali, dua orang sahabat tengah berada dalam perjalanan di mana mereka kesulitan untuk menemukan air. Akhirnya keduanya memutuskan untuk bertayammum dan salat dengan tayammum tersebut.

Setelah berjalan beberapa saat, tiba-tiba keduanya menemukan air. Salah satu di antara mereka mengulangi salat dengan berwudu’, sedangkan sahabat yang lain tidak mengulang karena meyakini bahwa salat yang dia lakukan dengan tayammum tadi sudah sesuai dalil sehingga tidak perlu diulang. Ketika mereka mengadukan hal tersebut kepada Nabi, beliaupun tidak mencela perbuatan keduanya, malahan Nabi menerima keberagaman pemahaman kedua sahabat itu terhadap sunah beliau.

Kalau diperhatikan sejenak, sahabat yang mengulangi salatnya adalah sahabat yang mengamalkan dalil umum syariat, yaitu ayat al-Qur’an dan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa tidak sah salat kecuali dengan berwudu’. Sementara itu, sahabat yang tidak mengulangi menggunakan dalil khusus yang juga terambil dari al-Qur’an dan Hadis, yaitu kebolehan bertayammum jika tidak menemukan air. Keduanya sama-sama mengamalkan dalil, sekalipun punya sudut pandang yang berbeda.

Problem yang ada sekarang adalah sebagian kita mempunyai satu corak dalam memahami teks-teks agama, misalnya mengharuskan setiap persoalan didasari oleh dalil khusus nan spesifik. Sedangkan yang lain menggunakan dalil umum yang bersifat general seperti membolehkan maulidan dengan dalil anjuran Nabi untuk memperbanyak salawat kepada beliau serta anjuran untuk menuntut ilmu, karena di dalamnya diisi dengan salawatan dan ceramah agama.

Pertanyaannya adalah apakah layak sebuah golongan yang berdalil dengan al-Qur’an dan Hadis menyalahkan mereka yang juga berdalil dengan keduanya tapi hanya berbeda dalam sudut pandang.? Begitukah adab dan sopan santun yang dicontohkan baginda Nabi dan para sahabat ketika melihat golongan yang berbeda dengan mereka dalam pemahaman keagamaan.? Jika tidak seperti itu, lantas kenapa kita melampaui otoritas mereka dalam beragama.?